03 April 2017

opini musri nauli : MASA DEPAN SUMBERDAYA ALAM JAMBI


MASA DEPAN SUMBERDAYA ALAM JAMBI[1]
Musri Nauli[2]




Memasuki paruh waktu tahun 2017, saya belum menemukan format, desain ataupun arah kebijakan Jambi didalam melihat permasalahan termasuk upaya penyelesaian di sector sumberdaya alam Jambi.
Padahal angka-angka kerusakan sumberdaya alam sudah tahap mengkhawatirkan[3]. Tahun 2015 saja, kebakaran telah meliburkan sekolah selama 2 bulan lebih, ISPU mencapai 1200 pm, menyebabkan ISP 20.471 orang[4], menewaskan 3 orang, menimbulkan Rp 221 Trilyun kerugian akibat kebakaran hutan[5]

Angka ini kemudian melengkapi Laju kerusakan hutan mencapai 871.776 hektare (ha) selama tiga tahun terakhir. Angka ini melebihi angka deforestrasi nasional yang mencapai 613 ribu hektar. Melengkapi kawasan hutan lindung untuk tambang seluas 63 ribu hektar[6]

Di sector tambang, daya rusak tambang dari areal yang diberikan kepada perusahaan yang tidak melewati procedural “clean and Clear” sebanyak 190 IUP. Belum lagi reklamasi yang belum diselesaikan meninggalkan lubang yang berbahaya.

Belum lagi aktivitas pertambangan yang mengakibatkan Sungai Batanghari tercemar Merkuri[7]. 

Semua aktivitas pertambangan kemudian menjadikan “rakyat hanya menikmati debu”. Lingkungan hidup tidak lagi bisa diperbaiki. Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang menganga tanpa reklamasi tambang.

Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir dan erosi. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami kebanjiran kemudian mengalami kebanjiran setiap musim hujan tiba. Selain itu timbulnya konflik satwa dengan manusia[8].

Problema ini kemudian melengkapi problema kerusakan hutan sebelumnya seperti pembukaan hutan untuk sawit, tambang dan konflik di sector kehutanan.

Untuk melihat problema kerusakan sumberdaya alam, maka penulis menggunakan berbagai kebijakan untuk melihat bagaimana Negara mampu menyelesaikanya.

Dokumen yang dianalisis yaitu Peraturan Daerah Prov Jambi No. 10 Tahun 2013 Tentang RTRW Propinsi , RPJMP Jambi, Visi- misi Gubernur/Wakil Gubernur jambi 2016-2021, tim pemberantasan PETI, Adanya tim gambut daerah, Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran di Jambi. Dokumen kemudian dianalisis untuk menjawab kebutuhan terhadap problema kerusakan sumberdaya alam.

Pentingnya membaca dokumen diperlukan untuk melihat arah, desain, format dan upaya penyelesaian kerusakan sumberdaya alam. Dari analisis kemudian dilakukan upaya penggalian format penyelesaian (elaborasi).

Untuk membaca angka-angka kerusakan lingkungan hidup maka haruslah diletakkan didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jambi (RPJMP Jambi). Dari hasil analisis terhadap dokumen didalam melihat problema lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka didapatkan hasil sebagai berikut ;
1.   Dokumen RPJMP sama sekali tidak melihat semakin berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi untuk industry (baik sawit maupun tambang).
2.   Tidak terdapat upaya yang kongkrit untuk melakukan reboisasi hutan yang gundul.
3.   Melihat problema hutan di 4 taman nasional (Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Dua Belas, Taman Nasional Berbak).
4.   Tidak ada satupun desaian atau upaya untuk mengembalikan kerusakan lingkungna hidup
5.   Tidak ada satupun upaya ataupun perhatian di sector gambut.

Sedangkan didalam Visi – Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2016-2021 (Visi-misi) yang disampaikan ke KPU Propinsi Jambi justru semakin mengkhawatirkan.
1.   Adanya dokumen yang menyebutkan tutupan masih 70% dawi wilayah Jambi.
2.   Merebut Pulau Berhala[9]
3.   Pemenuhan pelayanan dasar
4.   Pemenuhan listrik 181,07 MW

Membaca dokumen RPJMP Jambi dan Visi – Misi, maka dapatlah dikatakan “cukup menyedihkan”.

Dengan dokumen RPJPM dan Visi-Misi maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Propinsi Jambi belum meletakkan persoalan kehutanan berangkat dari “daya rusak” yang sudah mengkhawatirkan.

