05 April 2021

opini musri nauli : Jejak Perkebunan Belanda



Indonesia adalah negeri kaya-raya. Zamrud khatulistiwa. ”Tongkat dan kayu jadi Tanaman” kata Koes Plus. “Gemah ripah loh jinawi” istilah Jawa. “Padi Menjadi. rumput hijau. Kerbo gepuk. airnya tenang. Ikan jinak. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu’” istilah Melayu Jambi.


Lalu mengapa Negeri Belanda yang luasnya “seupil[1] mampu menguasai Indonesia 1.09 juta kilometer persegi, 17 ribu pulau selama ratusan tahun ?


Belanda datang ke Indonesia dimulai dari pelayaran pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tahun 1596. Berhasil mendekati Kerajaan Banten namun terlibat perang dengan Portugis. Belanda kemudian diusir dari Banten terus ke Madura dan kemudian diusir dan pualng ke Belanda dengan membawa sedikit rempah-rempah.


Tahun 1598, Belanda kemudian tiba dipimpim Jacob van Neck. Hubungan dengan Banten diperbaiki dan kemudian diterima. Belanda kemudian mengirimkan tiga kapal pulang ke Belanda. Tahun 1599 kemudian ke Maluku dan berhasil membawa rempah-rempah melimpah ruah. Tahun 1612.


Tahun 1602, pembesar Belanda Olden Barneveld menghimpun semua kongsi besar kedalam Verenigde Oos-Indische Compagnie (VOC)[2]. Gubernur Jenderal VOC Pertama adalah Pieter Both. Semula kedudukan VOC di Ambon[3] untuk kemudahan monopoli rempah-rempah. Namun kemudian dipindahkan ke Jayakarta sebagai control jalur perdagangan di Malaka[4]. Setelah peperangan panjang dengan Jayakarta tahun 1619 berhasil dikuasai. Jayakarta kemudian berganti menjadi Batavia[5].


Setelah memantapkan kekuasaan di Batavia selanjutnya VOC konsentrasi ke Banten. Setelah itu Mataram, Cirebon[6], Maluku, Banda, Ambon, Makassar dan Bone.


Memasuki tahun 1799, VOC kemudian bangkrut. Disebabkan keserakahan penguasa local, ketidakcakapan para pegawai mengendalikan monopoli bahkan menyebabkan kas VOC menjadi kosong[7]. Belum lagi perang dengan Inggeris di Persia, Hindustan, Sri Langka dan Malaka. Pemerintahan Belanda kemudian mengambil alih. Masa ini kemudian dikenal dengan Hindia Belanda.


Memasuki abad XIX setelah konflik berkepanjangan dengan Perancis di Eropa, Belanda kemudain menerapkan tanaman paksa (cultuur stelsel)[8]. Dengan Jawa sebagai sapi perahan[9].  


Belanda kemudian melakukan penanaman produk seperti kopi, gula, nila, tembakau, lada, kayumanis[10].   Belanda kemudian meraih keuntungan 832 juta gulden dan menyelamatkan Belanda dari kemiskinan[11].


Belanda kemudian menarik pemodal dengan istilah pintu terbuka (open door policy). Masa ini kemudian dikenal masa perkebunan[12]. Dan kemudian diperkuat dengan Agrarische wet 1870[13]. Di Siak dikenal sebagai “Tractaat Siak[14]


Jejak terhadap perkebunan paska tahun tanaman paksa (cultuursteel) masih dapat dilihat didalam berbagai penelitian.


10 keresidenan Jawa terserap dalam sistem cultuur stelsel[15]. Kopi diusahakan dari Banten, Banyuwangi[16] hingga Basuki di Jawa Timur. Gula di Pekalongan, Jepara[17], Semarang, Tegal dan Cirebon. Tembakau di Rembang dan Pacitan. Sedangkan kayu manis di Karawang.[18].


Tahun 1836-1845 mulai didirikan kebun-kebun kecil di daerah Bogor yaitu: Ciawi, Pondok Gede Cioreg, Cikopo, dan Bolang. Hasilnya pada tahun 1845 telah diekspor teh yang pertama kali dari Jawa ke Amsterdam sebanyak 200 peti[19]. Tahun 1887, dilakukan penanaman teh di Kemuning[20] oleh perusahaan Belanda NV. Cultuur Maatschappij[21] Di Karawang Perusahaan perkebunan tersebut hampir semuanya perkebunan karet atau teh pada tahun 1929[22].

