14 Maret 2019

opini musri nauli : izin dan pawah (Paroan)


Membicarakan izin perusahaan dilahan milik masyarakat (pemilik tanah) menimbulkan persoalan dalam tataran hukum administrasi negara dan hukum tanah.

Pemilik tanah yang mendapatkan tanah berdasarkan hukum adat, mendiami bertahun-tahun bahkan sebagian besar merupakan tanah warisan kemudian “dibenturkan” dengan izin perusahaan diatasnya.

Sebagai pemegang izin, perusahaan kadangkala keliru menempatkan “maqom” izin berkaitan dengan tanah. “Tanpa tedeng aling-aling”, perusahaan langsung mengerahkan alat berat, memboldozer tanaman tanpa “merasa bersalah”. Dengan konsep atau izin yang dipegangnya, sang pemegang izin dengan enteng bahkan cenderung “merasa benar”.

Dalam rezim hukum administrasi negara, konsepsi “izin” adalah pembolehan atau “dispensasi’. Atau dengan kata lain, sang pemegang izin yang semula dilarang oleh hukum kemudian oleh negara kemudian “membolehkan” untuk berkebun. Sawit atau kayu misalnya. Sehingga izin yang berakar dari “pembolehan” atau “dispensasi’ tidka menimbulkan hak. Maqom ini sengaja dipaparkan agar, konsepsi izin tidak boleh menabrak esensi hukum tanah sebagaimana diatur didalam UUPA.

Lalu bagaimana konsep “izin” kemudian bertabrakan dengan hak milik pemilik tanah ?

Dalam UU No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) secara tegas limitative menempatkan hak milik sebagai hak utama dan terkuat. Hak milik hanya hapus ketika “dialihkan” atau “diperalihkan”. “Dialihkan” ditandai dengan “jualbeli”, sewa menyewa, jaminan utang”. Sedangkan “dialihkan” hanya berkaitan dengan “hibah” atau “waris”.

Begitu agungnya “hak milik” dalam konsepsi HAM, hak milik “tidak dapat dirampas” oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Makna hak milik melekat didalam individu.

Lalu apakah begitu agungnya “hak milik” kemudian dapat dirampas oleh konsepsi izin ?

Tentu saja tidak dibenarkan, hak milik menjadi hapus dengan konsepsi izin. Konsepsi “izin” berdasarkan maqom “pembolehan” atau “dispensasi’ tidak mungkin menghapuskan atau menghilangkan “hak milik” yang sudah diatur didalam UUPA.

Atau dengan kata lain, izin tidak dapat mengambilalih hak milik terhadap tanah.

Didalam hukum Tanah Melayu Jambi, izin dikenal dimulai dari prosesi “pamit kepada penghulu”. Sebagai izin “pamit kepada penghulu”, maka sang pemohon izin tidak dapat menguasai tanah menjadi hak milik. Esensi ini biasa dikenal didalam praktek ditengah masyarakat.

Di daerah hulu, “pamit ke penghulu” kemudian dilanjutkan kepada pemilik tanah. Ujaran yang biasa dikenal adalah “numpang bekebun’ atau “numpang beumo’. Biasanya ada perjanjian antara “sang pemohon” dengan pemilik tanah. Istilah ini biasa dikenal “paroan”. Sang pemohon bersedia menanam tanaman tertentu yang disepakati dengna pemilik tanah. Pemilik tanah bersedia untuk”meminjamkan tanahnya” dengan system bagi hasil. Istilah inilah yang menjadi makna “paroan”.

Paroan berasal dari kata “paroh”. Atau separoh. Atau bagi dua. Sehingga pemilik tanah berhak menikmati hasilnya dibagi dua.

Sebagai “sang pemohon”, maka berhak untuk menikmati hasilnya. Namun status tanah masih tetap menjadi hak milik dari sang pemilik tanah.

Dihilir dikenal “pawah”. Biasanya ditanami tertentu. Kalau tanaman yang berumur panjang (tanaman tuo), maka selama menghasilkan, maka sang penanam berhak terhadap hasilnya. Dibagi dua dengna pemilik tanah.

Sedangkan tanaman berumur pendek biasa dikenal “peumoan”. Peumoan adalah areal yang memang dikhususkan untuk tanaman mudo seperti menanam padi.

Dengan demikian maka “paroan”, pawah”, “peumoan” adalah hak untuk menikmati hasil tanaman. Bukan berhak terhadap status tanah.

Sehingga “izin” pemegang konsensi baik sawit ataupun kayu sekalipun dapat dikategorikan sebagai “hak untuk menikmati hasil tanaman”. Bukan status tanah.

Negara sudah mengaturnya. Didalam surat Keputusan kepala Daerah yang berkaitan izin (izin prinsip, izin HTI, IUP) selalu dinyatakan “terhadap tegakan yang menjadi hak pihak ketiga, maka pemegang izin harus menyelesaikan dengna pihak ketiga”.

Sehingga pemegang izin harus menyelesaikan dengan pemilik tanah. Tidak sertamerta “izin” menjadi hak terhadap tanah.

Kekeliruan penafsiran izin yang kemudian dibenturkan dengan hak tanah menjadi salah satu paradigma yang menyumbang berbagai konflik.

Sudah saatnya paradigma pemegang izin harus diluruskan. Agar berbagai konflik yang tengah terjadi dapat didudukkan menjadi persoalan hukum. Sehingga penghormatan sang pemilik tanah dapat ditempatkan sebagaimana diatur didalam UUPA.



Advokat. Tinggal di Jambi