18 Maret 2018

opini musri nauli : Jalan-jalan




 

Bang, Apa sih kerjaan abang ?

Pertanyaan mengganggu dan membuat aku sering geli dan tertawa sendiri.

Ya. Pertanyaan mengganggu yang membuat orang lain bertanya-tanya. Pekerjaan yang bisa jalan-jalan, menikmati kuliner, bertemu dengan berbagai sahabat dari berbagai tempat. Lalu. Pekerjaan apa ya.

Apabila pekerjaan kantoran, mengapa bisa menikmati hidup dengan menjalani berbagai tempat di Indonesia ? Atau bagaimana mengatur jadwal ? Lalu. Apakah tidak mengganggu kerjaannya ?

Berbeda dengan “orang kantoran”. Yang mengatur jadwal liburan. Melihat calendar yang ditandai dengan angka merah. Melihat harga tiket. Mengatur tempat. Memikirkan ongkos dan berbagai perencanaan lain yang membuat “bikin puyeng”.

Atau orang yang mengambil liburan panjang. Yang terjebak dengan antrian panjang pesanan hotel, rental mobil atau penginapan. Hingga harus mencari tempat wisata kuliner.

Lalu ? Siapa saya ?

Tidak perlu ditanyakan pekerjaan saya. Karena pekerjaan saya kemudian membuat dan menuntut harus hadir fisik di kantoran, di ruang sidang ataupun ketemu orang.

Ya. Saya seorang musafir. Sang pengelana yang mengagungkan “kebesaran Tuhan”. Menikmati ciptaannya. Melihat matahari dari timur. Menikmati matahari cuma 4 jam. Semuanya karena Sang Pencipta ingin melihat kebesarannya.

LIhatlah Aceh. Negeri yang dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. Tempat pusat keberangkatan menjelang ke Mekkah. Kota Suci tujuan umat Muslim.

Yang mempunyai sejarah panjang peradaban Islam. Entah kerajaan Syiah Kuala atau Aceh Darussalam.

Atau turun ke Sumatera Utara. Tempat dikenal sebagai agama Leluhur. Parmalin. Berinteraksi dengan Kristen dan kemudian Islam di Tapanuli Selatan.

Turun sedikit ke Sumatera Barat. Negeri yang terkenal sebagai Pusat kebudayaan Melayu Minangkabau. Yang menguasai Sumatera abad 12. Dan kemudian jejaknya masih dilihat dari arca Adityawarman. Raja Agung Pagaruyung yang kemudian menginspirasi nilai-nilai adat di Sumatera bagian tengah.

Hingga kini jejak Minangkabau masih ditandai dengan Seloko Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau

Seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Atau “Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hukum yang datang dari Pagarruyung (undang) dipertemukan dengan peraturan dari Raja Jambi (tambang) kemudian ditimbang (diteliti). Sehingga Seloko  Tali Undang Tambang Taliti” Menjelaskan keterkaitan antara undang-undang Pagaruyung dan Peraturan dari kesultanan Jambi.  Seloko ini kemudian menghasilkan ”undang tambang teliti”. Atau juga disebut ”Undang tempat didarat. Teliti tempuh di air.

Atau didalam Tambo Kerinci disebutkan “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura[1]”. Dalam Tambo Kerinci disebutkan “tanah pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura.”

Jejaknya Minangkabau juga ditandai dengan sejarah kedatangan “Datu Ribandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk Patimang” yang datang membawa Islam pada abad XVI ke Tallo. Kemudian ke Gowa[2]. Tallo dan Gowa merupakan Kerajaan yang tidak dapat dipisahkan satu dengna yang lain.

Datu Ribandang dikenal “Khatib Tunggal Datuk Makmur”. Datu Patimang dikenal “Khatib Sulung Datuk Sulaiman”. Sedangkan Datuk Ri Tiro dikenal Syekh Nurdin Ariyani

Turun Sumatera Barat kekanan ke Negeri yang mengikrarkan “Pusat Melayu”. Entah sejarah Siak-Kampar, Riau-Lingga yang berseteru dengan Johor, Penang ataupun Malaka. Peradaban panjang yang selalu disebut didalam perdagangan Selat Malaka.

