13 Maret 2018

opini musri nauli : Air Sumber Panguripan




RAHAYU.. RAHAYU. SAGUNG DUMADI

a.    Alam Pikiran Desa Adat Sendi

Menyimak photo prosesi “pemandian” pada Jumat Legi menyentak saya. Bagaimana manusia kemudian “menghargai air” dan menempatkan sebagai sebuah kesatuan yang utuh dengan alam (cosmopolitan).

Tanpa pikir panjang saya kemudian mengagendakan pergi ke Desa Sendi, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur untuk mengikuti prosesi yang diadakan setiap Jumat Legi.
Saya kemudian tersentak ketika mulai memahami alam pikiran masyarakat di Desa Adat Sendi. Dan penerawangan saya kemudian menggali keinginantahuan terhadap alam pikir masyarakat tentang alam (alam kosmpolitan).

Memahami orang Jawa lebih tepat disampaikan orang Jawa itu sendiri. Perdebatan Islam “abangan” atau sinkretisme Jawa memandang Islam sungguh menimbulkan “kegagapan” menerima pandangan alam cosmopolitan Jawa.

Istilah “ingsun’, manunggal kawula gusti, sebagai terjemahan taufid menimbulkan persoalan dalam tataran memandang Islam dari sudut diluar Jawa.

Terjemahan “rahmatin lil alamin” sebagai makna “menghadap kiblat” kemudian diwujudkan sebagai “kiblat papat. Panca pancat”. Diterjemahkan sebagai “Khalifatullah Maha Hayuningrat” sebagai alam semesta yang menghormati kiblat.

Dalam praktek sehari-hari “rahmatin lil alamin” kemudian dipraktekkan sehari-hari sebagai alam semesta dan Mengembangkan seluruh jagat. Sehingga makna “toto tentram. Kerto raharjo” adalah menempatkan manusia bagian dari alam. Dan kemudian menghargai manusia sebagai “sedulur papat. Lima Pancat” yang mengagungkan kemanusiaan. Sehingga manusia kemudian “mempercantik, menjaga alam semesta”. “Alam semesta tidak perlu manusia. Namun manusia perlu alam semesta.

Simbol makna “toto tentram, kerto Raharjo” dapat ditemukan didalam seloko Melayu Jambi. “Negeri yang dinaungi Dewata. Alam tenang. Rumput Hijau. Padi menjadi. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”.

Dengan menempatkan “Sedulur sejagat”, maka prosesi “penerimaan” menjadi warga kehormatan kemudian disebut “Pasamauan Agung”.

Mengutip catatan Cak Ipul (Panggilan akrab Ridho Syaiful Ashadi)[1]  menyebutkan “Pasamauan Agung.
Di awali dengan penyambutan dan pemberian kain putih. Tanda simbolisasi menganggap saudara yang senantiasa berbuat baik untuk sendi.
Di iringi perjamuani Paseban agung Desa Adat Sendi. Memastikan tahapan pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat bersama para pejuang adat.
Mulai dari Dewan Adat Sendi dan Para Kasepuhan Adat serta semua pamengku adat.
Menjadi diri sendiri ala Sendi yang mengembalikan Hak asal usul dan Ulayatnya sebagai penerus perwujudan Desa Sendi.
Rahayu, Rahayu, Rahayu, Sagung Dumadi.....

Makna, symbol dan alam pikiran cosmopolitan yang kemudian menempatkan masyarakat Desa Sendi selalu mengucapkan “Rahaya. Rahayu. Sagung Dumadi”.

b.    Sejarah

Melihat symbol-simbol yang digunakan, penamaan terhadap struktur social dan cara penempatan terhadap alam, bayangan saya kemudian menerang tentang Kitab “Negara kertagama” Karya Mpu Prapanca. Puputan yang mencatat detail tentang Kerajaan Majapahit.

Simbol-simbol seperti Lambang Majapahit masih digunakan dan sebagai identitas masyarakat Desa Adat Sendi.

