12 April 2017

opini musri nauli : Advokat bukanlah Pekerjaan





Beberapa waktu yang lalu, keresahan saya dimulai ketika adanya posting di Facebook dari seorang advokat muda tentang Advokat. Keresahan bermula ketika dengan santai sang advokat muda mengatakan dengan enteng “apabila klien kurang mampu maka Surat kuasa menggunakan mesin tik. Karena harga tita printer yang cukup mahal. Tidak cukup dengan thanks you”.

Secara guyon, nada kelakar disampaikan sembari posting tanpa beban merasa bersalah. Entah sedang berguyon atau pemikiran iseng, ucapan ini sungguh melukai hati.

Saya cukup kaget dengan perkataan di media Facebook yang notabene dibaca orang banyak (area public).

Sebagai advokat muda, seingat saya baru saja dilantik dan diambil sumpah sebagai advokat. Rasanya belum kering ucapan sumpah dengan janjinya di hadapan Negara.

Didalam pasal 1 angka (1) UU Advokat dijelaskan “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU ini. Didalam pasal 1 angka (2) Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Sedangkan didalam pasal 1 angka (9) “Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.

Pasal 1 angka (9) kemudian diletakkan sebagai bagian dari sumpah sebagai advokat sebagaimana dijelaskan didalam pasal 4 ayat (1) point 6 “Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum didalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggungjawab profesi saya sebagai seorang advokat”.

Pasal 1 angka (9), pasal 4 ayat (1) point 6 kemudian dipertegas didalam pasal 22 ayat (1) UU Advokat. “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.

Dengan menilik pasal 1 angka (9), pasal 4 ayat (1) point 6 dan pasal 22 ayat (1) maka kemudian advokat ditempatkan sebagai profesi luhur (officium nobile). Dengan menyebutkan sebagai profesi luhur maka kemudian advokat tidak tepat disebut sebagai sebuah pekerjaan. Advokat adalah profesi luhur. Sangat berbeda antara profesi luhur dengan pekerjaan.

Dengan menempatkan sebagai profesi luhur maka advokat kemudian terikat dengan kode etik. Salah satu butir kode etik diatur mengenai “profesi luhur (officium nobile)” didalam pasal 3 huruf g kode etik advokat. Sehingga sebagai profesi luhur (officium nobile) kemudian sejajar dengan hakim dan jaksa didalam melaksanakan profesinya (Pasal 8 huruf a Kode etik advokat).

Sebagai profesi luhur (officium nobile), maka “Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa (Pasal 4 huruf f Kode etik advokat).

Dengan menilik berbagai peraturan dan kode etik sehingga advokat kemudian harus menempatkan sebagai sebuah “Profesi luhur (Officium Nobile)”. Tidak semata-mata melaksanakan pekerjaan hukum seperti pekerjaan yang lain.

Materi kode etik sudah termaktub didalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA ). Materi ini kemudian diuji didalam Ujian Advokat dan menjadi salah satu persyaratan menjadi advokat (Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat).

Dengan melihat begitu banyak penempatan kata-kata “profesi luhur (officium nobile)”, maka seorang advokat kemudian harus menempatkan Advokat sebagai profesi yang menjunjung tinggi “bantuan hukum”. Terutama kepada masyarakat pencari keadilan yang kemudian tidak dapat terpenuhi dengan alasan “biaya” dan kemampuan ekonomi.

Sebagai orang yang “dipercaya” Tuhan “sedikit pengetahuan hukum”, maka seorang advokat kemudian membantu masyarakat mencari keadilan. Ditengah himpitan ekonomi, problema hukum yang mendera maka fungsi advokat membantu sang pencari keadilan “memahami hukum” sehingga masyarakat kemudian dapat melihat hukum sebagai pintu keadilan. Bukan semata-mata melihat “hukum milik orang kuat maupun milik orang kaya”.

Ditangan advokatlah, maka masyarakat kemudian berhasil menempatkan diri sebagai manusia “sama kedudukan dimata hukum”. Ditangan advokatlah, masyarakat dapat menuntut Presiden “sekalipun” dihadapan hukum. Setara yang ditandai dimuka persidangan.

Di tangan advokatlah, maka hukum pidana kemudian memihak kebenaran. Menyatakan yang salah dan kemudian mampu menyatakan benar. Ditangan advokatlah, hukum menjadi berwibawa.

Dengan tugas konstitusi yang begitu berat dan mandate sebagai “profesi luhur”, maka integritas advokat menjadi benteng kokoh ditengah pesimis dan apatis public. Membangun kepercayaan ditengah sikap antipati public yang masih rendah memandang hukum.

Masih banyak teman-teman advokat yang rela “menemui klien” di rumah gubuk reot, menggugat berbagai pihak yang merampas hak kliennya, berhadapan dengan penguasa yang lalim namun kemudian tenggelam dengan berita tentang “gemerlap” advokat dalam kasus-kasus besar. Tersita pemberitaannya dengan berita tentang “ribut-ribut” advokat dalam kasus heboh.

Ditengah pesimis, apatis dan antipati bahkan rasa sinis, sikap yang menempatkan klien adalah salah satu bentuk profesionalisme seorang advokat. Dengan menempatkan seorang klien (apapun alasannya baik ekonomi maupun yang mampu), memperlakukan bijaksana seorang klien adalah mahkota luhur yang terus dijaga seorang advokat.

Sikap integritas dan Profesionalisme ini tidak dibangun dengan hitung musiman. Waktu yang panjang akan menentukan “siapakah diri kita”. Apakah memang pantas panggilan “advokat” disandang atau cuma sekedar menjalankan tugas-tugas hukum tanpa empati.