09 September 2018

opini musri nauli : PERTENGKARAN KECIL DI MINGGU PAGI




Adek Lio. Mama mau nonton”, ujar istriku.
“Dedek dak mau. Mau nonton spongbob”, protes sang Bungsu tidak rela.
Istriku diam. Sambil menggerutu dia meninggalkan ruang tengah.

Suasana pertengkaran yang tidak berkesudahan. Keduanya menunjukkan sikapnya. Keduanya tidak mau mengalah.
Akupun mengajak istriku keluar rumah. Sembari memanaskan mobil, “Hayo kita keluar. Makan lontong”, bujukku.

Sang Bungsu menunjukkan sikapnya. 5 hari menjalani full day school, hari minggu adalah hari libur. Dia betul-betul menikmatinya. “Bukankah selama 5 hari yang lalu, ibunya sudah sering nonton tanpa diganggu. Bukankah 5 hari yang lalu, sang bungsu sama sekali tidak mengganggu ibunya.

Sang Ibu juga menunjukkan sikapnya. Bukankah 6 hari kerja kemudian menikmati minggu pagi adalah sebuah kemewahan. Dia penasaran akhir dari cerita film India. Sebuah cerita untuk menyegarkan diri setelah seminggu padat. Atau mengembalikan ceria untuk memasuki hari senin.

Begitulah pertengkaran hari minggu Pagi dirumahku. Sebuah pertengkaran yang harus “dilokalisir” hingga tidak meledak. Sembari mencari waktu mencari “jalan keluar”.

Sebagai sang Bungsu aku mengibaratkan sebagai minoritas. Pikirannya masih pendek dan sederhana. Interestnya “cuma menonton TV”. Bukankah cuma hari minggu adalah “kesempatannya’. Lalu mengapa kemudian dia harus dikalahkan.

Sebagai istri aku mengibaratkan sebagai mayoritas. Berkuasa menggunakan anggaran. Bisa menentukan “makanan” apa yang dihidangkan hari ini. Termasuk juga menentukan ‘suasana rumah”. Sehingga sudah saatnya juga menikmati “istirahat” setelah pekerjaannya menyita waktu. Termasuk juga mengelola managemen keuangan. Sang istri begitu berkuasa.

Lha. Aku ?

He.. he.. He. Sebagai Kepala Keluarga (hasil kesepakatan ya. Bukan diskriminasi), aku harus mengatur irama. Agar mayoritas tidak boleh menindas minoritas. Aku harus memperhatikan agar minoritas bisa bersuara.

Selain itu aku juga harus menghindarkan “bujukan” atau “rayuan” dari istri untuk memihaknya. Itu harus kuhindarkan. Agar sang minoritas tidak terkesan.

Aku juga harus memastikan agar istriku tidak menggunakan “kekuasaan” mayoritas untuk “petantang-petenteng’ menunjukkan kuasanya. Menunjukkan kekuasaan dengan mengancam, meneror kepada minoritas. Bahkan aku juga harus memastikan agar yang “lebih berkuasa” tidak boleh menerakkan “suara keras” terhadap minoritas.

Begitu juga terhadap sang bungsu. Aku membujuk agar dia tidak menggunakan caranya. Entah dengan Ngambek, ngamuk atau uring-uringan akan bisa dilakukan. Sebagai bentuk protes terhadap “ketidakadilan”.

Suasana rumah bisa heboh. Sang bungsu bisa lari ke kamar. Atau bisa saja diajak ngomong namun enggan melayani.

Demikianlah kita dalam kehidupan social. Suara minoritas harus didengarkan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, suara-suara anak muda lebih didengarkan dalam rapat-rapat RT. Karena merekalah sebagai “kepak rambai hululabang”, atau “kermit’. Mengangkat yang berat. Menjemput yang tinggal.

Bahkan Majelis Hakim sebelum memutuskan didalam rapat permusyawaratan Hakim” selalu mendengarkan pendapat dari Hakim yang paling muda. Barulah kemudian disusul hakim selanjutnya. Kemudian Ketua Majelis diberikan kesempatan terakhir memberikan pandangannya.

Dalam lapangan HAM kemudian dikenal kelompok minoritas dan kelompok rentan. Seperti disable, perempuan, anak dan Masyarakat adat kemudian mendapatkan “keistimewaan” yang dikenal sebagai Hak kemudahan dan perlakuan khusus (affirmative  action).

Didalam disable, affirmative  action dalam fasilitas public ditandai dengan fasilitas khusus. Entah dengan lift khusus, jalan yang visible ditempuh. Belum lagi bahan bacaan yang memuat aksara braile. Bahkan dalam urusan “boarding”, diutamakan dan didahulukan menaiki pesawat.

Sedangkan perempuan kemudian berhak untuk menikmati cuti haid, cuti melahirkan termasuk juga ruangan untuk menyusui.

Begitu juga dengan anak. Perkaranya lebih cepat sepertiga dari waktu pada perkara umum, didampingi orangtua maupun psikolog dan petugas dari negara, sidang yang tertutup untuk umum. Bahkan seluruh penegak hukum tidak dibenarkan menggunakan toga. Hanya menggunakan pakaian yang sopan dipengadilan.

Sedangkan untuk Masyarakat Adat maka harus diakui termasuk hak-hak tradisionalnya.

Begitu juga yang dilakukan Jokowi. Konsentrasi untuk mengejar daerah-daerah tertinggal dalam infrastruktur kemudian dikebut selama 4 tahun terakhir ini. Jokowi tidak peduli apakah “suaranya” cuma sedikit untuk berkaitan dengan politik. Jokowi adalah tipikal “orang tua” yang baik untuk memperhatikan “masyarakat minoritas” yang abai dalam pembangunan.

Mau dimana nurani apabila masih mendengarkan suara-suara di timur yang tidak ada listrik, harga BBM yang tinggi, semen yang menjulang tinggi. Bukankah begitu memang tugas dari negara ? Membangun dari ujung barat dengan ujung Timur Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai ke Pulau Rote.

Mendengarkan dan melindungi minoritas adalah hakekat kemanusiaan. Ada yang menyebutkan “toleransi’. Namun saya lebih suka menyebutkan Fitrah sebagai manusia. Dan bersifat universal.

Bukan keseimbangan antara minoritas dengan mayoritas adalah seni kehidupan. Bukankah “akurnya” yang tua dengan yang muda dunia menjadi indah. Bukankah seloko Jambi menyebutkan “Elok negeri dek yang tuo. Ramai negeri dek yang mudo”.

Akur khan.

Setelah pulang memakan lontong diluar, sang bungsu malah sibuk dengan mainannya. Bahkan memberikan remote TV sembari kemudian meninggalkan sang istriku.

Ah. Pertengkaran kecil minggu pagi kemudian mengajarkan. Konflik selalu ada. Namun konflik harus dikelola untuk dapat diselesaikan.

Besok-besok harus rapat besar nih. Sambil mengatur jam menonton untuk si bungsu. Dan jam menonton si bungsu harus mengalah.

Akupun meneruskan membaca buku sembari mendengarkan raungan gitar. Dari Pemusik BB King.