24 Februari 2018

opini musri nauli : Tanah dan Surat



Tema tanah dan surat tanah menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Membicarakan tanah dan surat tanah adalah dimensi terpisah.

Didalam 19 ayat (2) UU Pokok-pokok Agraria (UUPA) “pendaftaran tanah diakhiri dengan pemberian surat-surat tanda bukti hak. Ketentuan ini kemudian diperkuat didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Menggunakan penafsiran “Penafsiran terbalik (a contrario)” maka terhadap “seseorang” yang tidak mempunyai surat-surat maka tidak mempunyai hak terhadap tanah.

Sesat pikir ini melambangkan asas “domein verklaring”. Negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond).

Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal tanah mempunyai hak milik komunal (beschikhingrecht). 

Dengan menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh negara. Asas domein verklaring” kemudian dicabut oleh UUPA.

Namun yang sering dilupakan adalah pasal 5 UUPA. Pasal 5 UUPA menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang- undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Kalimat “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hokum adat..” menegaskan Hukum agraria (termasuk hokum tanah) adalah “hokum adat”. Saleh Adiwinata kemudian menyebutkan “pemisahan horizontal dalam seluruh bidang hokum mengenai tanah.

Ditengah masyarakat Melayu Jambi, penanda tanda atau batas tanah dikenal yang menunjukkan sebagai pemilik tanah.

Di daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut” sebagai penanda batas tanah. Yang ditandai dengan pohon sebagai batas antara satu tanah dengan yang lain. Atau “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang setengah (takuk pohon).

Ada juga menyebutkan “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”.
Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”,

Istilah “hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”,   “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda (hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko).

Sedangkan Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman Pinang. Sedangkan menanam tanaman lebih rapat mengeliling tanah dikenal dengan istilah prenggan.

Dapat juga menanam tanda yang ujungnya dilapisi plastic yang kemudian dimasukkan ke tanah. Cara ini dikenal  sebagai “pasak mati atau patok mati.

“Takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” adalah bentuk pengakuan sebagai batas tanah dan bukti untuk menyelesaikan perselisihan tanah.  

Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.

Istilah “empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Seloko ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama tidak dirawat.

Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Dengan demikian terhadap pemilik tanah walaupun tidak mempunyai sertifikat hak milik tanah tidak dapat dikategorikan tidak mempunyai hak atas tanah. Pendaftaran tanah harus bersifat “stelsel pasif”. Negara harus mengakui hak milik tanah berdasarkan Pasal 5 UUPA.

Selain itu terhadap pemilik tanah harus menanam dan merawat tanah. Dengan waktu tertentu apabila tidak merawat tanah maka hak milik tanah kemudian menjadi hapus.

Hak milik tanah melekat kepada tanah. Tanah harus berfungsi. Tanah tidak dapat mengikuti pemilik tanah. Sebagaimana seloko “harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.



Advokat. Tinggal di Jambi 

Dimuat www.serujambi.com, 24 Februari 2018

https://www.serujambi.com/2018/opini-tanah-dan-surat/