Daerah-daerah hulu sungai yang menjadi penyangga dan merupakan daerah yang harus dikembalikan fungsinya tidak dilakukan upaya rehabilitasi.

Daerah-daerah seperti kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Sebelat dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang menjadi “water cachctment area” telah rusak namun belum dilakukan upaya rehabilitasi.

Sehingga banjir yang terjadi di Tabir, Batang Asai, Taman Agung (Bungo) Kuningan, Sungai Bengkal, Lubuk Bungur, Punti Kalo,Tambun Arang, Teluk Singkawang (Tebo)[10] – “sekedar gambaran”  - adalah daerah yang tidak mengenal banjir.

Belum lagi banjir yang memutuskan jalan Jambi – Sarolangun akibat sungai meluap di Batang Tembesi diakibatkan kerusakan di hulu Batang Tembesi akibat penambangan emas.

Sekedar gambaran dari banjir awal tahun 2017 memberikan angka-angka yang cukup mengkhawatirkan. Daya rusak yang ditanggung oleh Bumi Jambi akibat pembukaan hutan konversi untuk HTI, sawit, tambang tidak menjadi perhatian dari dokumen RPJMP Jambi.

Yang mengkhawatirkan adalah “paparan” dari Visi – Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi. Dengan penyebutan “tutupan hutan 70 % wilayah Jambi”, angka ini sungguh menyesatkan.

Dengan kalkulasi luas wilayah Jambi 4,8 juta hektar dikalkulasikan 70% wilayah Jambi, maka menurut dokumen Visi-Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi, maka tutupan hutan Jambi “masih” 3,6 juta hektar. Angka ini sungguh “menggelikan” apabila tidak dikatakan “mengerikan” ataupun “memalukan”.

Padahal berbagai data sudah menunjukkkan Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha).

Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.

Belum lagi kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.

Dengan penghitungan sederhana, maka “sebenarnya” tutupan hutan di Jambi tinggal 800 ribu hektar. Itupun termasuk didalam kawasan Taman Nasional.

Dengan demikian maka paradigma “tutupan hutan 70% wilayah Jambi” merupakan “ilusi” sebelum reformasi. Ataupun “mimpi” yang belum terbangun disaat kondisi sekarang.

Problema lain adalah pandangan tentang gambut. Kerusakan gambut menjadi “penyuplai” kebakaran tahun 2015. Dengan areal terbakar mencapai 135 ribu hektar[11]  dimana 40% berada di gambut, maka gambutlah haruslah dikembalikan fungsinya dengan cara “perendaman gambut (restorasi gambut).

Didalam dokumen RPJPM maupun Visi – Misi Gubernur Jambi sama  sekali tidak terlihat.  Walaupun adanya upaya “politik” Pemerintah Jambi dengan “hak inisiatif” dari DPRD Provinsi Jambi dengna mengundangkan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran dan dibentuknya Tim Gambut Jambi

Namun upaya pembasahan gambut (restorasi gambut) belum dilaksanakan “berkejaran” dengan waktu “ancaman musim kering” lebih parah dibandingkan dengna tahun 2015.

Di sektor pertanian, negara “abai” terhadap kenyataan konversi lahan pertanian untuk sawit dan tambang.

Pada tahun 1986 tanah di wilayah Jambi meliputi areal persawahan sekitar 99.068 ha (2,2%), areal perkebunan negara dan swasta sekitar 591.044 ha (13,2%), areal tegalan/kebun/ladang/huma sekitar 423.117 ha (9,4%,) areal tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan sekitar 609.609 ha (13,6%), areal kehutanan sekitar 1.614.000 ha (36,0%) dan areal pemukiman dan budi daya lainnya sekitar 1.143.162 ha (25,6%)  dari seluruh luas wilayah

Namun kemudian areal persawahan tahun 2012 tinggal 112.174,02. Sedangkan lahan sawah irigasi terus menurun dari 33.839 ha (2008) tinggal 8.446 (2012). Begitu juga penurunan Luas Lahan Tegal/Kebun dari 393.112 (2011) tinggal 374.557 (2012). Angka yang tidak berbeda jauh yang disampaikan oleh Pemerintah Propinsi Jambi.

Berbagai aktivitas manusia seperti kebakaran, alih fungsi kawasan, penggunaan dan penggunaan bibit unggul dalam satu kawasan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.

Akibat kebakaran maka tanah menjadi rusak dan terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Sungai menjadi dangkal sehingga ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan banjir. 

