08 Oktober 2019

opini musri nauli : Hukum Tanah Melayu Jambi





Akhir-akhir ini, ada kecendrungan “membenturkan” Hukum Agraria Nasional yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960  (UUPA) dengan Hukum Tanah Adat. Kecendrungan ini dapat dilihat baik didalam paradigm penegak hukum maupun dalam penegakkan hukum .

Kecendrungan dapat dilihat seperti ungkapan, “pembuktian” tertulis (segel, sporadik, Sertifikat Hak Milik, surat keterangan Tanah), asas domein verklaring dan Hak milik negara.

Padahal “kekeliruan” yang disampaikan merupakan “muara” dari paradigm yang masih menempatkan “persoalan tanah” adalah persoalan hukum Nasional. Yang justru menitikberatkan kepada Hukum Perdata. Paradigma Hukum acara Perdata yang justru menjunjung asas “kepastian hukum” dan tertulis.

Paradigma “kepastian hukum” dan tertulis adalah sebuah asas yang meletakkan “bukti” tertulis adalah mazab hukum dari Sistem Hukum Eropa continental. Asas ini masih terpatri kuat dikalangan hukum yang masih menjunjung paradigm system Hukum Eropa continental. Asas yang mengabaikan bahkan mengenyampingkan system hukum Tanah di Indonesia.

Padahal secara jelas-jelas tertulis didalam UUPA. Pasal 5 UUPA jelas menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dengan demikian maka baik cara mendapatkan tanah, kategori tanah terlantar, pembuktian terhadap tanah tetap merujuk kepada “hukum adat’.

Pada prinsipnya, pengakuan terhadap tanah dari hukum adat merujuk kepada pembuktian yang dikenal didalam hukum adat. Di Jambi sendiri, seloko seperti “dimana tanah dipijak, disitu tanah dijunjung”, atau “hilang celak jambu kleko”, “tunggul pembarasan”, “pinang belarik”, “mentaro”, “jeluang” atau penamaan lain yang membuktikan terhadap kepemilikan. Sehingga tanda terhadap tanah sesuai dengna seloko adalah pembuktian yang sahih. Bukan tertulis.

Selain itu, pada prinsipnya, hak milik atas tanah menurut Hukum Adat Melayu tidak bersifat mutlak. Cara umum untuk memperoleh tanah dengan cara membuka (membuka rimbo, pancung alas, setawar sedingin) adalah proses mendapatkan tanah. Dan itu masih dihormati hingga sekarang.

Selain itu adanya “kewajiban untuk memelihara”. Norma seperti “belukar lasah”, “belukar mudo”, “sesap rendah jerami tinggi”, “belukar tuo”, “empang krenggo”, “jauh tidak dipenano, dekat tidak disiang” adalah tanda tanahnya yang kemudian terlantar. Dengan demikian apabila tanah yang kemudian terlantar maka, hak milik terhadap tanah dapat dihapuskan.

Kewajiban untuk memelihara” ditandai dengan “tanaman tumbuh”, “tanaman tuo”, peumoan”. Sehingga terhadap tanah melekat terhadap pemilik tanah. Kewajiban ini sekaligus membuktikan “pemilik tanah” berkewajiban” untuk tetap merawat sebagai fungsinya. Sehingga terhadap tanah tetap berfungsi sebagaimana mandat ketika tanah diberikan.  

Terhadap “penelantaran” tanah maka si pemilik tanah kemudian dihapuskan haknya.  

Selain itu paradigma tentang “domein verklaring” selalu menarik perhatian.

Pada prinsipnya, asas domein verklaring adalah asas yang menyatakan apabila tidak dapat membuktikan tanahnya maka tanah tersebut kemudian dinyatakan sebagai tanah negara. Makna ini kemudian dapat dilihat didalam UU Agraria Belanda (Staatblad 1874. Dikenal sebagai Agrarisch wet). Negara kemudian menganggap sebagai “tanah liar (woeste grond).

Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong. Padahal tanah mempunyai hak milik komunal (beschikhingrecht). 

Dengan menganggap tanah liar (woeste grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh negara. Asas domein verklaring dan Agrarisch wet” kemudian dicabut oleh UUPA.

Sehingga terhadap asas domein verklaring dan “Agrarisch wet tidak memberikan hak kepada negara. Hak yang paling sering disebutkan sebagai Hak milik Negara.

Dalam konstitusi, negara hanya diberikan hak menguasai. Bukan hak milik negara. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.

Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.

Dengan demikian ”kekeliruan” tentang Hak milik negara selain melambangkan paradigma keliru yang berangkat dari asas ”domein verklaring” dan ”agrarisch wet” juga melambangkan paradigma yang keliru memandang persoalan agraria. Sehingga kekeliruan yang masih hinggap di berbagai pemangku kepentingan harus dihentikan. Sehingga paradigma harus diluruskan.

Mengakhiri kekeliruan diharapakn dapat membantu melihat berbagai konflik yang tengah terjadi ditengah masyarakat.



Advokat. Tinggal di Jambi