15 September 2018

opini musri nauli : Denda Adat


Terhadap pelanggaran “pantang larang” kemudian dijatuhi sanksi yang dikenal sebagai “denda adat (Sanksi)”. Sanksi diberikan baik terhadap tanah yang ditinggalkan, melanggar terhadap pengaturan tentang hutan dan tanah (hukum rimbo dan hukum patanahan) dan hukuman terhadap ketidakmauan untuk mematuhi sanksi.
Di Marga Batin Pengambang, Desa Tambak Ratu[1], dikenal “mengepang”, “belukar tuo”, datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”, “Nasi putih air jernih”.

Tanah yang telah ditebang kemudian diberikan tanda dengan kayu berkait (Mengepang). Apabila tidak dikerjakan selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa. Walaupun sudah dikerjakan dengna cara membuat tanda kayu (kayu berkait) namun apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun maka haknya menjadi hilang. Tanah kemudian kembali ke desa (Belukar tuo).

Sedangkan terhadap masyarakat diluar desa setelah membuko rimbo melalui prosesi adat “datang Nampak muko. Pegi Nampak punggung”, namun selama 3 tahun kemudian tidak kerjakan maka tanah kemudian menjadi hilang. Begitu juga kemudian meninggalkan Desa maka tanah kemudian ditinggalkan dan menjadi milik desa. Kemudian dikenal Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa”.

Di Masyarakat Datuk Sinaro Putih[2] terhadap pelanggaran seperti tidak memberikan tanda batas, maka pemilik tanah dapat menikmati hasilnya. Sedangkan apabila telah diberikan tanda maka terhadap penggarap kemudian dijatuhi sanksi berupa “ayam sikuk, beras segantang, seasam segaram.

Begitu juga melakukan kegiatan berladang tidak sompak, kompak dan setumpak, diberikan sanksi sesuai dengan keputusan sidang adat.

Pelanggaran semakin berat apabila mengambil sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestarian, merusak sanksinya kambing sikuk boreh duo puluh kain empat kayu dan seasam segaram.

Sedangkan melakukan pemanfaatan sumberdaya alam desa, dan tidak membayar sumbangan untuk desa, yang bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan sehari-hari. Termasuk juga mengambil binatang liar yang boleh dimakan dan tidak membaginya kepada pimpinan adat, maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan mengambil kembali dikemudian hari.

Sanksi lebih berat diberikan apabila kemudian merusak. Sanksi berupa kobau sikok.

Marga Pemayung Ilir[3], Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.

Sedangkan tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.

Di Marga Kumpeh Ilir, terhadap pelanggaran adat Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[4]. Selain itu terhadap tanah yang telah dibuka namun tidak dikerjakan maka dijatuhi sanksi adat. Berupa “bubur putih.

Setelah diberikan denda adat atau sanksi terhadap tanah yang tidak dikerjakan maka kemudian sanksi diberikan terhadap pelanggaran terhadap tanah.

Di Marga Batin Pengambang, Di Desa Sungai Keradak[5], tingkatan sanksi dikenal “Tegur ajar. Guling Batu”. Tegur Ajar diberikan sanksi adat seperti “Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan.

Sedangkan Guling Batu terdiri darI Membuka tempat yang dilarang, Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.

Desa batu Empang[6] dan Desa Simpang Narso[7], tegur sapa berupa teguran pertama denda beras segantang dan ayam 1 ekor. Sedangkan Tegur Pengajar berupa teguran kedua jika masih berbuat juga denda beras 20 dan gantang kambing 1 ekor. Dan Denda Guling Batang, teguran terakhir denda beras 100 gantang dan kerbau 1 ekor.

Di Marga Batang Asai Tengah[8], Tegur Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Menumbang pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang dan membuka hutan diluar aturan adat.

