09 Agustus 2017

opini musri nauli : Silang sengkarut Peraturan Gambut


Memasuki musim panas, ingatan kolektif rakyat di 5 Propinsi (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng) mulai mengancam.
Di Jambi, kebakaran kemudian mencapai seluas 135 ribu hektar. 40% di lahan gambut. 25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010 orang. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel. Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.

Problema muncul. Disatu sisi, analisis menunjukkan kebakaran banyak terjadi di kawasan gambut. Namun disatu sisi, peraturan perundang-undangan masih tumpang tindih dan memberikan beban tambahan terhadap penegakkan hukum.

Didalam pembahasan ini, maka pendekatan digunakan adalah pendekatan yuridis. Dimana peraturan yang dianalisis yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden. Keputusan Presiden/instruksi Presiden, Peraturan Menteri dan peraturan dibawahnya hingga Peraturan Daerah di berbagai daerah yang berhubungan dengan sector gambut. 

Peraturan perundang-undangan yang dianalisis adalah 11 UU (4 Putusan MK),  20 Peraturan Pemerintah, 1 Perpres, 5 Keppres, 3 Keppres, 21 Peraturan Menteri dan 27 Peraturan Daerah yang menjadi obyek pembahasan.

Dari analisis peraturan maka “Penggunaan kata “gambut” dapat ditemukan didalam PP NO. 71 Tahun 2014 (yang kemudian diperbaharui berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016), Keppres No. 32 Tahun 1990, Keppres No. 82 Tahun 1995, Keppres No. 80 Tahun 1999 dan Keppres No. 48 Tahun 1991, Inpres No. 8 Tahun 2015, Inpres No. 2 Tahun 2007 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/KB.330/5/2016, Permentan No. 14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009. Selain itu juga terdapat kata “gambut” Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 dan Inpres No. 8 Tahun 2015.

Penggunaan berbagai penamaan terhadap kawasan ekosistem gambut seperti “lahan basah”,  ekosistem gambut yang tidak dapat tergantikan”, “ekosistem lahan basah atau “ekosistem lahan basah yang unik, 

Definisi gambut dapat dikategorikan yaitu tanah hasil akumulasi timbunan bahan organic dengan komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami, tertimbun waktu yang lama,  ketebalan kurang dari 3 meter.

Gambut mempunyai karakteristik seperti ekosistem lahan basah yang unik, keanekaragaman hayati, ekosistem yang khas  namun miskin unsur hara bagi pertumbuhan vegetasi diatasnya.

Kawasan hidrologi gambut ditentukan letaknya di antara 2 buah sungai atau diantara sungai dan laut atau pada rawa atau cekungan di antara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit, gambut yang terbentuk merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 hingga 1 meter atau gambut sedang dengna ketebalan 1-2 meter. Jika jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh hingga beberapa kilometer, maka tanah gambut membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar dan dalam (2 – 3 meter) hingga sangat dalam (lebih 3 meter). 

Gambut berfungsi dan manfaat yang unik, mencegah terjadinya kerusakan ekosistem sistem gambut, satu kesatuan yang utuh, saling mempengaruhi, penambat air dan pencegah banjir.

Namun peraturan masih memungkinkan terhadap pengelolaan gambut seperti UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Keppres No. 82 Tahun 1995, Keppres 80  Tahun 1999,  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 14 Tahun 2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/KB.330/5/2016 Tentang  Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit yang mendukung  Permentan No. 14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit dengan menggunakan mekanisme Kawasan gambut budidaya.

Negara telah memandang pentingnya kawasan gambut yang disebut sebagai “kawasan unik dan penting’. Berbagai peraturan perundang-undangan kemudian menempatkan kawasan ekosistem gambut dengan menggunakan berbagai istilah.

“Ekoregion dan “Konservasi sumber daya alam (UU No. 32 Tahun 2009),  konservasi sumber daya air (UU No. 7 Tahun 2004), Kawasan lindung wilayah (UU No. 37 Tahun 2014), Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), kawasan hutan dan bukan kawasan hutan (UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2013), kawasan lindung (UU No. 26 Tahun 2007, Keppres 32 Tahun 1990), “pemanfaatan berdasarkan fungsi ruang (UU No. 39 Tahun 2014), ekosistem gambut (PP No. 71 Tahun 2014) dan konservasi rawa (PP No. 73 Tahun 2013)

PP No. 57 tahun 2016 lebih menitikberatkan fungsi ekosistem gambut dengan meletakkan kesatuan hidrologi gambut yang harus dilindungi. 

