15 Oktober 2017

opini musri nauli : Hutan Adat Sebagai Identitas


Akhir-akhir ini, pembicaraan hutan adat mewarnai wacana nasional. Setelah putusan MK No. 35/PUU-X/2012 (baca MK No. 35), wacana hutan adat kemudian menjadi tagline melihat hutan dari pendekatan masyarakat hukum adat.

Didalam putusannya, MK kemudian “menegaskan” secara konstitusi tentang hutan adat. Maka berdasarkan pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 maka “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat Adat’. Dengan menetapkan hutan adat yang tidak termasuk kedalam hutan negara, maka “konstitusi” kemudian menetapkan “hutan negara tidak termasuk hutan adat”

Di Jambi sendiri, wacana hutan adat telah lama ditetapkan. Seperti Peraturan Desa Napal Melintang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Adat, SK Bupati Merangin No 287 2/Juni/2003, Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk, Perda No. 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih Dan SK No. 1249 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu Kerbau.

Di Sarko telah lahir SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko No. 225 Tahun 1993 Tentang Lokasi Hutan Adat Pangkalan Jambu. Begitu juga Kabupaten Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati, SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau Tengah.

Selain itu juga di Sarolangun sudah ditetapkan sebelas hutan adat yaitu hutan adat penghulu Laweh, Hutan Adat Rio Peniti, Hutan adat Pengulu Patwa, Hutan Adat Pengulu Sati, Hutan Adat Paduko Rajo, Hutan Adat Datuk Menti Sati, Hutan Adat Datu Menti, Hutan adat Imbo Pseko dan hutan Adat Imbo Lembago.

Di Kerinci terdapat hutan adat Nenek Limo Hiang Tinggi (SK Bupati Kerinci No. 226 Tahun 1993), Hutan Adat Temedak, Keluru (SK Bupati No. 176 Tahun 1992), Hutan Adat Lempur Mudik (SK No. 96 Tahun 1994).

Akhir tahun 2016. Presiden Jokowi kemudian memberikan 9 Surat Pengakuan Hutan adat. Yaitu
1. Hutan Adat Desa Rantau Kermas (130 Ha) Kabupaten Merangin Provinsi Jambi (MHA Marga Serampas);
2. Hutan Adat Ammatoa Kajang (313 Ha) Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (MHA Ammatoa Kajang);
3. Hutan Adat Wana Posangke (6.212 Ha) Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah (MHA Lipu Wana Posangke);
4. Hutan Adat Kasepuhan Karang (486 Ha) Kabupaten Lebak Provinsi Banten (MHA Kasepuhan Karang);
5. Hutan Adat Bukit Sembahyang (39 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Air Terjun);
6. Hutan Adat Bukit Tinggi (41 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Sungai Deras);
7. Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Permenti);
8. Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (452 Ha) Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi (MHA Tigo Luhah Kemantan); dan
9. Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta (5.172 Ha) Kabupaten Humbang Hasudutan Provinsi Sumatera Utara (MHA Pandumaan Sipituhuta).

Problema hukum kemudian muncul. Dari 5 Hutan Adat yang diberikan oleh Jokowi, 4 terletak di areal penggunaan lain (APL). Hutan Adat Bukit Sembayang (MHA Air Terjun), Hutan Adat Bukit Tinggia (MHA Sungai Deras), Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (MHA Tigo Luhah Permenti), Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (MHA Tigo Luhah Kemantan).
Hanya Hutan Adat Desa Rantau Kermas (MHA Marga Serampas) yang terletak di kawasan hutan.

Lalu apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menetapkan hutan adat di kawasan APL ?

Apabila melihat RTRW Propinsi Jambi dan RTRW Kabupaten Kerinci, Hutan Adat Bukit Sembayang (MHA Air Terjun), Hutan Adat Bukit Tinggia (MHA Sungai Deras), Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (MHA Tigo Luhah Permenti), Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (MHA Tigo Luhah Kemantan) teletak di kawasan areal penggunaan lain. Sehingga KLHK tidak dapat mengatur terhadap kawasan APL.

Begitu juga Hutan Adat Pangkalan Jambu (SK Bupati KDH TK. II Sarolangun Bangko No. 225 Tahun 1993), Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo (SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002), Hutan Adat Bukit Tapanggang (SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003), Hutan Adat Imbo Pusako (SK Bupati Merangin No. 36 Tahun 2006), Hutan Adat Imbo Purabukalo (SK Bupati Merangin No. 36 Tahun 2006), Hutan Adat Bukit Pintu Koto (SK Bupati Merangin No. 230 Tahun 2011), Hutan Adat Bukit Selebu Desa Baru Kibul (SK Bupati Merangin No.489/DISBUNHUT/2014), Hutan Adat Desa Rantau Kermas (SK Bupati Merangin No.146/DISBUNHUT/2015), Hutan Adat Penghulu Marajo Lelo Serumpun Pusako (SK Bupati Merangin No.147/DISBUNHUT/2015). Atau dengan kata lain, Hutan adat termasuk kedalam wilayah areal penggunaan lain atau diluar kawasan hutan.