Belum lagi Sungai Batanghari yang tercemar[12] dan konflik yang belum terselesaikan[13].

Sekedar angka-angka yang telah dipaparkan kemudian membuka mata kita terhadap pandangan negara (baik didalam kebijakan maupun upaya pemulihan terhadap kerusakan lingkungna hidup).

Berangkat dari paparan angka-angka problema lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang telah “diramu” dari berbagai sumber disandingkan dengan RPJMP dan Visi – Misi Jambi, maka persoalan lingkungan hidup di Jambi belum mampu dibaca Provinsi Jambi. Pemerintah Propinsi Jambi belum mampu menjawab apalagi mempunyai desain untuk upaya penyelesaian.

Selain itu meletakkan paradigma “investor” sebagai barometer ekonomi dan pertumbuhan sebagai indicator pembangunan masih melambangkan konsepsi ekonomi “pertumbuhan” (growth). Sebuah konsep usang dan diakui sendiri oleh World Bank sebagai konsep yang justru meminggirkan masyarakat.

Belum lagi konsepsi pembangunan yang dinilai dari indicator terhadap pembangunan fisik seperti “meningkatkan kualitas bandara Bungo” dan RSU Bungo sebagai Pusat Regional Rumah Sakit Regional dan dukungan pendanaan setiap desa Rp 200 juta.

Dengan demikian maka rakyat kemudian “dibiarkan” untuk melakukan tugasnya “mengembalikan fungsi hutan (reboisasi), menyelesaikan konflik, melakukan upaya pembasahan gambut (restorasi gambut).

“Lepas tangannya” Negara selain mengakibatkan tugas rakyat semakin berat dengan “ancaman konflik “semula konflik vertical menjadi konflik horizontal” dan dilarang membuka dengan cara membakar “merun’.





[1] Disampaikan pada Rapat Kerja Daerah Walhi Jambi, 4 April 2017
[2] Direktur Walhi Jambi 2012-2016
[3] Tahun 2015, Walhi Jambi mengadakan penilaian terhadap Indikator Lingkungan Hidup. Formula yang digunakan menggunakan prinsip sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009 yaitu “daya dukung” dan “daya tampung”. Dengan menggunakan “Hak hidup yang baik dan sehat”, “daya dukung dan daya tampung”, analisis ilmiah dan pengetahuan local masyarakat, Walhi Jambi kemudian memaparkan angka-angka terhadap kerusakan lingkungan hidup Jambi tahun 2015. Angka ini semakin parah yang ditandai dengan kebakaran tahun 2015 dan banjir yang melanda awal tahun 2017
[4] Data berbagai sumber. Diolah Walhi, 2016
[5] Rp 221 Trilyun kerugian akibat kebakaran hutan, Kompas, 17 Desember 2015. Angka ini terlalu kecil apabila dibandingkan Bahkan menurut penghitungan Basuki Wasis, peneliti IPB yang melakukan penghitungan kerugian kebakaran tahun 2014, dengan areal terbakar 286 hektar untuk tahun 2014  menimbulkan kerugian 44 trilyun. Sehingga dengan kalkulasi 286 hektar saja kemudian dikonversi ke areal terbakar 2 juta hektar maka merugikan 5,2 bilyun atau 2 kali APBN Indonesia.
[6] Koordinasi dan Supervisi KPK tahun 2014
[7] Menurut pakar ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani menyebutkan Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif. Masuknya Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) dapat menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. ”Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti. 
[8] Konflik Gajah di sekitar Lanscape Bukit Tiga Puluh di sekitar Taman nasional Bukit Tigapuluh daerah Tebo sering mengalami konflik dengan manusia. Menurut berbagai sumber, Ada sekitar 150 konflik setahun. Sedangkan seringnya peristiwa harimau masuk kampung dan mengakibatkan korban manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun. Munculnya konflik satwa disebabkan areal kawasan habitat satwa sudah semakin menyempitnya dengan pembukaan hutan oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun sawit skala besar dan pertambangan.
[9] Mengenai “Pulau Berhala” tidak dibahas dalam makalah ini.
[10] Data dari berbagai Sumber diolah di YKR
[11] Walhi sendiri mencatat, hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api, Walhi 2016
[12] Dari 16 titik sampling di sepanjang DAS Sungai Batanghari, lima titik tercemar sedang. Sedangkan sisanya tercemar limbah berat, Kompas, 2 November 2015
[13] Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. Menurut Tim Inventarisir dan Penyelesaian Konflik 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan