14 Juni 2017

opini musri : Gambut dari pendekatan etnografi




GAMBUT DARI PENDEKATAN ETNOGRAFI[1]
Musri Nauli[2]


Issu gambut memantik diskusi panjang setelah kebakaran massif sejak tahun 2010. Negara “gagap[3]’ menghadapi kebakaran dan kemudian diperparah tahun 2015. Pemerintah Jokowi – JK kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpes) No. 1 Tahun 2016 yang membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG).
Namun upaya yang dilakukan Jokowi – JK belum mampu mengurai problema di sector gambut. Pengetahuan gambut masih banyak diproduksi oleh kalangan akademisi dan industry. Pengetahuan tentang gambut yang diproduksi oleh akademisi dan industry masih menempatkan masyarakat di kawasan gambut sebagai obyek penelitian. Sebuah aras yang kemudian terbukti gagal didalam memandang gambut.

Tulisan yang hendak dipaparkan kali ini sengaja dihadirkan dengna menempatkan masyarakat di kawasan gambut sebagai “pemilik pengetahuan mutlak” dan “rujukan” didalam melihat dan menata sector gambut.

Sebagai pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. kawasan gambut merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Di Jambi, kawasan gambut dikenal sebagai kawasan hilir Propinsi Jambi. Terletak di Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kabupaten Muara Jambi merupakan kabupaten Pemekaran dari Kabupaten Batanghari. Sedangkan sebelum pemekaran tahun 1999, Kabupaten Tanjung Jabung barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan kabupaten Tanjung Jabung.

Sebagai daerah pesisir pantai timur Sumatera, ketiga daerah kabupaten di hilir Propinsi Jambi sudah mengalami interaksi yang kuat dengan berbagai perkembangan luar Jambi. Masuknya budaya Bugis, banjar menjadi pengetahuan didalam melihat persoalan gambut.  

Berdasarkan peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, di Jambi dikenal Marga dan Batin. Di Kabupaten Muara Jambi dikenal Marga Awin, Marga Kumpeh Ulu, Kumpeh Ilir, Marga Jebus, Marga Jambi Kecil. Sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur  dikenal Marga Dendang/Sabak dan Marga Berbak. Dan di Tanjung Jabung Barat dikenal Marga Tungkal Ulu dan Marga Tungkal Ilir.

Sebagai kawasan gambut unik dan penting, masyarakat memandang gambut dengan menempatkan sebagai kawasan yang dilindung. Penamaan kawasan gambut yang tidak boleh dibuka ditandai dengan ujaran “Hutan hantu pirau”[4]. Di tempat inilah sebagai sarang ikan yang menjadi sumber utama dan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Sebagai kawasan yang dilindungi oleh masyarakat, gambut dalam ditandai dengan “akar berkait, jelutung dan pakis[5]”. Daerah inilah sebagai tangkapan air, penyimpan air dan sebagai penyimpan kekayaan di gambut (biodiversity).

Namun sejak kedatangan berbagai perusahaan sawit, kebakaran yang semakin massif, air sungai yang keruh menyebabkan semula masyarakat menangkap ikan. Namun ikan-ikan kemudian mulai sulit didapatkan.  Ikan-ikan seperti toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa. Bahkan ikan lais yang semula kurang mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah didapatkan. Ikan Toman (channidae), ikan baung (Macrones nemurus), ikan tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus erythrotaenia)[6].

Sebagai kawasan gambut, maka penghormatan masyarakat terhadap areal yang dilindungi sudah berlangsung ratusan tahun[7]. Masyarakat terbukti arif didalam melindungi dan memanfaatkan gambut sebagai kekayaan terhadap kehidupan sehari-hari.

Kawasan inilah yang kemudian diberikan izin oleh penguasa. Dengan menggunakan kategori “gambut konservansi” dan “budidaya gambut[8]”, areal yang dikategorikan sebagai kawasan lindung oleh masyarakat kemudian diberikan izin. Baik sawit maupun HTI.

Pemegang izin dengan “angkuh” menggunakan bulldozer “membangun kanal’ untuk mengeringkan air, membelah gambut dan kemudian menanami sawit dan akasia. Komodity yang tidak dikenal di kawasan gambut.

Belum lagi kampus yang sering “mendengung-dengungkan” pemanfaatan gambut untuk sawit dan akasia.

Dan alam kemudian memberikan kabar. Kebakaran massif sejak tahun 2010 kemudian tidak terbendung. Indonesia kemudian tersentak.

Kegagalan mengelola gambut, pengetahuan yang didengung-dengungkan oleh akademis memberikan pelajaran pahit. Kebakaran tahun 2015 kemudian “pemegang izin” hendak mencuci tangan. Baik dengan pernyataan “enggan” bertanggungjawab terhadap kebakaran, menumpahkan kesalahan semata kepada masyarakat hingga upaya menghapuskan norma pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability whitout fault) dengan mengajukan ke MK.  

Pelajaran pahit yang paling diderita oleh masyarakat di kawasan gambut adalah “Menghirup asap” selama 4 bulan lebih dan telah berlangsung selama 17 tahun. Suasana yang tidak mungkin dirasakan oleh pemegang izin dan akademisi yang tinggal di gedung ber-AC.

Maka hipotesis sebagai kawasan lindung yang ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis” oleh masyarakat adalah sumber pengetahuan yang tidak bisa dibantah lagi. Dan Negara kemudian harus mengadopsi sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikan sebagai kawasan lindung gambut sebagaimana amanah didalam Perpres No. 1 tahun 2016.