Jalur panjang yang kemudian disebut sebagai “Pantai Timur Sumatera” yang tidak dapat dilepaskan perjalanan panjang dari Bugis-Bone-Makassar dalam periode abad 6[3], Abad 16 dan abad 20. Cerita tentang “perintis” Bugis tidak dapat dilepaskan dari lima saudara dari wilayah Bugis yang dikenal Lima Opu

Kemudian membawa teknologi pertanian untuk daerah payau. Istilah “parit”, komoditi kopra yang menguasai Hindia Belanda tahun 1900-an[4].

Belum lagi Kerajaan Sriwijaya yang menguasai Selat Malaka pada abad 6 – 12. Cerita tentang Sriwijaya yang mampu mengirimkan utusan resmi ke dataran Tiongkok yang kemudian dicatat dalam jurnal-jurnal Tiongkok.

Di Pantai Barat Sumatera, sejarah Barus kemudian mengilhami dari pengawetan mayat didalam Raja-raja Fir’aun. Turun ke Painan, Muko-muko, Tapan, Indrapura, Bengkulu, Bengkulu Selatan hingga ke Liwa. Peradaban yang jejakya masih diikuti.

Menyeberang ke Jawa dengan berbagai keunikan, sisa-sisa kebesaran masa lalu, agama leluhur yang masih diikuti oleh masyarakat hingga sejarah Majapahit, Pajang, Mataram, maupun makam-makam para Sunan yang ramai diziarahi para umatnya.

Di Kalimantan, berbagai suku Dayak membuat kita harus banyak belajar. Memahami Nenek moyang memahami kehidupan masa lalu dan masa depan. Alam pikiran yang masih merawat alamnya dengan warisan dari puyang yang terus diwariskan dari masa ke masa.

Beranjak ke Bali. Pulau yang direstui para Dewata. Yang tetap mengajarkan kesederhanaan hidup, merawat tradisi. Mampu bertahan dari perkembangan zaman disaat menjadi tempat pariwisata yang paling dirujuk dunia.

Menyeberang kemudian ke Lombok. Negeri yang bertemunya Hindu dan Islam dan tetap bergandengan dalam kehidupan sehari-hari. Terus menyeberang ke Kepulauan-kepulauan Nusa Tenggara Timur. Berpadunya Katolik dan agama Leluhur (Marapu).

Belum lagi Pulau Sulawesi yang penuh dengan cerita heroic. Baik karena “pengetahuan navigasinya” yang kemudian sampai Madagascar (Afrika) hingga kemudian meninggalkan jejak “kampong bugis” di Singapura, Malaysia, Thailand dan Pantai Timur Sumatera.

Di seberangnya dikenal “Ternate-Tidore-Jailolo” yang membuat “perdagangan rempah-rempah” dan membuat air liur bangsa Eropa untuk datang. Sejarah yang kemudian mengubah wajah nusantara dan kemudian terlibat konflik berkepanjangan dengan Belanda.

Tentu saja masih banyak cerita yang mesti diceritakan. Entah agama-agama Nusantara, jejak peradaban dunia (Budha, Hindu, Nasrani, Islam, Tiongkok, India, Jazirah arab) yang masih terawat dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di bumi nusantara.

Atau “keindahan” alam, ratusan gunung, kawah, goa, danau, sungai. Atau jalur sesar gempa yang masih misteri dan mampu memberikan kekayaan alam.

Atau “makanan” yang membuat selera kita “merasa” Indonesia. Dan tidak peduli makanan Eropa tanpa rempah-rempah, kurang asin ataupun “tidak berasa cabe”.

Lalu apa yang mesti kita ceritakan kepada anak cucu kita. Apakah kita akan memberikan buku-buku tebal dan kemudian bercerita tanpa makna.

Ah. Bagiku. Negeri yang kudatangi dengan bangga kuceritakan. Dan itulah kekayaan nusantara yang dengna takjub kusampaikan. Sembari kita tetap merawat Indonesia.




[1] Tambo Kerinci, Depati Muda di dusun Kemantan
[2] Data berbagai sumber
[3] Tome Pires, The Suma Oriental, Jilid 2, Londong, 1944. 
[4] Lihat “Tuhfat Al Nafis”