09 Oktober 2019

opini musri nauli : Problema Gambut di Jambi



Kebakaran massif di Jambi sejak 1997 hingga sekarang menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat. Tahun 2015, selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra satelit, terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya tampung”, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan “scientific” dan pengetahuan lokal masyarakat memandang lingkungan hidup.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.

25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel.

Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.

Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.

Kebakaran dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan mengganggu hubungan regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura.

Entah mengapa tahun 2019 kebakaran kembali berulang. Ditempat yang sama dan mengakibatkan jumlah korban yang terus bertambah. Data dari Dinkes menyebutkan hingga September 2019, jumlah korban ISPA sudah mencapai 64.147 orang. Angka mengerikan dibandingkan tahun 2015.

Disatu sisi, Polda Jambi sudah menyatakan 12 perusahan yang menyebabkan kebakaran. Sedangkan menurut KLHK, 7 perusahaan telah disegel. 6 adalah perusahaan yang terletak digambut. Perusahaan yang terbakar kembali setelah tahun 2015.

Lalu dimana problema kebakaran 2019. Apakah pemberian izin digambut yang kemudian menyebabkan kebakaran yang menjadi persoalan ?

Tanggungjawab perusahaan yang beraktivitas diareal gambut merupakan konsekwensi dari “pemegang izin’. Sebagai perusahaan yang bersedia beraktivitas digambut, maka selain pengelolaan yang harus tunduk dengan mekanisme yang telah diatur didalam regulasi negara, juga harus mempunyai peralatan yang mendukung. Baik peralatan pencegahan maupun peralatan penanggulangan. Mekanisme inilah yang menjadi materi didalam pemeriksaan dalam proses hukum.

Sedari awal, problema kebakaran terutama diareal gambut adalah problema pemberian izin diareal gambut. Regulasi yang masih membolehkan pengelolaan gambut (PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Permen LHK No. 15,16,17/2017, Permentan No. 5/2018) tidak mampu mencegah kebakaran yang terus berulang. Lalu apakah regulasi yang tidak dipatuhi ? Atau memang ada problema pengelolaan gambut yang masih menyisakan persoalan ?

UU No. 32/2009 sudah mewanti-wanti. Gambut kemudian diletakkan sebagai kawasan unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik maka gambut haruslah diperlakukan “khusus”. Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan entitas lain seperti “minyak, panas bumi, sawit, hutan”.  

Turunan UU No. 32/2009 seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 kemudian menegaskan. Pasal 9 ayat (2) kemudian menyebutkan fungsi gambut. Yakni fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014 kemudian menyebutkan kategori gambut lindung seperti kedalaman 3 meter lebih, terdapat plasma nutfah spesifik dan spesies yang dilindungi.

Pertanyaannya ? Apakah gambut dikedalamanan 3 meter merupakan areal yang aman untuk dikelola ?

Dalam praktek ditengah masyarakat, kawasan gambut sering disebutkan seperti  “Tanah redang” (Riau), Soak, danau, lopak, Payo, Payo dalam, Bento, hutan hantu pirau (Jambi), Rawang Hidup, lebak Lebung, Lebak Berayun (Sumsel), Tanah Sapo, Gente (Kalbar), Pakung pahewa, Tanah Petak, Petak Sahep (Kalteng), Tanah Ireng, Tanah Item (Kalsel), Tanah Begoyang (Papua)”.

Tempat-tempat yang disebutkan malah tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi). Baik untuk pertanian. Apalagi untuk perkebunan. Daerah ini hanya digunakan untuk mengambil ikan dan air bersih (akses). Sehingga dipastikan dari dulu memang daerah itu adalah dilarang untuk dikelola. Daerah ini kemudian dikenal sebagai “gambut dalam”. Secara scientific ditempatkan sebagai kawasan lindung.

Lalu berapa kedalaman areal gambut lindung berdasarkan praktek ditengah masyarakat ?
Di Dayak dikenal proses mengetahui tekstur tanah. Dengan menancapkan Mandau dan kemudian menariknya, maka akan ditentukan apakah daerah itu boleh dibuka atau tidak boleh. Apabila diujung Mandau terdapat tanah, maka tanah boleh digunakan. Sedangkan apabila diujung Mandau ternyata tidak ditemukan tanah, maka daerah itu kemudian tidak boleh diganggu.

Didaerah  Kumpeh ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Didaerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim). Kesemuanya bermakna sebagai fungsi lindung. Dan rata-rata dikedalaman cuma 0,5 meter.

Didaerah lindung gambut inilah, areal hanya digunakan untuk mengambil ikan, air dan pandan serta purun.

Lalu ketika areal yang dilindungi masyarakat kemudian dianggap sebagai daerah tidak bertuan atau Tanah liar (woeste grond). Sehingga ketika tanah, hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong maka kemudian negara memberikan izin. Baik kepada perkebunan di areal APL maupun kepada pemegang konsensi kehutanan (kawasan hutan). Pemberian massif sejak 2006.

Pemegang konsesi kemudian membangun kanal utama (kanal primer). Mengeringkan dan kemudian menanam sawit. Sehingga daerah-daerah kemudian kering. Dan mudah terbakar.

Lalu ketika kebakaran 2006, 2010, 2011, 2012, 2013, 2015 dan 2019 dan terus berulang, maka menimbulkan persoalan dalam tataran empiris.  

Di Desa Sungai Aur nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang kerangi, Pematang Kayo, pematang duren, Sungai Batanghari, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam  adalah tempat-tempat menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.

Kebakaran 2015 kemudian menghanguskan seluruh areal yang semula ditanami padi dan kemudian telah menjadi tanaman sawit. Padahal Desa Sungai Aur terkenal sebagai “lumbung padi” sebelum kedatangan sawit tahun 2000-an.

Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang dikenal tempat seperti Hutan Hijau, Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).

Sehingga dipastikan, data-data empiris yang berangkat dari praktek pengetahuan di Desa sekitar gambut yang meletakkan sebagai daerah budidaya gambut oleh regulasi negara yang kemudian terbakar adalah daerah lindung yang harus dikembalikan fungsinya. Fungsi lindung. Sehingga harus dikembalikan dibasahi (restorasi gambut).

Sehingga penetapan fungsi lindung dikategorikan kedalamanan 3 meter terbantahkan dengan kebakaran massif yang terus berulang hingga tahun 2019.

Justru regulasi menetapkan kedalaman 3 meter harus sesuai dengan tipologi gambut. Berdasarkan kebakaran yang terus berulang dan praktek pengetahuan ditengah masyarakat justru regulasi harus menetapkan kedalamanan gambut 0,5 meter. Praktek yang sudah dikenal masyarakat gambut turun temurun.

Bukankah pasal Pasal 11 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) PP No. 57/2016 sudah mengamanatkan perubahan fungsi. Fungsi budidaya dikembalikan ke fungsi lindung. Menteri kemudian dapat melakukannya (Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 57/2016).

Sedangkan pemegang izin berkewajiban untuk memulihkan. Mandat yang tegas dinyatakan didalam Pasal 30 ayat 1 PP No. 57 Tahun 2016 junto Pasal 31 A PP No. 57/2016.