Dengan menempatkan masyarakat sebagai pemilik pengetahuan tentang gambut, maka kemudian dilakukan upaya penggalian pengetahuan didalam memandang gambut.

Setelah melihat dan menempatkan masyarakat didalam menghormati gambut, maka didalam perlakuan terhadap gambut juga ditandai dengan mengatur ruang. Selain adanya tempat-tempat yang tidak boleh dibuka, adanya pohon-pohon yang tidak boleh ditebang. Di Desa Sungai Bungur dikenal pohon-pohon yang tidak boleh ditebang yaitu pohon sialang (pohon yang lebahnya), Pohon kemang, pohon durian, pohon duku, pohon jengkol, pohol manggis dan pohon rambutan.

Mekanisme pengaturan baik terhadap daerah-daerah yang tidak boleh dibuka dan pohon yang tidak boleh ditebang dikenal sebagai “pantang larang”.

Didalam mengatur dan mengelola kawasan untuk kehidupan, maka diluar daerah yang dilarang (pantang larang), maka dikenal dengan “peumoan[9]”. Wilayah untuk ditanami padi. Wilayah yang menjadi tempat menanami padi tidak boleh digunakan (dikonversi) ke tanaman lain.

Sedangkan didalam mengatur tentang tanah untuk perkebunan dikenal dengan istilah “pancung alas[10]”, “bidang[11]”, “mentaro[12]’, “larangan krenggo[13]”.

Terhadap pembukaan hutan ataupun pengerjaan tanah maka maka harus diutamakan untuk masyarakat  didalam Desa. Dilakukan sesuai dengan tatacara dan dipersiapkan untuk generasi selanjutnya. Daerah yang yang dilarang untuk dibuka, tidak dibenarkan untuk dibuka. Terhadap pembukaan daerah yang dilarang maka dijatuhi sanksi adat yang diputuskan melalui rapat Adat.

Sedangkan terhadap tanaman yang dilarang untuk ditebang, maka tidak dibenarkan untuk ditebang. Setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.  Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter.

Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda. Terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.

Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat.

Terhadap tanah mentaro, kemudian ditanyakan kepada pemilik tanah. Apakah mau ditanami atau tidak sanggup untuk dikelola. Apabila tidak dikelola maka hak terhadap tanah menjadi hapus dan akan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun yang diutamakan masyarakat didalam Desa.

Sebagai norma yang harus dipatuhi masyarakat, didalam mayarakat mengenal sanksi terhadap pelanggaran norma-norma. Baik dengna cara mengembalikan tanah kepada pemangku adat,  upacara “bubur putih”, denda adat didalam prosesi adat.

Selain itu juga dikenal “jenjang adat” didalam menyelesaikannya. Penamaan seperti “bertangkap naik bertangga turun’, “memancung putus” adalah prosesi yang dilalui didalam menyelesaikan persoalan adat.

Model, cara pengelolaan masyarakat dikawasan gambut yang telah berlangsung ratusan tahun kemudian terbukti handal. Cara pengelolaan seperti pantang larang dengan menempatkan “akar bekait, jelutung, pakis” sebagai kawasan lindung, “peumoan’, larangan krenggo, mentaro” terbukti tidak menjadi penyumbang kebakaran. Areal kebakaran bukanlah disumbang dari model pengelolaan masyarakat. Industri dan model yang ditawarkan dari mekanisme yang diluar masyarakatlah yang menjadi penyumbang kebakaran massif sejak tahun 2010.

Lalu. Mengapa kita kemudian angkuh mengakui “kearifan” masyarakat didalam mengelola masyarakat. 



Dimuat di brandanews.com, 16 Juni 2017

http://brandanews.co.id/gambut-dari-pendekatan-etnografi.html

 





[1] Disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan Pembentukan Peraturan Desa, Jambi, 14 – 16 Juni 2017
[2] Advokat, Tinggal di Jambi
[3] Sejak tahun 2000, gambut masih dipandang sebagai komoditas ekonomi yang diperlakukan seperti hutan, sawit, tambang. Namun sejak tahun 2010, ketika kebakaran semakin massif dan menghadapi protes Negara-negara ASEAN, Indonesia kemudian belajar memandang gambut sebagai entitas wilayah yang berbeda dengan daerah lain. Namun pengetahuan gambut yang diproduksi kalangan akademisi dan industry masih menganggap gambut menjadi wilayah yang bisa dikelola.
[4] Pertemuan Desa Rukam, Muara Jambi, 4 Juni 2017
[5] Riset Walhi Jambi, 2016
[6] Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Jambi
[7] Desa Sungai Bungur, 4 Juni 2017
[8] Ada perbedaan paradigma masyarakat dengan berbagai peraturan perundang-undangan didalam memandang gambut. Wilayah yang ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis dikategorikan sebagai gambut dalam oleh masyarakat. Dan merupakan kawasan yang dilindungi dan tidak boleh dibuka.  Sementara peraturan perundang-undangan seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Tata Ruang maupun UU PPLH kemudian membagikan kategori. Antara gambut yang dilindungi (Gambut konservansi) dan gambut yang boleh dikelola (budidaya gambut) dengan kategori 0 – 3 meter.
[9] daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak boleh ditanami tanaman lain selain padi
[10] Pancung alas. Setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.
[11] Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter. Setiap tanah yang telah dibuka disebut satu bidang.
[12] Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan yang lain.
[13] Larangan Krenggo. Terhadap Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain.