10 Desember 2017

opini musri nauli : Cerita Palestina


Membicarakan Palestina membuat saya selalu malu pada diri sendiri. Pengalaman yang diceritakan oleh teman dari Belanda kemudian membuat saya berfikir tentang Palestina.
Kisah bermula ketika saya berkesempatan bertemu teman yang telah berada di Belanda. Sejak tahun 2000, sang teman yang melanglang buana dari aktivis – komisioner KPU Kabupaten dan kemudian menikah dengan seorang pria berkebangsaan Belanda. Praktis sejak tidak pernah bertemu saya kemudian mendapatkan kabar telah berada di Amsterdam.

Melalui dunia maya saya kemudian berkomunikasi untuk mampir sejenak ke Amsterdam. Kepergian sendirian ke Amsterdam sempat menimbulkan keraguan apakah saya tidak tersesat ataupun hilang di negeri orang. Kalimat “hilang di negeri orang” adalah perumpamaan kepergian yang tidak pernah diharapkan kembali.

Dengan menggunakan angkutan darat Euroline dengan tariff 45 Euro (ongkos pas-pasan dibandingkan naik kereta api seharga 120 Euro), saya menyusuri dari Paris – Amsterdam selama 7 jam. Perjalanan yang tidak asing yang sering saya tempuh menyusuri kota-kota di Sumatera.

Misalnya Jambi – Palembang 6 jam. Atau Jambi – Padang 12 jam. Jambi Bengkulu 12 jam. Atau Jambi – Lampung 12 jam dan Jambi – Pekanbaru 12 jam. Jadi waktu tempuh 12 jam merupakan sebuah waktu yang sering saya tempuh di perjalanan sumatera.

Dengan melihat waktu tempuh 7 jam maka saya kemudian memilih naik bus daripada kereta api hanya 4 jam (padahal strategi menghemat ongkos).

Kiat menghemat ongkos adalah strategi “pelancong” kere yang lebih mengutamakan perjalanan daripada membeli oleh-oleh. Ataupun memilih makanan murah untuk menempuh perjalanan jauh.

Impian ke Belanda adalah impian lama setelah sejak tahun 2007 saya sering “mengobok-obok” perpustakaan, website, museum yang memuat sejarah, jurnal, buku ataupun peta tentang Jambi. Dengan kesempatan mendatangi ke Belanda, rasa dahaga akan terpuaskan setelah selama ini hanya mendapatkan soft copy.

Jangan bayangkan naik bis di Eropa seperti kita alami di Indonesia. Dengan standar bis bermerk Mercedes Benz dengan standar tinggi, waktu tempuh 7 jam sungguh tidak terasa. Jalanan yang mulus, lurus dan suspense Mercy membuat waktu tempuh begitu nyaman.

Belum lagi jalanan yang mulus. Memanjang menyusuri antar negara. Tidak salah kemudian Eropa dikenal Eropa continental. Eropa daratan.

Setelah “berbasa-basi” sebentar, kami memulai cerita tentang Indonesia, politik terkini ataupun pandangan Eropa tentang agama ataupun issu-issu dunia.

Cerita tentang pandangan Eropa tentang agama tidak perlu saya ceritakan. Dengan rentang kemajuan yang diraih Eropa, pandangan Eropa tentang Agama membuat saya kemudian berfikir. Apakah pemahaman Eropa tentang agama yang keliru ataupun praktek keagamaan yang salah kaprah membuat Eropa menurunkan minat tentang agama. Ah. Angka-angka tentang turun drastic ketaatan beragama memang membuat saya berfikir rasional dan memahami pandangan Eropa. Walaupun pandangan itu belum tentu saya setuju.

Namun yang paling menarik mendiskusikan Palestina. Berbeda dengan pandangan umum bangsa Indonesia, issu Palestina adalah issu agama. Adanya ancaman zionis Israel terhadap kedaultan Palestina dan mencaplok tanah Palestina membuat penempatan issu Palestina adalah persoalan agama. Berbagai aksi-aksi kemudian menjadi persoalan identitas agama.

Entah disampaikan dalam kotbah, aksi-aksi setelah sholat jumat ataupun aksi-aksi besar-besaran terhadap issu Palestina.

Namun Eropa melihat dari sudut pandang yang lain. Persoalan Palestina adalah persoalan kemanusiaan.

Eropa melihat “perang ataupun ketidakstabilan” politik di di Palestina akan mengancam kehidupan masyarakat. Dengan ketidakstabilan politik maka mengancam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan lirih, dia berkata “akan mengancam susu anak kecil. Akan susu untu ibu hamil”.

Eropa kemudian menyumbang 10 Euro/bulan untuk dialokasikan membeli susu. Rakyat Eropa tidak “berminat” untuk terlibat konflik Israel – Palestina. Namun Rakyat Eropa tersentuh dan menyumbang untuk kemanusiaan. Sebuah contoh dan keteladanan di negara sekuler yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Hmm. Cerita diatas hanyalah contoh kecil dari penempatan manusia sebagai makhluk hidup yang diagungkan Tuhan.


Tanpa harus mengeluarkan dalil-dalil agama, cerita rakyat Eropa membuat saya malu. Malu kepada cerita Palestina di tanah Air. Yang menjunjung agama namun sama sekali tidak mau menyumbang kebutuhan dasar rakyat Palestina. Susu untuk anak kecil dan susu untuk ibu hamil.