Tegur  Sapo diberikan terhadap pelanggaran seperti Membuka lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Dan Orang luar yang mengambil hasil hutan tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke pihak keamanan. Sedangkan Guling Batu terhadap pelanggaran seperti Membuka tempat yang dilarang., Orang luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai, nenek mamak dan membuka hutan tanpa rapat kenduri.

Di Marga Sungai Tenang mengenal denda adat denda adat yaitu beras 20 kambing 1 ekor selemak semanis yang dijatuhi apabila tidak mau mengikuti aturan adat termasuk dalam mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, mako biso kawi turun ke bumi, padi ditanam ilalalang tumbuh, kunyit ditanam putih isinyo, harimau maruh sepanjang maso, bahalak turun setiap waktu, air keruh ikannyo liar, rumput kering kerbaunyo kurus, mencari tidak berulih emas, baumo tidak mendapat padi, silang sengketo selalu tumbuh, penyakit taa’un dan layao tidak kunjung henti. Kepala Adat jatuh dipemanjat, hanyut diperenang, disapo oleh pusako maka Kepala Adat diberhentikan dan diajatuhi sanksi berupa denda dua kali lipat dari penduduk biasa.

Di Desa GedangSanksi Adat [9], Denda adat berupa “kambing Sekok, beras 20” dan “kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh.

Kambing Sekok, beras 20,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo. Sedangkan  kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanah kepada orang luar. Penjualan dibatalkan dan tanah kembali ke penghulu. 
Dan kambing Sekok, beras 20, mas 4 tail Separuh. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang, mas 4 tail separuh, yang menjual tanpa sepengetahuan Penghulu/nenek mamak[10].

Di Desa Kotobaru[11], sanksi adat  dijatuhkan terhadap pelanggaran Peraturan Desa kambing Sekok, beras 20,-, selemak-semanis dan uang Rp 2.500.000,[12].

Di Desa Tanjung Benuang dikenal “kambing sekok, beras 20, email 7 tahil sepaho” dan “beras 2 ayam”.

Kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail sepaho. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan uang Rp. 750.000,- Tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung  apabila “yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu. Selanjutnya tidak dibenarkan lagi membuka rimbo”, atau “Menjual tanah kepada orang luar. Sedangkan tanahnya kembali ke penghulu”, “Membuka hutan padahal tidak ada hak”, “Warga Desa yang sebelumnya berasal dari luar desa yang memiliki tanah apabila menjual tanah, maka jual beli tidak sah. Pembeli dijatuhi hukuman. Sedangkan tanahnya kembali ke desa” dan “Tidak melaksanakan putusan adat”.

Sedangkan “Beras 2 ayam 2. Denda” dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor apabila KATO DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR”
 dan “Membuka hutan bukan pada waktu yang ditentukan[13].

Di Desa Tanjung Alam  Sanksi Adat berupa 
”kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-“. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu, yang membuka rimbo tanpa sepengetahuan Penghulu dan “kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Selain itu ditambah “TINGGI TIDAK DIKADAH, RENDAH TIDAK DIKUTUNG. yang menjual tanah kepada orang luar,

Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir dan tanah kembali ke Penghulu[14].

Di Desa Tanjung Mudo Hukuman adat dijatuhi Kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-. Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp 500.00,- Tanah kembali ke penghulu.

Sedangkan untuk diluar masyarakat, Diusir dan tanah kembali ke Penghulu[15].

Di Marga Senggrahan Desa Durian Rambun, sanksi diberikan seperti “menjual kawasan hutan adat” dengan sanksi yang berat yaitu  denda 1 ekor kerbau, 100 gantang beras, 100 buah kelapa, serta selemak semanis dan lahan penjualan dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun”, ”penebangan liar di kawasan hutan adat dengan maksud untuk menjual kayu hasil tebangan tersebut di dalam kawasan Hutan adat”, ”merambah Hutan Adat”. Merambah hutan adat juga ditambah dengan denda uang sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta) per hektar serta kawasan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat durian rambun.

