04 September 2018

opini musri nauli : BEBAN PEMBUKTIAN DIBALIK



Akhir-akhir ini tema “pembuktian terbalik” mulai mengemuka dan menarik perhatian publik. Tema yang menarik setelah KPK akan menerapkan dalam berbagai kasus.

Istilah “pembuktian terbalik” kurang tepat apabila kita sandingkan dengan makna “Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof”. Andi Hamzah menggunakan istilah “Pembalikan beban pembuktian”. Mekanisme ini ditempuh untuk “membalikkan beban pembuktian” sebagaimana semula menjadi beban dari Jaksa penuntut Umum. Yahya Harahap kemudian mengingatkan tentang beban pembuktian oleh Jaksa penuntut Umum.  

Dalam praktek hukum acara pidana, terdakwa haruslah ditempatkan sebagai “orang tidak bersalah”. “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntutu dan atau dihadapkan dimuka  siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. (Penjelasan Umum butir ketiga huruf c KUHAP). Asas yang kemudian dikenal “asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Pasal 66 KUHAP kemudian menegaskan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Sedangkan penjelasan pasal 66 KUHAP kemudian menerangkan “Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".

Makna ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. 
Dengan demikian maka beban pembuktian dibebankan kepada penuntut umum.

Namun makna “adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi” tidak hanya berhenti. Didalam pasal 37 ayat (3) UU Tipikor disebutkan “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

Makna ini kemudian menegaskan sebagaimana diatur didalam Pasal 37 ayat (4) UU Tipikor “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat buktu yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Dengan demikian maka terdakwa kemudian harus membuktikan “harta yang didapatkannya bukanlah dari tindak pidana korupsi”. Beban pembuktian semula dari Jaksa Penuntut Umum kemudian beraliha. Terdakwalah yang kemudian menentukan. Apakah “harta yang didapatkan dengan cara yang wajar atau tidak’.

Mekanisme ini merupakan kesempatan bagi terdakwa untuk membuktikan terhadap hartanya. Apakah harta yang didapatkan tidak berkaitan melanggar hukum. Atau harta yang didapatkan dengan cara-cara yang baik. Misalnya mendapatkan warisan.

Dengan menggunakan kesempatan ini akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menilai “cara mendapatkan’ harta tersebut.

Gampang khan ?

Namun apabila terdakwa tidak mampu membuktikan harta yang didapatkan dengan cara wajar”, maka terdakwa kemudian dikategorikan sebagai “tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya maka memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 ayat (4) UU Tipikor).

Hakim akan mudah menjadikan alat bukti terhadap terjadinya tindak pidana korupsi. Dan kemudian menempatkan didalam pasal-pasal yang dituduhkan.

Makna inilah yang kemudian dikenal sebagai Istilah “Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof”. Atau “Pembalikan beban pembuktian”.

“Pembalikan beban pembuktian’ merupakan salah satu bentuk filter sekaligus untuk mengukur kekayaan yang didapatkannya. Apakah harta yang didapatkan berkaitan dengan pemberian yang berkaitan dengan jabatannya (in zijn bediening) atau berlawanan dengan kewajibannya (in strijd met zijn pliecth).

Mekanisme “Pembalikan beban pembuktian” merupakan roh dari UU No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari korupsi, Nepotisme. Makna ini kemudian ditempatkan sebagai sifat premium remidium dari UU No 20 Tahun 2001. Sehingga setiap penyelenggara negara harus bersih dari “dugaan” tindak pidana korupsi.

Dalam praktek sehari-hari, bukankah kita selalu bertanya kepada anak-anak kita terhadap uang saku yang diberikan kemudian dibelikan untuk apa saja sekolah ? Dan bukankah kita akan menimbulkan tanda tanya ternyata dia membelikan barang-barang yang menurut perhitungan kita tidak mampu dibelikannya.

Lalu. Mengapa kita tidak bertanya-tanya mengenai harta yang didapatkan dalam periode jabatannya  ?

Jadi. Kalau Bersih Mengapa risih ?

Dimuat di Harian Jambi Independent, 8 September 2018