Masyarakat masih menganggap, Desa Adat Sendi adalah tempat “kawah candradimuka” Raden Wijaya sebelum “menjadi Raja Majapahit”. Sebuah Kerajaan besar setelah Sriwijaya.

Sebagai peletak dasar pemerintahan, Majapahit mengalami kejayaan pada masa Hayam Wuruk dengan Patih terkenal “Gajah Mada”. Berbagai penamaan seperti “Bhayangkara’ atau patung Gajah Mada masih dapat ditemukan di berbagai instansi pemerintahan. Sebagai perwujudan bakti kepada negeri.

Majapahit kemudian menguasai wilayah seperti Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik, Filipina[2]. Tumasik kemudian dikenal wilayah Singapura. Nama Tumasik kemudian diabadikan kedalam “Temasek”. Sebuah raksasa telekomunikasi di Singapura.

Melihat rentang kekuasaan imperium Majapahit, maka kekuasaan Majapahit lebih luas dari wilayah Indonesia.

Dengan melihat kebesaran Majapahit yang terletak di Trowulan, Mojokerto di Sungai Brantas dan Desa Adat Sendi sebagai tempat “kawah candradimuka” dan jejaknya yang masih hidup di alam pemikiran masyarakat Sendi maka Desa Sendi tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang nusantara.

Jejak di Jambi seperti Paseban sebagai tempat berkumpulnya para resi atau pertapa yang menyepi diri masih ditemukan di berbagai tempat. Marga Kembang Paseban masih ditemukan di daerah Mersam, Batanghari.

c.     Nilai-nilai agung

Sebagai masyarakat yang menjunjung nilai-nilai terhadap alam maka berbagai nilai-nilai luhur dimulai dari pandangan seperti Api, Air dan Bumi[3].

“Manusia tidak bisa hidup tanpa air, api dan bumi. Api adalah sumber untuk memasak. Angin adalah tempat manusia menggerakkan. Sedangkan bumi adalah tempat manusia hidup. Manusia tidak boleh mengotori bumi. Karena Bumi adalah ibu.

Menempatkan bumi sebagai ibu adalah antithesis dari tesis dari kaum barat yang menempatkan manusia yang sebagai pusat kebudayaan (antroposentrisme).

Padahal alam selalu mengajarkan “kesederhanaan, penghormatan terhadap alam, menghargai alam, menjiwai keagungan alam.

Memandang Alam adalah pusat dari antroposentrisme dalam kajian Filsafat Lingkungan Hidup merupakan kesalahan cara pandang Barat. Aliran ini dimulai dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern. Dengan pongah mereka menganggap etika hanya berlaku kepada manusia. Sehingga manusialah yang harus dipertimbangkan dan satu-satunya bicara tentang moral.

Cara pandang ini kemudian ditentang dalam aliran biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme. Manusia tidak boleh hanya dipandang sebagai makhluk sosial ansich (zoom politicon). Manusia juga harus dipandang sebagai makhluk biologis dan makhluk ekologis. Dengan menempatkan manusia sebagai makhluk biologis dan ekologis, maka aliran ini kemudian menempatkan manusia sebagai nilai universal sebagai jaringan kehidupan. Bagian dari siklus ekosistem.

Manusia adalah “sekrup” kecil dari ekosistem. Manusia “tergantung” kepada alam. Eric Wiener pernah menuliskan “Ketika pohon terakhir ditebang. Ketika sungai terakhir dikosongkan. Ketika ikan terakhir ditangkap. Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.

Dalam pengelolaan terhadap alam dapat ditemukan didalam memaknai “Bambu”. Tidak dibenarkan untuk menebang bamboo tua apabila disekitarnya ada terdapat bamboo muda (rebung) [4]. Selain akan menyengsarakan bamboo muda karena tidak mendapatkan perlindungan dari bamboo tua, kehidupan bamboo muda akan menderita sepanjang hidupnya.