Denda kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanis terhadap pelanggaran seperti mengambil hasil hutan tanpa izin”, ”mengambil tanaman manau dan menebang tanaman buah-buahan di kawasan hutan adat, ” meracun ikan dan dengan alat lain yang merusak ekosistem ikan pada kawasan hutan adat”, ”menutuh” petai, ” berburu memburu rusa, kijang dan satwa yang dilindungi

Bahkan hasil manau  di kembaikan ke masyarakat adat durian rambun.

Apabila ketentuan sanksi tidak dapat dilaksanakan maka pelaku pelanggaran akan diajukan ke hukum Negara oleh Kepala desa  setelah mendapat laporan dan masukan dari Lembaga adat[16].

Marga VII Koto[17], Pelanggaran adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh, selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus, selemak-semanis[18].

Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[19]

Di Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”. Seloko Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Namun apabila kemudian ”sang kena denda” meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk menyelesaikannya.

Karena ”Raja tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar

Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau.

Di Marga Pemayungan Desa Pemayungan[20], “Tidak boleh menebang hutan keramat (Tanah penggal, Bulian berdarah, Bukit Selasih, Pasir embun). Sanksinya kain putih 300 kayu, kerbau tiga, beras 300 gantang, kelapa 300, selemak semanis seasam segaram, kayu dikembalikan ke desa, diusir dari kampung dan dilaporkan kepada Polisi[21].

Muara Sekalo[22], Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis. Didalam rapat ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi. 

Desa Semambu[23], Kerbau sekok, beras 100 gantang, selemak semanis, hukum Depati apabila menebang Pohon sialang.  Hilang mati. Tidak usah diurus apabila membuka hutan tanpa pemberitahuan kepada penghulu.  Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.

Desa  Desa Suo-suo Sanksi[24] Sanksinya adalah ayam sekok, beras segantang dan selemak semanis.

Di Dusun Talang Mamak Simarantihan[25], Terhadap pelanggaran adat dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis dan kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis.

Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting. Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.

Selain itu dikenal Selendang matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi (tombak). Setiap pelanggaran harus mencantumkan selendang matahari, timban tasik dan tongkat bumi.

Marga Pemayung Ilir[26],  Terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”. Istilah “cucuk tanaman” biasa dikenal dengan penamaan lain seperti di Marga Sungai Tenang “hilang celak jambu kleko”. Di Marga Sumay dikenal “Lambas’. Di Marga Kumpeh Ilir dikenal “mentaro”.

Sedangkan tanah yang telah dibuka harus dikerjakan. Apabila ternyata tidak dikerjakan maka menurut “pantang larang”, tanah “bebalik ke batin’. Batin kemudian diartikan sebagai “hak tanah” kembali ke dusun.

Di Marga Kumpeh Ilir, Desa Sungai Bungur Sanksi[27] dijatuhkan Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat

Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih.

Di Desa Sogo Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat[1].

Di Desa Sponjen “Terhadap pelanggaran “pantang larang” dijatuhi sanksi berupa ganti rugi yang besarnya ditetapkan melalui proses adat. Tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami maka akan dijatuhi sanksi adat berupa bubur putih[28]

Didalam Marga Maro Sebo Desa Rukam “Menempuh yang besawah atau merubah sebuah keputusan mengorak  yang bereboh[29].

Marga Tungkal Ulu[30], Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan.

Sedangkan Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.

Di Marga Tungkal Ilir Desa Serdang Jaya[31]. Sanksi Areal Parit Cabang yang terletak di RT 12 Desa Makmur Jaya tidak boleh diperjual-belikan,  Terhadap penjualan tanah di Parit Cabang RT 12 Desa Makmur Jaya maka tanah dikembalikan kepada Tanah Kas Desa Makmur Jaya, Sedangkan terhadap penjual maupun pembeli dijatuhi sanksi oleh masyarakat. Selain itu akan dilaporkan kepada proses hokum[32].

