04 Oktober 2019

opini musri nauli : Manusia Indonesia




Ketika aksi yang kemudian berakhir dengna kerusuhan di Wamen, Papua, langsung saya panic. Terbayang nasib saudara-saudaraku. Terutama saudara Keluarga istri. Pedagang yang sudah lama tinggal disana.

Suasana panik semakin terasa. Informasi dari sana sangat sedikit. Sementara teman-teman nasional masih sibuk bahas RUU-KPK dan capim KPK. Isu yang “berputar-putar’ cuma itu.

Teringat ketika persentuhan dengna kawan-kawan dari Papua. Sejak 2008 interaksi langsung adalah dengan teman-teman Walhi Papua. Secara nurani kami bertemu. Sebagai korban dari ketidakadilan. Perebutan sumber daya alam. Terpinggirkan.

Interaksi kemudian semakin massif ketika saya menjadi petinggi Walhi Jambi. Bertemu dan berinteraksi langsung dengan teman-teman dari Walhi Papua. Baik dalam pertemuan dalam koalisi maupun agenda-agenda program yang “memaksa” harus bertemu.

Disela-sela pertemuan (entah diruang merokok), coffeebreak, atau waktu luang (biasanya menjelang tidur malam), saya kemudian menjadi paham. Mengerti terhadap “ketidakadilan’.

Bayangkan. Dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah, namun justru kemiskinan masih terjadi disekitar perusahaan. Sebuah paradok yang masih terlihat menganga didepan mata.

Pelan tapi pasti. Issu sensitif seperti “sawit” yang memang Sumatera dan Kalimantan mempunyai sejarah kelam yang panjang. Berbagai agenda advokasi kemudian kami saling bercerita. Disaat bersamaan “issu sawit” mulai merambah ke Papua.

Dengan lugas dan ditambah fakta, kamipun saling berbagi pengalaman pengalaman buruk. Sehingga dapat memberikan “pilihan” kepada teman-teman Walhi Papua untuk menentukan agenda selanjutnya.

Dengan rasa “kemanusiaan” membuat saya yakin, manusia-manusia Papua adalah manusia sederhana. Menjunjung kemanusiaan. Sebuah “rasa’ sebagai manusia yang sama dengan manusia lain dibumi ini.

Namun saya kemudian “gerah”. Seorang tokoh agama kemudian “berapi-api” tentang lambang salib yang kemudian menghebohkan. Tamatan dari luarnegeri namun “seakan-akan” tidak berada di Indonesia.  

Saya kemudian membantu menjelaskan. Pandangan dari tokoh agama seperti itu tidak menggambarkan “islam” yang sebenarnya. Dengan mengumpamakan cerita-cerita tentang Umar bin Khatab atau cerita Rasullah tentang “rendah hati”, termasuk juga ketika rasullah memilih mendirikan “negara Madinah (Piagam Madinan) dan “memilih negara” Bangsa dan tidak memilih negara muslim (khilafah). Dengan merangkul berbagai masyarakat diluar agama Islam.

Piagam Madinah adalah wujud dari “pertemuan” berbagai suku bangsa dalam satu bangsa. Piagama Madinah-lah yang kemudian menempatkan “keadilan” diatas segala-galanya.

Banyak kisah tentang tanah, tentang pencurian, tentang hukum yang harus ditegakkan tanpa melihat latar belakangnya. Para pelaku yang kemudian “salah” harus dihukum. Tanpa pandang bulu. Sebuah keteladanan dari Nabi yang selalu menginspirasi saya. Termasuk juga bercerita kepada teman-teman Walhi Papua.

Saya juga bercerita bagaimana “gereja” adalah tempat-tempat perlindungan dimasa orde baru. Tempat yang paling aman ditengah ketakutan hotel-hotel ataupun tempat pertemuan enggan mengadakan kegiatan. Inspirasi ini juga saya sampaikan sebagai bentuk respek rasa kemanusiaan yang masih terasa di Papua.

Dengan rasa itulah maka “saya tidak yakin” terhadap pembunuhan saudara-saudara saya di Wamena, Papua. Rasa dan keyakinan itulah yang kemudian menggerakkan saya.

Ditengah informasi simpang siur, teman-teman nasional yang masih sibuk issu nasional, ditambah bumbu provokasi hendak membenturkan issu ras, saya kemudian memberanikan diri. Mencari informasi sebenarnya.

Alhamdulilah. Jawaban dari ujung WA group memberikan kabar yang baik. Kalimat “Konflik yang mengorbankan jatuhnya korban jiwa dan pengungsi belum dapat dipastikan sebabnya. Namun yang pasti tidak ada rasa benci dan dendam antara papua non. Diduga ini ada pihak yang memanfaatkan situasi”

Kalimat “Namun yang pasti tidak ada rasa benci dan dendam antara papua non” adalah kabar. Seperti oase ditengah gurun pasir.

Ditambah berbagai peristiwa seperti “seorang mama Manu” yang menyelamatkan warga pendatang di Honai. Atau Edison Elopere yang memasang “pagar betis’ untuk menyelamatkan 200-an orang dirumahnya. Atau 250 orang yang kemudian diselamatkan di gereja. Dijaga oleh kawan-kawan Papua. Seharian. Hingga pihak keamanan kemudian menjemputnya. Tempat yang “diejek” oleh tokoh agama yang berkoar-koar di mimbar Mesjid.

Apakah teman-teman Papua yang berlatar belakang agama Nasrani kemudian “bertanya. Agama kamu apa “.

Tidak !!!. Mereka menyelamatkan manusia. Tanpa membedakaan. Karena hakekatnya “nyawa manusia” dan kemanusiaan diatas segala-segalanya. Meminggirkan perbedaan atas nama apapun.

Sehingga tidak salah kemudian dalam peristiwa-peristiwa penting, orang berhati mulia selalu hadir. Dan itu ada disekitar kita.

Rasa kemanusiaan kemudian menempatkan manusia Papua seperti yang kukenal. Perkenalan, persentuhan tetap menempatkan rasa kemanusiaan.

Peristiwa Wamena kemudian membangkitkan kesadaran. Bagaimana saya kemudian melihat. Disaat bersamaan, isu ini semakin tenggelam. Kalah dengan hiruk pikuk isu nasional.

Namun disaat bersamaan, peristiwa ini juga mengajarkan kepada saya. Tidak ada konflik horizontal sebagaimana sering didengung-dengungkan oleh berbagai kalangan.

Kalimat seperti “Namun yang pasti tidak ada rasa benci dan dendam antara papua non” terjawab dengan sikap melindungi seperti manusia berhati mulia seperti Mama Manu, Edison Elopere atau “tempat gereja’ yang melindungi 250 orang.

Rasa kemanusiaan adalah rasa yang paling tinggi. Dan saya selalu bergandengan tangan sebagai manusia Indonesia melihat Papua.

Terima kasih kawan-kawan Papua. Terima kasih kawan-kawan Walhi Papua.

Sambutlah salam hangat dariku. Sampaikan Terima kasih kepada Mama Manu, Edison Elopere, Romo di Gereja ataupun siapapun yang telah “menyelamatkan” saudara-saudara se Indonesia. Sampaikan salam hangat. Dari Sumatera. Kami mengabarkan.

Cerita ini terus kututurkan. Agar kelak generasi kami terus merawat kemanusiaan. Diatas segala-segalanya.