09 Oktober 2017

opini musri nauli : PERKAWINAN MENURUT NEGARA


Akhir-akhir ini diskusi disibukkan dengan tema Poligami. Sebuah tema yang “dianggap” sacral dan tidak boleh disentuh dari berbagai perspektif. Padahal tema ini harus menjadi pembelajaran kepada rakyat Indonesia yang sudah termaktub di peraturan.
Perkawinan adalah lembaga privat. Namun terhadap mekanisme, tatacara ataupun prosedur yang berkaitan dengan perkawinan tunduk kepada public. UU No. 1 Tahun 1974 dengan tegas mengamanatkan. Dengan demikian, klaim terhadap poligami merupakan ranah privat dan tidak boleh dibicarakan public adalah klaim yang tidak sesuai dengna UU No 1 Tahun 1974.  

Sebagai tema yang menimbulkan pro kontra, literature poligami kemudian meletakkan tema ini menjadi bagian dari proses yang hakiki. Untuk mendudukkan tema ini maka optic yang saya gunakan adalah peraturan perundang-undangan. Sebuah kesepakatan nasional di negara hukum (rechtstaat).

Melihat pro kontra yang terjadi maka tidak dapat dipungkiri, tema ini masih menjadi bagian yang belum tuntas dibicarakan.Dalam praktek yang terjadi di masyarakat, jamak diketahui, tema poligami menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Padahal peraturan perundang-undangan secara tegas telah menetapkan asasnya. “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri (Pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974).  Bahkan “seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi” (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).

Dengan demikian maka “poligami” diberikan izin apabila (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (c) istri tidak dapat melahiran keturunan. Pengadilanlah yang kemudian “menilai” apakah suami diberikan izin poligami atau tidak (Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974). Atau dengan kata lain, Pengadilan merupakan “muara” dari permohonan dari suami untuk berpoligami. Tentu saja dengan melihat persyaratan sebagaimana diatur didalam pasal 4 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974). Asas inilah yang menjadi pondasi terhadap proses pemberian izin poligami.

Lalu ketika persyaratan tidak terpenuhi terhadap seorang suami untuk poligami, semisalnya (a) istri masih muda, (b) istri mempunyai keturunan, (c) istri sehat maka menurut hukum negara, suami tidak dibenarkan untuk diberikan izin poligami. Dengan tidak diberikan izin poligami oleh negara, maka terhadap perkawinan kemudian tidak dapat dicatatkan oleh negara. Dalam praktek sering disebut nikah siri (sembunyi-sembunyi).

Para Wali nikah yang resmi ditunjuk oleh negara tidak dapat melaksanakan perkawinan yang tidak direstui oleh negara. Sehingga segala administrasi tidak dapat dilakukan terhadap proses perkawinan.

Dengan tidak dicatat oleh negara, maka menimbulkan persoalan hukum terhadap identitas anak. Baik didalam proses hukum yang terjadi maupun persoalan lainnya yang sering terjadi didalam kehidupan sosial di tengah masyarakat.

Bahkan negarapun dapat membatalkan perkawinan yang tidak direstui oleh negara (Pasal 13 dan pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Sehingga terhadap perkawinan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tidak diberikan” izin poligami” oleh negara tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga perkawinan yang diakui oleh negara.

Melihat berbagai aturan yang berkaitan dengan poligami didalam UU No. 1 Tahun 1974, maka terhadap “poligami”  yang tidak memenuhi persyaratan untuk poligami, tidak mengajukan izin kepada Pengadilan dan tidak dilangsungkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh negara, maka terhadap peristiwa diatas adalah peristiwa sosial. Peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat yang tidak mempunyai konsekwensi hukum.