Desa Makmur Jaya[33]   SANKSI Wilayah Hutan Lindung Gambut (HLG) yang berada di Dusun Sri Menanti Desa Serdang Jaya tidak boleh diperjulan belikan.  Apabila terdapat proses jual beli di wilayah HLG maka hak atas tanah tersebut dikembalikan ke pemerintah Desa Serdang Jaya.  Pembeli maupun penjual tanah di HLG akan diberikan hukuman oleh masyarakat.  Apabila lahan yang telah dibuka namun tidak dikelola selama 5 tahun, lahan tersebut statusnya dikembalikan ke desa[34]..

Di Marga Sabak/Dendang, Desa Sungai Beras, Berdasarkan kesepakatan, zona lindung harus dilindungi dan tidak boleh dirusak, sanksi bagi  pelanggar akan diserahkan kepada pihak berwajib. Bagi lahan yang telah terlanjur digarap oleh masyarakat yang berada pada kawasan hutan tidak diizinkan melakukan perluasan, untuk pemanfaatan tanaman perkebunan seperti  sawit diizinkan satu periode, nantinya diaharuskan mengganti dengan tanaman kehutanan.

Sama halnya dengan satwa dan tanaman yang dilindungi dilarang untuk ditangkap, bagi pelanggarkan akan diserahkan kepada pihak berwajib guna diproses secara hukum dengan acuan undang-undang perlindungan satwa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Terhadap pelanggar yang memasuki Hutan Desa tanpa izin dapat dikenakan sanksi Undang - Undang Kehutanan. [35]

Dan di Marga Berbak Untuk menegakkan hukum adat, masyarakat mengenal “tegur ajar’. Istilah Tegur ajar juga dikenal di Marga Batin Pengambang. Terhadap kesalahan dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok, berat 20 gantang, selemak-semanis” [36].

Selain itu terhadap penjatuhan sanksi adat atau denda adat kemudian tidak dipatuhi maka dikenal “plali’. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa (Marga Batin Pengambang).

Di Marga Sungai Tenang kemudian juga dikenal Pelalo Rendah. Kalau tidak mau tunduk hukuman yang yang dijatuhkan Kepala Adat, maka dijatuhkan hukum pelalo rendah, yaitu : tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao, maka sejak saat itu yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.

Pengingkaran terhadap sanksi ditandai dengan seloko “digantung tinggi, dibuang jauh”. Di tempat lain sering juga disebut didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Seloko ini dapat dijumpai di Marga Luak XVI di hulu Kabupaten Merangin yang sering disebutkan “Plali” sebagaimana seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebut “orang buangan’. Orang yang tidak perlu diurus di kampong karena tidak mau menaati sanksi yang telah dijatuhkan[37],.

Sedangkan Proses yang kemudian diserahkan kepada Rajo atau pemangku Batin sering disebutkan didalam seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.




            [1] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [2] Perda Kabupaten BungoNomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [3] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
[4] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [5] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [6] Desa batu Empang 2 April 2013
            [7] Simpang narso, 2 April 2013
            [8] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
[9] Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
[10] Pasal 8 Peraturan Desa Gedang Nomor  3 tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo
            [11] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [12] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [13] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG  No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
            [14] Pasal 8 Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[15] Pasal 8 PERATURAN DESA TANJUNG MUDO NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [16] Profile Desa Durian Rambun , Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[17] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[18] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[19] Langau adalah “lalat hijau”
[20] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
[21] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012
[22] Muara Sekalo, Maret 2013
[23] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [24] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
[25] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [26] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
            [27] PERATURAN DESA SUNGAI BUNGUR No.    Tahun 2016 TENTANG PIAGAM TUMENGGUNG BUJANG PEJANTAN
            [28] Desa SPONJENPERATURAN DESA SEPONJENNo.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
[29] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017
[30] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [31] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [32] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [33] PERATURAN DESA MAKMUR JAYA NO  TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT
            [34] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [35] PERATURAN DESA SUNGAI BERAS NO   2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT  DESA SUNGAI BERAS
[36] Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
[37] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016