10 Desember 2017

opini musri nauli " Logika Jumping




Ketika kita memulai diskusi, entah mengapa, bukan substansi yang perlu kita diskusikan. Kita lebih banyak terjebak kedalam kubangan pikiran pendek.
Semisal. Mengkritik Jokowi disebut “gagal move on”. Menceritakan Jokowi disebut “Jokower”. Menyebut nama Tan Malaka langsung disebut “komunis”. Menyebut “Ali Syar’iati” atau “Iran” langsung disebut “Syiah”.

Lalu bagaimana kalau pendukung Jokowi kemudian menggugat Jokowi di persidangan ?
Hayo. Makanya jangan langsung menjudge secara instan.

Pilpres 2014 telah lama usai. Rakyat sudah kembali kehidupan normal. Menjalani aktivitas sehari-hari. Dan para candidate Presiden sudah “ngopi” pagi dan naik kuda bareng.

Pikiran pendek tanpa melihat substansi yang disampaikan mulai mewabah di kalangan kelas menengah. Intelektual yang dididik dan mendapatkan asupan informasi ternyata tidak seimbang dengan pikiran terbuka dengan berbagai gagasan. Dan sering kali terjebak.

Entah mengapa kelas menengah kemudian lebih suka berfikir instan.

Di kalangan kampuspun sempat menguat. Entah berapa banyak kajian yang masih diskusi tentang khilafah, negara kafir ataupun tema-tema usang yang sudah tuntas dideklarasikan ketika 17 Agustus 1945.

Kata anak muda, kok generasi tua susah move on. Persis “rasa baper’ ketika Raisa direbut “lelaki asing’. Padahal ini bukan persoalan stigma. Ini persoalan “malas berfikir” dan cenderung praktis instan untuk memudahkan pembahasan.

Jadi jangan keki ketika kasus Setnov, anak-anak muda kemudian membuat “satir’. Mempersoalkan tiang listrik. Sikap satir benar-benar pukulan “hook” kepada generasi tua yang susah untuk move on.

Namun “stigma’ instan bukan persoalan sepele. Dalam pembahasan logika - materi penting dalam filsafat, logika tidak nyambung sering disebut “logika jumping’. Tanpa ba-bi-bu, langsung mengambil kesimpulan walaupun asumsi-asumsi tidak nyambung. Kata anak muda “Jaka sembung bawa golok. Tidak nyambung. Goblok !!!”.

Lihatlah tema Kerajaan Majapahit yang kemudian disebut “Kesultanan Majapahit”. Dengan hanya “ditemukan mata uang” dan “symbol-simbol yang bernafas tema-tema agama’ kemudian langsung disebut sebagai “kesultanan Majapahit’.

Penemuan “mata uang” ataupun symbol-simbol adalah sebuah penemuan di daerah sebagai perlintasan perdagangan abad 12 – 15. Sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan.

Menggunakan argumentasi ini, maka “ditemukan keramik” di berbagai tempat di Indonesia maka kita akan mudah “menyimpulkan” Indonesia adalah negara bagian dari Tiongkok.

Atau melihat penyebaran Islam dari Laksamana Cheng Ho maka kita akan “menyimpulkan” Tiongkok adalah negara islam.

Padahal kisah Majapahit dengan detail disusun oleh Empu Prapanca dalam puputan yang dituliskan didaun lontar. Dengan jelas disebutkan Majapahit adalah Kerajaan beragama Shiva-Budha. Sebuah perpaduan antara teologi Hindu-Budha.

Ornamennya masih dilihat dalam jejak di Bali. (Demikian kisah teman dari Bali yang menceritakan dengan detail.)

Sedangkan terdapatnya berbagai keramik juga tidak mampu menjelaskan “Indonesia adalah bagian dari Tiongkok’. Tidak ada satupun bukti untuk mendukung klaim Indonesia bagian (vassal) dari Tiongkok.

Ataupun penyebaran islam dari kisah Laksamana Cheng Ho membuktikan Tiongkok adalah negara muslim. Padahal penduduk muslim cuma berkisar 1% - 4% dari penduduk Tiongkok. Hidup di Xinjiang, Ningxia, Gansu dan Qinghai. Berbanding terbalik dengan penduduk beragama Konghucu atau Tao.

Dengan demikian maka “logika jumping” mewabah dan membuat intelektual berfikir pendek. Membangun asumsi tanpa melalui proses panjang sebelum menghasilkan kesimpulan.

Dalam ranah filsafat disebut “logika jumping”. Sebuah kesimpulan yang paling ditabukan dalam ranah intelektual.