Gambut yang merupakan kawasan ekosistem gambut  yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa atau cekungan di antara dua sungai besar. Bila cekungan tersebut sempit, gambut yang terbentuk merupakan gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 hingga 1 meter atau gambut sedang dengna ketebalan 1-2 meter. Jika jarak horizontal kedua sungai besar tersebut cukup jauh hingga beberapa kilometer, maka tanah gambut membentuk kubah gambut (peat dome) yang cukup besar dan dalam (2 – 3 meter) hingga sangat dalam (lebih 3 meter).

Sedangkan Konvensi Ramsar mendefinisikan mereka sebagai "daerah payau, rawa, lahan gambut atau air, baik yang alami maupun buatan, permanen atau sementara, dengan air yang statis atau mengalir, segar, payau atau asin, termasuk area air laut kedalaman yang saat surut tidak melebihi ketinggian 6 meter. Ketentuan ini dapat dilihat dari definisi Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organic (berat kering) lebih dari 65% (enam puluh lima per seratus) dan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m (nol koma lima meter). Sehingga kategori gambut sedang tidak diperlukan lagi.

Berbagai peraturan menjadi tumpang tindih. Disatu sisi peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan kawasan gambut (UU No. 32 Tahun 2009, UU No. 5 Tahun 1990, UU No. 37 tahun 2014, UU No. 26 tahun 2007, UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan yang mencabut UU No. 11 Tahun 1974 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XII/2013, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan kerusakan Kehutanan, PP No. 57 Tahun 2016 junto PP No. 71 Tahun 2014, PP No. 73 Tahun 2014, PP No. 45 Tahun 2004, PP No. 45 PP No. 4 Tahun 2001 Tentang  Pengendalian  Kerusakan dan Atau Pencemaran  Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan kebakaran Hutan dan Atau Lahan, PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, PP No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan, Perpres No. 1 Tahun 2016, Keppres No. 32 Tahun 1990 TentangPengelolaan Kawasan Lindung, Keppres No. 48 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Convention on Wetland Of International Importance Especially Waterfowl Habitat, Inpres No. 8 Tahun 2015 Tentang Penundaan Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan tata hutan alam Primer dan Lahan Gambut, Inpres No. 11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

Namun disisi lain Peraturan yang memberikan peluang pengelolaan gambut (UU No. No. 18 Tahun 2013,  UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan).

Ketiga UU ini masih dibenarkan untuk mengelola kawasan ekosistem gambut walaupun bukan dikawasan konservansi dan kawasan lindung.  

Ketiga UU kemudian didukung oleh Keppres No. 82 Tahun 1995, Keppres 80  Tahun 1999,  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 14 Tahun 2012, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/KB.330/5/2016 Tentang  Pedoman Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit yang mendukung  Permentan No. 14/Permentan/OT.140/PL.110/2/2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit dengan menggunakan mekanisme Kawasan gambut budidaya

Sementara itu ambigu negara memandang gambut ditandai dengan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016 merupakan peraturan justru melihat persoalan gambut dari berbagai sudut. Selain memberikan penafsiran yang menguntungkan rawa gambut namun juga mengabaikan mandate BRG didalam Perpres No. 1 Tahun 2016.

Melihat berbagai peraturan yang berkaitan dengan gambut maka diperlukan pemahaman yang kuat dari Negara yang menjadikan Perpres No. 1 Tahun 2016 sebagai sumber hukum utama didalam fungsi pengembalian gambut (restorasi gambut).

Selain itu Mendefinisikan istilah gambut dan menjadikan istilah gambut seragam sehingga dapat memperkuat fungsi BRG didalam melakukan restorasi gambut.

Yang paling penting adalah menetapkan definisi gambut dengan kategori 0,5 meter sebagaimana diatur didalam  Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Keppres No. 48 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Convention on Wetland Of International Importance Especially Waterfowl Habitat. Dan sekaligus menetapkan kawasan ekosistem gambut sehingga tidak lagi menjadi kawasan hutan dengan  non hutan atau kawasan gambut konservasi dengan kawasan gambut budidaya.

Penetapan definisi gambut dengan kategori 0,5 meter sesuai dengan pengetahuan masyarakat di kawasan gambut yang ditandai dengan “akar bekait, jelutung dan pakis” sebagaimana hasil riset Walhi 2016.