Kewenangan KLHK kemudian untuk mengatur kawasan hutan dan bukan kawasan hutan merupakan “perintah” konstitusi (pasal 33 UUD).

Wewenang berupa “penguasaan negara” kemudian dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi berupa (1) Pengaturan (regelendaad), (2) Pengelolaan (beheersdaad), (3). Kebijakan (beleid), (4)  Pengurusan (bestuursdaad), (5).Pengawasan (toezichthoudensdaad).

Sehingga negara memberi kewenangan kepada Pemerintah “menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan atau bukan kawasan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum

Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan

Pemerintah kemudian telah mengatur proses pengkukuhan kawasan hutan lewat berbagai aturan, diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan, Permenhut No : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN, Permenhut nomor P.47/2010 tentang Panitia Tata Batas dan Permenhut P.50/Menhut‐II/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Sehingga setelah kemudian ditetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, maka Menteri kemudian diserahkan tugas dan bertanggungjawab dibidang kehutanan.

Mengutip pendapat Indoharto maka terhadap wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang menimbulkan akibat hukum, maka Kementerian atau badan yang ditunjuk melaksanakan wewenang tidak dapat mengatur pengelolaan diluar kewenangannya. Sehingga terhadap kewenangan yang tidak terdapat padanya, maka segala sesuatu dilakukannya  tidak dapat menimbulkan akibat hukum.

Dengan demikian, maka Menteri yang ditunjuk untuk diserahi tugas diberi tanggungjawab dibidang kehutanan tidak mempunyai kewenangan lagi untuk mengatur, mengelola  diluar kawasan hutan.

Sedangkan wewenang pengaturan diluar kawasan hutan menjadi tugas dan tanggungjawab badan dibidang pertanahan sebagaimana diatur didalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Selain itu juga diatur didalam Pasal 1 angka 8 dan angka 12, Pasal 3 Permenhut No : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Dengan mengikuti alur wewenang pengaturan tanah dikawasan bukan hutan, maka kemudian merujuk kepada hak-hak atas tanah sebagaimana diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960.

Mengenai hak-hak atas tanah berupa (a) hak milik (b). hak guna usaha,(c) hak guna bangunan,(d) hak pakai (e) hak sewa (f) hak membuka tanah (g) hak memungut hasil hutan,(hak-hak lain yang ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu juga dikenal Hak-hak atas air dan ruang angkasa seperti (a). hak guna air (b) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan dan (c). hak guna ruang angkasa.

Dalam pendekatan hukum adat kemudian dikenal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan     hukum     (desa,     suku)     untuk     menjamin     ketertiban     pemanfaatan/pendayagunaan  tanah.  Hak  ulayat  adalah  hak  yang  dimiliki  oleh   suatu   persekutuan   hukum   (desa,   suku),   dimana   para   warga   masyarakat    (persekutuan    hukum)    tersebut    mempunyai    hak    untuk    menguasai  tanah,  yang  pelaksanaannya  diatur  oleh  ketua  persekutuan  (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.

Sedangkan oleh Van vollenhoven dalam bukunya, “Miskenningen van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya (menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga. (6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.

Dengan persekutuan hukum (rechtsgemeenshap), kemudian memiliki hak perseorangan. Hak perorangan itu ialah suatu hak yang diberikan kepada warga ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat (purba) persekutuan yang bersangkutan. Ada 6 (enam) macam hak perorangan yang terpenting: (1) hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); (2) hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht); (3) hak menikmati hasil (genotrecht); (4) hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht); (5) hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht) dan (6) hak wenang beli (naastingsrecht).

Dengan demikian maka kawasan hutan kemudian diserahkan dan tanggungjawab Kementerian dibidang kehutanan untuk mengatur tentang pengelolaan kehutanan seperti “mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dan mengatur dan menetapkan “hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Sedangkan kawasan bukan hutan kemudian diserahkan dan menjadi tanggungjawab badan negara dibidang pertanahan yang kemudian mengatur hak-hak atas tanah.

Sehingga pemberian  4 Hutan Adat oleh Jokowi melalui Kementerian Lingkungan dan Kehutanan yang terletak di areal penggunaan lain (Hutan Adat Bukit Sembayang Hutan Adat Bukit Tinggia, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam, Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan) tidak menimbulkan akibat hukum apapun.