Filosofi ini dapat dimaknai maka tidak dibenarkan menyakiti orang tua yang masih adanya anak kecil. Selain akan menyebabkan kehidupan anak menjadi menderita, maka kehidupan anak juga akan terancam dan dapat membahayakan kehidupan anaknya.

Makna Bambu dapat ditemukan didalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi. Didalam kepemimpinan dikenal “bilah bamboo. Satu diangkat. Satu diinjek”.

Satu diangkat adalah perumpamaan kepempinnan yang tidak bersikap adil. Dimana untuk kepentingna kehidupan keluarganya atau kerabatnya atau kroninya diutamakan dari kehidupan masyarakat. Mengenyampingkan diluar kerabat atau kroninnya.

Sedangkan “diinjek”, terhadap orang lain menjadi tegas dan direndahkan.

Filosofi “Bilah bamboo” adalah perumpamaan kepemimpinan yang tidak bersikap adil.

Selain itu Bambu selain digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti digunakan sebagai tiang rumah, plang ataupun berbagai kerajinan lainnya dinding, tikar bamboo.

Begitu juga kehidupan masyarakat di Jambi. Bambu adalah penahan tanah dari longsor sebagaimana seloko Jambi “bak aur dengan tebing”. Saling menguatkan dan saling membutuhkan.

d.    Struktur Adat

Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Adat maka struktur adat merupakan salah satu komponen untuk melihat bagaimana relasi masyarakat dengan kehidupannya dan bagaimana cara masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya.

Istilah Pinisepuh, Demang, Carik, Pamong Praja, jagawana, penghulu/motib, Dharma Adyaksa, adalah struktur didalam Dewan Adat.

Pinisepuh adalah “para orang tua yang dituakan”. Seperti Ki Ageng, Empu, Begawan, Para Pribadi Berjasa dan Linuwih. Dalam tutur di Jambi dikenal sebagai “tuo tengganai”. Sedangkan Demang ditempat sebagai Kepala Pemerintahan. Setingkat Desa.

Dibawah Demang terdapat Carik. Sedangkan alat bantu Carik adalah Pamong Praja. Terdapat Praja Kamulya. Sedangkan Jagawana adalah panglima yang menjaga kehidupan di hutan. Biasa juga disebut sebagai Polisi hutan.

Selain jagawana ada Jogo Boyo, Jogo Tirto Jogo Wono, Jogo Pasar, Jogo Tlatah Kemah


Sedangkan penghulu atau motib adalah petugas keagamaan yang mengurusi prosesi pernikahan dan kehidupan social lainnya.

Sedangkan Dewan Adat terdiri dari Kasepuhan, Pemangku adat. Dimana terdapat Dharma Adyaksa dan Dharma Penghulu. Dharma Adyaksa dikenal sebagai “penuntut” dan membawa persoalan adat ke Dewan Adat. Sedangkan Dharma Penghulu adalah pemutus dari persoalan adat yang telah dibawa didalam Dewan Adat.


e.    Tempat-tempat yang dihormati

Sebagai bagian dari menghormati leluhur maka dikenal “Gua Paseban Puthuk Kursi’. Sebagai tempat dan menghormati leluhur.

Selain itu juga dikenal Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Lowo, Situs Keramat Sanggar Pamudjo Broto, Situs Keramat Wishuda Praja Puthuk Kursi dan Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi.

Situs keramat sanggar Pamujan Goa Lowo adalah tempat yang banyak terdapat kelelawar (Lowo). Sedangkan Situs Keramat Sanggar Pamudjo Broto adalah tempat dimakamkan leluhur masyarakat Sendi. Situs Keramat Wishuda Praja adalah tempat ilmu kanuragan para penjaga negeri (Praja). Bertugas menjaga negeri dari gangguan yang datang dari luar Desa.

