01 September 2018

opini musri nauli : WEWEY WITA


Membaca kisah peraih Emas ke 30 di Asian Games membuat menitik airmata. Tidak terasa rasa haru menggumpal didada. Tenggelam dari riuh gemerlap sorak sorai penonton menyambut gembira. Melengkapi kisah perjalanan panjang.


Dengan judul “Pencak Silat Memeluk Semua Yang Mencintainya”, “Yeo Meng Tong” menggambarkan kondisi social yang dialaminya. Nama yang menggambarkan Tionghoa dengan alasan social kemudian “diperbaiki” Wewey Wita.
Wewey Wita adalah gambaran triple minoritas. Perempuan, Tionghoa dan non muslim. Sebuah Stereotip dan kenyataan social yang marak terjadi. Melengkap cerita tentang Meilina dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ditambah menekuni olahraga pencak silat yang digambarkan “milik Melayu” dengan kulit coklat.

Sebagai kelompok minoritas mengalami berbagai bentuk diskriminasi, kondisi social membuat Wewey Wita ‘pintar” menyesuaikan diri. Tenggelam dengan latihan panjang menjelang kejuaraan.

Kelompok yang mengalami “tempat penghinaan’, “tempat mencaci maki”, “mempersoalkan ekonomi”. Bahkan berbagai tindakan rasial yang jauh dari esensi makna bangsa bermartabat.

Lihatlah. Berbagai ujaran kebencian disampaikan pada suara-suara demonstrasi. Dalam berbagai materi agama. Bahkan dalam mimbar-mimbar ilmiah.

Ujaran kebencian kemudian diwujudkan dalam ranah politik. Tema tentang “pribumi’, “putra daerah” adalah gambaran politik yang mundur sebelum tahun 1908.

Namun Wewey Wita kemudian membuka mata. Wewey Wita menggambarkan kenyataan social. Wewey Wita menggeluti Pencak Silat sebagai “mascot” olahraga Indonesia.

Wewey Wita menghentak. Membongkar nurani. Mempertanyakan Keindonesiaan. Menggugat ketidakadilan dengan wujud medali emas. Wewey Wita tidak cengeng. Wewey Wita melawan dengan bukti prestasi.

Dengan Pencak Silat, Wewey Wita kemudian mengembalikan makna filosofi olahraga. Tidak ada sekat-sekat social. Tidak ada lagi sekat dengan alasan warna kulit.

Dengan tagline “memeluk”, Wewey Wita mengembalikan hakekat olahraga. Mengembalikan makna tentang sportifitas. Membangun kesadaran tentang Keindonesian melalui olahraga.

Wewey Wita menyadarkan tentang “makna” memeluk. Mengembalikan sifat Pencak Silat itu sendiri. Sebagai wadah untuk bergandengan tangan.

Tagline “memeluk” adalah gugatan sekaligus ajakan akan makna bangsa berdaulat. Bangsa bermartabat. Bangsa yang menjunjung keberagaman. Dan menempatkan satu dengan lain tanpa perbedaan disebabkan warna kulit, asal-usul, agama dan suku bangsa.

Sekali lagi “wajah kita tertampar”. Mengembalikan ingatan kolektif tentang berbangsa-bernegara.

Dan, mari kita sambut pelukan dari Wewey Wita. Sebagai satu bangsa. Bangsa Indonesia.