20 Maret 2018

opini musri nauli : PIKIRAN GANJIL MENGATUR JALAN KITA

Akhir-akhir ini diberitakan tentang kebijakan “negara” mengatur lalulintas dengan menerapkan plat kendaraan “genap-ganjil” kepada kendaraan untuk memintasi daerah-daerah tertentu di Jakarta. Dengan merujuk hari-hari tertentu yang ditandai dengan tanggal ganjil maka kendaraan yang berakhiran ganjil yang boleh memintas. Begitu juga dengan tanggal genap. Dan itu kemudian “dihadang” pintu dari Tol Jagorawi.



Entah pikiran “ganjil” apa yang menghinggapi dan ide untuk menerapkan kendaraan dari Jagorawi. Peraturan yang semula diterapkan untuk daerah-daerah Jakarta kemudian “dihadang” untuk kendaraan dari Jagorawi.
Padahal ketika pengguna kendaraan membayar pajak kendaraan (STNK) sama sekali tidak disebutkan menggunakan pada hari tertentu. Sebagai pembayar pajak, maka pemilik kendaraan berhak untuk menggunakan kendaraannya pada hari tertentu ataupun daerah-daerah tertentu. Kecuali dengan pertimbangan tertentu daerah yang kemudian dinyatakan sebagai jalur tertentu.

Lalu dengna pertimbangan mengatur hari tertentu untuk kendaraan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta.

Hello. Ini Indonesia. Negara yang “katanya” paling tinggi pengguna internet, negeri yang paling rakus dengan symbol-simbol kemodernan, negeri yang paling “demem” HP model terbaru, tapi mental masih gaya “agraris”.

Yang rela kerja “banting tulang”, berhemat, hidup prihatin namun “boros” ketika mudik. Yang rela “membuang” duit hasil tabungan selama 11 bulan. Yang rela menghabiskan gajian bulanan termasuk hutang untuk sebuah acara dikampung. Yang rela merayakan sebuah “prestise” untuk status social di tengah masyarakat.

Lalu apa hubungan dengan kemacetan ? Ya. Sebagai symbol masyarakat yang “agraris” maka kesuksesan ditandai dengan memiliki rumah dan mobil. Sebagai status social dan mendapatkan pengakuan. Dan pemikiran itu masih hidup dikalangan yang “kebetulan” lagi hendak diatur lalulintas.

Lihatlah. Perumahan di Bogor, Bekasi, Tangerang “laris manis” bak kacang goring. Penghuninya rela naik kereta desak-desakan demi “ongkos murah”. Yang penting “harus punya rumah”. Walaupun jauh dan “terjebak di kemacetan” atau berdesak-desakan naik kereta api.

Dan yang paling “ribet” adalah keharusan memiliki kendaraan. Kendaraan adalah status social. Sebagai lambang “kesuksesan” dan menikmati kesuksesan.

Kendaraan itulah yang kemudian “bersilewaran” memenuhi jalan-jalan Jakarta.

Lalu dengan “pikiran agraris” berkeinginan untuk memiliki kendaraan kemudian “kewajiban dari pemilik kendaraan yang telah membayar maka program “Genap-ganjil” akan sukses ?

Lalu apakah ide ini kemudian akan mudah diikuti.

Tidak mudah untuk menjawabnya. Melihat kegagalan sebelumnya. Seperti kebijakan “Three in one’ dan kebijakan “genap-ganjil” yang sudah diterapkan.  

Lihatlah. Kendaraan terus bertambah. Penumpukan pada “ruas-ruas maut” dan pada jam-jam tertentu tidak mampu diuraikan.

Program “Three in one” kemudian gagal. Dan sekarang diganti dengan program “genap-ganjil”. Namun macet masih terjadi dan tidak mampu diuraikan. Dan program gagal ini kemudian diterapkan untuk kendaraan “Genap-ganjil” dari Jagorawi.

Pertanyaan paling mengganggu adalah “pantas” sang penganjur menawarkan program “ganjil” ini untuk kemudian akan mudah diikuti.

Sebagai sebuah program maka “keteladanan” adalah kunci.

Sebagai masyarakat agraris, pola kepemimpinan juga ditandai dengan keteladanan. Dan hingga kini “sedikit” sekali atau maukah sang “penggagas genap-ganjil” Mau dan rela naik angkutan umum untuk urusan. Entah dari rumah ke kantor atau ke pertemuan. Dan merasakan bagaimana “menikmat” kemacetan” sehingga “tidak” sembarangan menawarkan ide-ide ganjil dan kurang berfaedah bagi lalu lintas.

Lalu program ini untuk siapa ? Apakah memang untuk menguraikan atau mengurangi macet. Atau memang program ini mengurangi macet sehingga “sang penggagas’ dapat tenang menikmati jalan-jalan Jakarta.