Di Desa Trisobo, tanah-tanah garapan petani hasil membuka hutan, disewa secara paksa oleh pemerintah kolonial Belanda disekitar tahun 1920. Tanah garapan petani kemudian beralih menjadi perkebunan P&T Lands milik Inggris. Perusahaan ini menanam kopi, kakao, dan randu[23]. Di tahun 1862 pabrik gula di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul[24].  Tahun 1896 di Situbondo oleh perusahaan swasta Belanda yang bernama N.V Cultuur HIJ “De Maas”[25].Serat nanas di Mojogedang dibangun tahun 1916-1944.[26]. Di Madiun ditanami gula 1832 oleh “Nederlands Hendel Maatschapij”[27].

Pada tahun 1920 petani di seluruh Indonesia mulai menanam kopi sebagai komoditas perkebunan yang diperdagangkan[28].Menurut statistik, tanah yang digarap untuk semua jenis kopi di Jawa dan pulau-pulau lain di Hindia Belanda pada tahun 1919 adalah 142.272 hektar. 112.138 hektar berada di Jawa. Dari daerah ini, 110.903 hektar ditanami Kopi Robusta, 15.314 hektar dengan Kopi Arabika, 4.940 dengan Liberica , dan 11.115 dengan varietas lain. Diantaranya Bondowoso tahun 1894 oleh  David Birnie Administratie Kantoor (DBAK)[29]

Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen memberikan bantuan modal kepada Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan perkebunan tembakau yang diberi nama Deli Maatschapij seluas 250.000 ha. yang membentang dari Sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang hingga Sei Wampu kabupaten Langkat.  Karena pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang naik, Nienhuys memperpanjang kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Nienhuys juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal pada tahun 1869 dan Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875[30].

Begitu juga perkebunan kelapa sawit pertama di lokasi pantai timur Sumatra (Deli) dan Aceh yang saati itu luasnya 5.123 hektarr.[31] Kisah Perkebunan Deli banyak menarik perhatian para penulis[32]. Pembukaan perkebunan di Deli, Serdang diikuti oleh perluasan ke daerah Langkat, Simalungun, dan Asahan memicu pendirian berbagai perusahaan pendukung lainnya Perkembangan perkebunan yang pesat di Sumatera Timur menjadi dasar pendirian berbagai perusahaan seperti kereta api Deli (Deli Spoorweg Maatschappij/DSM), Deli Tanker Installation, Deli Haven Beheer, telepon, perumahan, dan sewa gudang[33]. Di Pasaman dibangun 1906[34] diantaranya di  Silayang, Muara Sungai Lolo dan Koto Rajo

Sedangkan karet ditanami tahun 1912 di Batujamus Karanganyar oleh Gouvernement Landbouw Bedrijven (GLB)[35]. Karet pertama kali ditanam di Kalimantan Selatan pada tahun 1904; kira- kira tahun 1920-an, daerah ini menjadi kaya dengan karet[36]. Tahun 1920 – 1927 harga karet dipasaran internasional melonjak. Tertarik akan memperoleh keuntungan yang banyak, penduduk daerah Hulu Sungai merombak sawah mereka menjadi kebun karet. Mengusahakan karet saat itu menjadi salah satu mata pencaharian di samping bertani, menangkap ikan serta mengumpulkan hasil hutan[37].

Perkembangan tanaman karet secara komersial di Indonesia diawali dengan kebijakan perdagangan yang dibuat oleh ‘Nedherlands Indies’ yang membuka kesempatan kepada para investor untuk menanamkan modal di bidang perkebunan karet di Indonesia. Perusahaan asing pertama yang menanamkan modal di bidang perkebunan karet di Indonesia adalah Harrison and Crossfield Company pada tahun 1906[38]. Keberhasilan yang diperoleh oleh perusahaan Harrison and Crossfield Company di bidang perkebunan karet di beberapa negara Asia kemudian mengundang beberapa investor asing untuk masuk ke Indonesia. Masuknya para investor asing tersebut menyebabkan perkembangan perkebunan karet di Indonesia berjalan dengan sangat cepat.

