19 Agustus 2017

opini musri nauli : IZIN LINGKUNGAN SEKTOR SAWIT


Akhir-akhir ini, issu izin lingkungan hidup menarik perhatian public disaat menyaksikan “drama kolosal” PT. Semen Indonesia (kasus Rembang). Publik dikejutkan dengan Gubernur Jawa Tengah kemudian harus melakukan “mencabut  izin lingkungan kepada PT. Semen Indonesia di Rembang. Namun tidak berselang waktu begitu lama, Gubernur Jawa Tengah kemudian menerbitkan izin lingkungan (dengan perbaikan varian tertentu. Seperti luas areal, perubahan nama perusahaan).

Sikap yang diambil Gubernur Jawa Tengah menggambarkan “perilaku” sebagian elite dan kalangan hukum yang masih memandang sebelah mata tentang “izin lingkungan”.

Pandangan dan perilaku ini selain masih banyak berbagai pihak yang masih berparadigma memandang “remeh” izin lingkungan juga tema “izin lingkungan” belum menjadi wacana mainstream didalam pengelolaan Sumber daya alam.

Padahal UU No. 32 Tahun 2009 ditempatkan sebagai UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet)[1]. Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009 telah menegaskan. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.

Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2009[2][1], Izin lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah bahaya bagi lingkungan”.  Dalam pasal 1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan disebutkan “izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Sehingga setiap usaha/kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal (Pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat (1)  PP No. 27 Tahun 2012).

Dengan dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU Lingkungan Hidup). Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan dapat dibatalkan oleh Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37 ayat 2 UU Lingkungan Hidup). Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup). Sehingga dengan dibatalkan izin lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).

Izin lingkungan juga digunakan selain “mencegah bahaya bagi lingkungan” maka harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS sebagaimana diatur didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain juga memperhatikan “daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup).

Dengan memperhatikan “rambu-rambu” yang sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maka “izin lingkungan” merupakan keharusan mutlak yang dijadikan dasar untuk melakukan aktivitas perusahaan.

Problema mulai timbul disaat bersamaan berbagai peraturan sektoral kemudian belum merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009.

Di sector sawit, berbagai peraturan masih menempatkan “amdal/UKL/UPL” yang dipandang sebagai bentuk “izin lingkungan”.

Peraturan Menteri Pertanian No. 6 Tahun 2007 (Permentan No. 6 Tahun 2007) yang kemudian diperbaharui Peraturan Menteri Pertanian No. 98 tahun 2013 (Permentan No. 98 Tahun 2013) tidak memasukkan persyaratan izin lingkungan untuk mendapatkan IUP (Izin Usaha Perkebunan).

Didalam Pasal 15 Permentan No. 6 Tahun 2007 tidak tercantum sama sekali “izin lingkungan” sebagai persyaratan untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan.

OK. Permentan No. 6 Tahun 2007 yang mengikuti alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997 masih merujuk kepada UU sebelum UU No. 32 Tahun 2009 yakni UU No. 23 Tahun 1997 (alur pemikiran UU No. 23 Tahun 1997) dimana masih menggunakan mekanisme “Amdal/UKL/UPL” sebagai izin untuk berkegiatan yang berdampak kepada lingkungan.

Namun sejak terbitnya UU No. 32 Tahun 2009 yang menjadi UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet, modewet) didalam pengelolaan sumber daya alam, maka segala kegiatan/aktivitas haruslah menggunakan mekanisme “izin lingkungan”.

“Maqom” izin Lingkungan sebagai pondasi penting didalam pengelolaan sumber daya ala kemudian diwujudkan didalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 (PP No. 27 Tahun 2012).

Sebagai terjemahan pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, maka izin lingkungan kemudian diturunkan dan ditetapkan PP No. 27 Tahun 2012 telah ditegaskan didalam pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012.  Didalam pasal 2 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012 ditegaskan “Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.

Dengan demikian maka setiap kegiatan selain memiliki “amdal/UKL/UPL” juga menggunakan mekanisme “izin lingkungan”. Sehingga kalimat pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 junto Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012 adalah satu kesatuan. Tidak terpisahkan. Atau dengan gaya khas anak muda. “satu tarikan nafas”.

Sehingga ketika terbitnya Permentan No. 98 Tahun 2013 yang merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun 2012 kemudian “memasukkan” izin lingkungan sebagai persyaratan mendapatkan Izin Usaha Perkebuna (IUP).

Dengan demikian maka walaupun UU Perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004, UU No. 39  Tahun 2014) tidak memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan di sector perkebunan namun sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 yang secara tegas memasukkan “izin lingkungan” sebagai persyaratan pengelolaan sumber daya alam, maka “izin lingkungan” adalah keharusan”. Mekanisme ini dikenal sebagai asas “lex specialis derogate lex generalis”. Aturan khusus diperlakukan daripada aturan umum.  Sehingga sejak terbitnya UU No. 32 tahun 2009 tanggal 3 Oktober 2009 maka setiap kegiatan harus memiliki izin lingkungan.

Problema hukum

Bagaimana terhadap aktivitas/kegiatan yang dilakukan telah memiliki Amdal/UKL/UPL namun belum memiliki izin lingkungan sebelum tanggal 3 Oktober 2009 (sebelum lahirnya UU No. 32 Tahun 2009) ?

Mekanisme ini telah diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009. Mekanisme pertama diatur didalam pasal 121 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Dijelaskan “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.

Mekanisme kedua diatur didalam 121 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

Sedangkan mekanisme ketiga dilakukan berdasarkan pasal 123 UU No. 32 Tahun 2009 “Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

Sehingga paling lama setahun atau dua tahun setiap badan usaha wajib memiliki izin lingkungan. Dapat dipastikan sejak tahun 2010-2011, setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan mempunyai konsekwensi hukum.

Terhadap pelanggaran dapat ditemukan didalam pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dengan adanya “izin lingkungan” maka terhadap pengelolaan lingkungan dapat memberikan hak kepada masyarakat secara luas. Hak mendasar sebagaimana diatur didalam 65 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.



[1] Jambi Independent, 20 Desember 2016