08 September 2018

opini musri nauli : Tatacara Penyelesaian


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu digunggung musang” atau “Kalau anak tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah pulo dari asal”.

Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[1]. Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun[2]. Di Marga Pelepat dikenal “Seloko “Nengok tumbuh”[3].

Ungkapan adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan  hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,

Tiung bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh

“Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing. Serenteh bumbun.

Bilo urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak. Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin. Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik, dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[4].  

Cara dimulai dari Seloko “Sirih senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang sebatang. Kok rendah pusako rendah kok dengan keris nan sebilah. Kusut minta diusaikan. Keruh minta dijernihkan[5].

Di Marga Batin Pengambang Desa Sungai Keradak[6], Seloko dimulai “Bilo tepijak di Gunung Arang hitamlah tapak. Bilo tesuruk di Gunung Kapur putihlah punggung. Bilo Tetempuh  dipintu salah, tetap betang. Bilo telangkah di agamo tetaplah beduso.

Karena itu, salah dikaku benar diantarkan. Salah sesamo. Hamba minta maaf. Salah kepada Tuhan betubat. Utang bebaye, piutang diterimo. Tahu diutang kecik diutang. Dak tahu diutang, utang gedang. Utang kecik dibayar lunas, utang gedang nan diangsur. Adat utang nan bek gudam-bekhugguh. Besikhi-bealamat. Bejanji besamayo. Janji nan didepat. Semayo nan ditunggu. Ikrar di uni.

Cara menyelesaikan Tata Cara menyelesaikan persoalan yang biasa dikenal dengan istilah jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Atau Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap naik, bertangga turun didalam upaya menyelesaikan perselisihan, dimana adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang dikenal “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.

Di Desa Lubuk Mandarsyah, Prosesinya dimulai dari Pihak “tuo tengganai” kemudian mendatangi lembaga adat untuk menyampaikan “habibul hajat (maksud dari pengundang) meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat yang terganggu dengan “kesalahan dari anak kemenakan”.

Setelah mendengarkan “habibul hajat (maksud dari pengundang), lembaga adat kemudian menerima permohonan maaf dari “tuo tengganai” anak kemenakan yang bersalah.

Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. (Kerbau satu ekor, 1 keris, 100 gantang beras, seratus kain, selemak semanis)

Kemudian ditanyakan kepada “tuo tengganai” apakah mampu membayar sanksi adat. Setelah “tuo tengganai” menyatakan mampu untuk membayar sanksi adat, maka sanksi adat kemudian “diserahkan” kepada lembaga adat. Lembaga adat kemudian menerima dan menyampaikan kepada “orang rame”, sanksi adat telah dijatuhkan. Dan “tuo tengganai telah mampu membayar sanksi adat”[7].

Di Talang Mamak Dusun Simarantihan, prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat[8].

Ikrar Sirih gambir mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.

Dengan demikian maka para pihak yang Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham” dapat menyelesaikan dengan baik. “

Jangan hendaknya rumah sudah paek bedengkang. Api padam puntung berasap. Runding Sudah ciak bebunyi. Jalo teambur tali tesangkut. Hari siang bulan mungko tumbuh.


            [1] Desa Muara Sekalo, 17 Maret 2013.
            [2] Desa Semambu, 19 Maret 2013
            [3] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat, 16 Agustus 2016
            [4] Desa Batu Empang, Sarolangun, 2 April 2013
[5] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
            [6] Desa Batu Empang, Sarolangun, 2 April 2013
            [7] Makna Simbolik Upacara di Lubuk Mandarsyah, Jambi Independent, 27 Mei 2015
            [8] Desa Suo-suo, 23 Maret 2013