Sehingga tidak salah kemudian Penanaman tanaman komersial yang ditujukan untuk komoditi ekspor di Pasaran Dunia seperti tembakau, karet, sawit, teh, dan rami[39].


Sedangkan di Jambi sendiri tahun 1900 perekonomian Jambi tidak terlalu berarti, hal ini dikarenakan perdagangan total daerah lain yang lebih besar, perdagangan Jambi yang didominasi oleh hasil hutan hanya memiliki nilai keseluruhan f 653.000 per tahun, jumlah tersebut kurang dari 1 persen dari jumlah statistik perdagangan Hindia Belanda. Namun, pada tahun 1925 pendapatan Jambi dari hasil karet sangat menakjubkan yakni 46.000.000 gulden per tahun, jumlah yang menakjubkan ini menduduki tempat teratas dari berbagai jenis komoditi ekspor Hindia Belanda[40].


Penyaluran hasil karet ini tidak terlepas dari penggunaan sungai Batang Hari sebagai jalur untuk menyalurkan hasil karet dari kawasan Jambi Hulu ke Jambi Hilir. Perdagangan hasil karet di kuasai oleh pedagang – pedagang Cina. Para pedagang Cina mengumpulkan karet langsung dari petani karet yang berada jauh di pedalaman Jambi dengan menggunakan kapal kapal beroda (hekwieler)[41].


Selain karet, teh Kerinci juga sebagai pemasok untuk Belanda. Perkebunan teh Kayu Aro merupakan perkebunan teh tertua di Indonesia. Kebun Kayu Aro dibuka pada tahun 1925 sampai dengan 1928 oleh perusahaan Belanda yaitu Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam (NV HVA). Penanaman teh pertama dimulai pada tahun 1929 dengan varietas spesifik asli dari biji teh. Pada tahun 1932 dibangun pabrik teh di Bedeng VIII Kayu Aro dengan kapasitas produksi 90 ton pucuk teh per hari dan kapasitas terpasang 100 ton, teh yang dihasilkan adalah jenis teh hitam (ortodox)[42].


Kedigdayaan Belanda mencengkram kukunya di Indonesia disebabkan “keunggulan kapal perang Belanda yang kecil dan lincah. Memukul mundur Portugis tahun 1601, mempertahankan Benteng Gamlamo tahun 1602-1603 dari serangan Spanyol  sehingga mulai berkuasa 1612 di Ternate[43]. Bahkan tahun 1630 sudah menguasai laut Indonesia[44] dengan menguasai pusat-pusat perdagangan seperti Malaka 1641, Padang 1662, Makassar 1667 dan Banten 1684[45].


Kemajuan teknologi bangsa Eropa tidak disadari oleh China ketika dibawah rezim Dinasti Qing  (1616 -1850)[46]. Kaisar didalam periode dinasti Qing mengganggap Tiongkok sebagai pusat dunia dan meremehkan kemajuan teknologi  Eropa. Dinasti Qingpun tumbang.


Dengan demikian, kemajuan teknologi yang membuat bangsa Belanda Berjaya dan menguasai jalur perdagangan abad XVI – XIX.


Dimuat di Jambipos.online, 28 April 2017


http://www.jambipos-online.com/2017/04/jejak-perkebunan-belanda.html


[1] Luas Belanda cuma 42.508 kilometer persegi dengan perairan 18,14%. 20% bahkan terletak di bawah permukaan laut. Lebih Kecil dari Jawa Timur yang mencapai 47.927 kilometer persegi.

[2] Ditengah masyarakat dikenal istilah kompeni. Sebuah dialek pengucapan dari asal kata Company. Ada dua sebab dibentuknya persatuan perusahaan dagang. 1. Memperkukuh dan memperluas perdagangan Belanda di Asia. Membereikan keamaan Tanah Hindia Belanda. Lihat Mc. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Penerbit PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008, Hal. 71

[3] Tahun 1612, Pimpinan VOC Berkedudukan di Ternate Demikian disampaikan oleh Adnan Amal. Lihat Amal, Adnan dan H.Syamsir Andili, Ternate dalam Perspektif Sejarah, Pemerintah Kota Ternate,  2003 sebagaimana didalam bukunya “Kepulauan Rempah-rempah – Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Nala Cipta Litera, Makassar, 2007, Hal. 65. Sedangkan penjelasan berbeda disampaikan oleh Pery Achmad Safari yang menerangkan kedatangan kapal Belanda pertama kali dipimpin oleh Wijbrand van Warwijk dan disusun Jacob Corneliszoon van Neck. Lihat Pery Achmad Safari didalam skripsinya , Kesultanan Ternate dalam Lintas Perdagangan Abad XVI – XVII, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hal. 50 “  sebagaimana dikutip dari Willard A. Hanna dan Des Alwin, Ternate dan Tidore masa lalau Penuh Gejolak, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, Hal. 113

[4] Menurut Houben, Laut Jawa tidak saja sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Laut Jawa telah terjalin hubungan dagang sebelum kedatangan Bangsa barat. laut Jawa ditempatkan sebagai salah satu aktivitas berlayar dan berdagang dengan tujuan menyusuri pantai utara Jawa. Lihat Anthony Reid, Asia Tenggara kurun niaga 1450 – 1650, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, Hal. 304. 

[5] Batavia berasal dari kata Bataaf. Nenek moyang orang Belanda. Lihat Sejarah Indonesia, Triyono Suwito, Pusat Perbukuan Depdikbud, Jakarta, 2009, Hal. 202

[6] Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, Cirebon menjadi Keresidenan dan bertindak sebagai “gemeente berdasarkan staatblaad 1906 Nomor 122. Lihat Historiografi Islam Cirebon (Kajian Manuskrip Sejarah islam Cirebon), Alfan Firmanto, Jurnal Lektur Keagamaa, Vol. 13, No. I, 2015, Hal. 31-58

[7] Menurut Agus RIdwiyanto, hutang-hutang VOC mencapai 134 juta gulden. Lihat Agus Ridwiyanto, Batavia sebagai Kota Dagang Pada Abad XVII – XVIII, Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011, Hal. 5

[8] Tanaman paksa dikenal pada masa 1830-1870.

[9] Perkebunan-Perkebunan Negara yang menghasilkan bahan-bahan ekspor harus membuat Jawa menjadi sebuah tanah jajahan yang menguntungkan. Kata Pengantar Onghokham, Perubahan Sosial di Madian selama abad XIX : Pajak dan Pengaruhnya terhadap penguasaan Tanah, didalam buku Dua Abad Penguasaan tanah – Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Gramedia untuk yayasan Obor, Jakarta 1984

[10] Furnival, HIndia Belanda, - Studi Ekonomi Majemk, Freedom Institute, Jakarta, 2009, Hal. 48

[11] Lihat Sejarah Indonesia, Triyono Suwito, Pusat Perbukuan Depdikbud, Jakarta, 2009, Hal. 205

[12] Sudiono M.P. Tjondronegoro & dan Gunawan Wiradi, (Ed). Dua Abad penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari masa-ke masa,  Gramedia untuk yayasan Obor, Jakarta 1984. Sedangkan Sartono Kartodirjo menyebutkan sebagai sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalis dan modernisasi. Lihat Sartono Kartodirjo dan Joko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1989, Hal. 3.

[13] Cf. Soetandyo Wignyosoebroto dalam Ricardo Simarmata. 2002. Kapitalisme Perkebunan. Insist Press,  Yogyakarta, hal 9.

[14] Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli – Sumatra Timur Tahun 1880 – 1915, Tesis, UI, 2007, Hal. 18

[15] Anne Booth, J.O’Malley William, Sejarah Ekonomi Indoneisa, LPE3ES, Jakara, Hal. 205

[16] Jaenal Arifin, Perkembangan Perkebunan Kopi Malangsari Desa KebunRejo Banyuwangi, Skripsi, Universitas Jember, 2015, Hal. 1-7

[17] Pengaruh Perkebunan Tebu terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Keresidenan Jepara 1830 – 1870, Zahara Sifa, Tesis, UGM, Yogyakarta, 2001.