Sedangkan Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi adalah tempat dimakamkan leluhur dan tempat penghormatan sekaligus meminta doa restu terhadap leluhur. Disana dibangun Paseban yang dikenal sebagai Paseban Puthuk Kursi.

Istilah Paseban mengingatkan istilah sebagai tempat yang sepi sebagai tempat para pertapa memohon kepada sang Pencipta agar negeri jauh dari kehancuran.

Sedangkan Situs Keramat Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud merupakan tempat air yang mengalir dan dilangsungkan prosesi “pemandian” pada Jumat Legi. Dimulai pada malam hari kamis dan diakhiri pada hari Jumat legi setiap bulannya.

Sebagai tempat Situs Keramat Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud selain sebagai “lambang’ pemandian untuk seluruh warga sendi, tempat menyambut tamu sebagai “Sedulur” masyarakat Sendi juga merupakan air mengalir sebagai ikrar untuk tetap menjaga air sebagai kehidupan.

Prosesi rutin yang terus berlangsung hingga kini.

Selain itu juga dikenal Pancuran Babhakan Tabut dan Alas Sanggar.

f.      Prosesi Pasamauan Agung

Sebagai penghormatan terhadap air dan kehidupan maka dikenal Pasamauan Agung. Makna ini dikenal Prosesi “pembersihan” jiwa.

Selain sebagai “pembersihan” jiwa”, menghormati leluhur, upacara Pasamauan Agung juga diadakan untuk menghormati tamu yang datang. Dengan mengadakan kegiatan “Pasamauan Agung”, tamu yang datang yang telah melewati prosesi maka sudah menjadi “Sedulur bumi”. Dan ikut menjaga kelestarian dari Bumi Sendi dari kerusakan.

Prosesi dimulai dengna membasuh muka, mengelap tangan (seperti hendak berwudhu) kemudian diberikan doa selamat kepada yang diberi berkat.

Setelah itu diikat dengan kain panjang berwarna kuning dengan cara dililit di sekeliling pinggang sebagai tanda telah diterima sebagai warga masyarakat Sendi. Kain panjang berwarna kuning tetap digunakan selama mengikuti prosesi kegiatan di Desa Sendi. Baik didalam rapat-rapat maupun kegiatan-kegiatan social selama di Desa Sendi. Kain panjang berwarna kuning juga symbol, tanda sebagai warga Sendi.

Prosesi ini diadakan setiap Jumat Legi dan dilakukan terus menerus hingga sekarang.

Selain itu baik mendatangi tempat “Situs Keramat Sumber Panguripan Babakan Kucur Tabud” maupun hendak meninggalkan tempat yang dihormati tidak diperkenankan menggunakan alas kaki. Dengan bertelanjang kaki, maka diharapkan, kaki dapat menjadi “perantara” untuk menjaga bumi dan sekaligus dapat mencintai alam.

Dengan prosesi yang telah dilalui maka kewajiban menjaga alam dan berikhtiar bersama-sama dengan masyarakat Sendi juga sebagai “sumpah setia”. Dan alam akan menjaga siapapun yang mempunyai hati yang tulus membela masyarakat. Dan alam sendiri akan menghukumnya apabila hendak berkhianat.

Setelah itu menuju Situs Keramat Sanggar Pamujan Goa Puthuk Kursi yang terdapat Paseban Puthuk Kursi. Meminta doa restu kepada Sang Semesta agar prosesi dilalui diberkati Yang Maha Kuasa. Dan leluhur kemudian menjaga dari marabahaya. Selanjutnya diakhir dengan makan bersama dengan Beras jagung yang terkenal kegurihannya.




[1] Direktur Walhi Jatim 2005 – 2008.
[2] Poesponegoro, M.D., Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
[3] Carik Sendi
[4] Rebung atau bamboo muda dikenal sebagai penganan sayur-sayuran. Disantan dan diberi bumbu-bumbu seperti kunyit (yang kemudian berwarna kuning) dan disantap.