[18] Edi Cahyono,”Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuur stelsel Masyarakat Pribumi Menyongsong Pabrik Gula”,  Jurusuan Sejarah Fakultas IIlmu Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, 1988 hal .60. Lihat juga Linbald, J. Thomas. 2000. “Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru”. Jakarta : LP3ES hlm. 80

[19] J.H Van Erden en W.B Deijs, Thee Cultuurer Ondernemingen, s-Gravenhage: NV. Uitgeveri,  1946, hal 69

[20] Wilayah perkebunan Kemuning merupakan wilayah kekuasaan dari Praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegoro IV memerintah, daerah Kemuning telah dikelola sebagai daerah perkebunan kopi sejak tahun 1814.K. Pringgodigdo, Sejarah Perusahaan-Perusahaan Milik Mangkunegaran, Reksa Pustaka Mangkunegaran,  1977, hal 68

[21] Mubyarto.dkk, Tanah danTenaga Kerja Perkebunan. Aditya Media, Yogyakarta, 1992. hal 187.

[22]  Memori Residen Krawang (Povelier) Oktober 1929. Peran elite Pribumi
Dalam Eksploitasi Kapitalisme Kolonial. Lia Nuralia, Balai Arkeologi Bandung

[23] Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar Harapan,  Jakarta, halaman 206.

[24] Abdul Karim Pringgodigdo, Sejarah Milik Praja Mangkunegaran, Reksopustoko Mangkunegaran, Yogyakarta, 1986, hal  2.

[25] Mubyarto, Masalah Industri Gula di Indonesia. BPFE, Yogyakarta, 1984

[26] Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880, Terjemahan Monique Susman. Djambatan, Jakarta, 2004, Hal. 47

[27] Eksistensi Pabrik Gula Poerwodadie dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pelem, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Magetan,  Septi Dini Cumala Nurrati

[28] P.S. Siswoyo,  Kopi Internasional dan Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal. 120.

[29] Retnandari, N.D, dkk,. Kopi Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.

[30] Sampai tahun 1884 telah berdiri 12 perusahaan perkebunan tembakau di wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur sebagai produsen tembakau terbesar di Asia. Roestham Thaib (editor), Medan Dulu dan Sekarang, Djawatan penerangan Kotapraja Medan , Medan, 1959, Hal. 48

[31]  Aditjondro, George. J, 1998. Seminar “Konferensi 100 Tahun Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”, Hal. 3

[32] Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli – Sumatra Timur Tahun 1880 – 1915, Tesis, UI, 2007. Koelis, planters en koloniale politiek, Het arbeidsregime op de Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het begin van de twintigste eeuw yang ditulis oleh Jan Breman. Buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Koesalah Soebagyo Toer dengan judul Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial Pada Awal Abad ke-20. Buku itu diterbitkan atas kerjasama antara PT Pustaka Utama Grafiti dan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV) Jakarta tahun 1997.

[33] Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of East Sumatra, 1863-1942, LEKNAS-LIPI, 1977, Jakarta, Hal. 6.

[34] James J.Spilanne.Karet : Kajian Sosial Ekonomi , Kanisius, Yogyakarta, 1994.hal.4

[35] Septinawati, Perkebunan Karet PTPN IX Batujamus Karanganyar, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, Hal. 43

[36] Alfisyah, Dinamika Ekonomi dan Perkembang Perdagangan Urang Banjar.

[37] Yustan Aziddin. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud, Banjarmasin, 1984), hlm. 128;

[38] Data dari berbagai sumber

[39] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi Adtya Media,  Yogyakarta, 1991, hlm. 4.

[40] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, KITLV dan Banana, Jakarta, 2008). hal 323

[41] Lindayanti, “Perkebunan Karet Rakyat di Jambi pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda,1906-1940”, hal 40.

[42] Puti Siyamitri, Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebubnan dan Hubungannya dengan kesejahteraan keluarga, Skripsi, IPB, 2009, Hal. 42

[43] M. Adnan Amal, Kepualauan Rempah-rempah – Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010, Hal. 65

[44] Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo, Atlas Pelabuhan-pelabuhan sejarah di Indonesia, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta, 2013, Hal. 24

[45] Habib Mustopo, Sejarah Indonesia, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 99

[46] Dinasti Qing adalah dinasti kedua dan terakhir yang didirikan oleh Suku Mongol dari Utara. Dinasti Qing merupakan dinasti terakhir di China sekaligus menutup dari sejarah Monarkhi feodal seumur sejarah China. Dinasti Qing berbarengan dengan revolusi Industri di Eropa. Mengalami dua kali perang Candu (1839-1842) dan 1858-1860). Michael Wicaksono, Dinasti Qing – Sejarah Para Kaisar Berkuncir 1616 – 1850, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2015, Hal. 27