02 Oktober 2019

opini musri nauli : Si Adik Membunuh Kakaknya




Judul diatas adalah perumpamaan atau gambaran terhadap “kekuatan” dari citizen journalist”. Kekuatan maya yang kemudian mulai “menyerang” kekuatan nyata. Senyata kenyataan yang mulai menghinggapinya.

Entah mengapa, tiba-tiba tuduhan kepada “citizen journalist” memantik kekesalan. Entah apa kekesalan mengapa begitu “dahsyatnya” Citizen journalist. Sehingga tuduhan mengerdikan bahkan “menghina” akal sehat mulai mewacana akhir-akhir ini.

Terlepas dari polemik Capim KPK, RUU KPK tuduhan kepada pendukung RUU KPK mulai menggeser “area medan pertarungan”. Semula ketika pertarungan penolakan dan pendukung hanyalah sekedar “pertarungan gagasan”. Terlepas apakah setuju atau menolak, gagasan yang disampaikan dapat dipahami kedua belah pihak. Klir.

Namun ketika “area medan pertarungan” mulai menyasar kepada pendukung atau penolaknya, tiba-tiba saya saya tersentak. Apakah begitu berbahayanya para pendukung atau penolaknya ? Sehingga harus “dibunuh” dengan ujaran-ujaran yang jauh dari esensi.

Tiba-tiba pula saya tersentak. Apakah para penuduh tidak mau mengakui kekuatan dari “daya sihir” dari citizen journalist. Apakah mereka tidak mau berkaca berbagai peristiwa yang justru menampakkan “kekuatan tersembunyi” dari citizen journalist.

Dengan akses informasi yang tidak terbatas, public kemudian disuguhi berbagai issu yang bersilewaran. Entah dari pendukung ataupun penolak RUU KPK. Lalu apakah ketika public mulai menyasar dan kemudian hanya tertarik kepada berita-berita yang obyektif, berimbang dan lebih jujur, kemudian sebagian kalangan kemudian uring-uringan ? Sayapun sungguh tidka mengerti.

Masih ingat ketika berbagai media massa konvensional kemudian “gulung tikar”. Ambruk dengan “Serbuan” dunia online yang cepatnya “sedetik” dan berhamburan dimedia maya.

Masih ingat ketika penulis “kompasiana” mampu membongkar tulisan “plagiat” seorang tersohor, dari kampus terkenal dan sedang memegang jabatan penting kemudian tersungkur.

Dengan detail, sang penulis mampu “membongkar” tulisannya tahun 2013 dan membuktikan tulisan yang dibuat oleh sang pesohor adalah tulisannya (plagiat). Tulisan yang dimuat di Kompas kemudian “dihajar” di kompasiana. Website keroyokan dari Kompas. Adik kandung dari kompas.  

Bukankah masih ingat ketika musibah kecelakaan keluarga artis di jalan tol. Lihatlah bagaimana sang penulis menguraikan menggunakan berbagai teori-teori fisika hingga menghitung angina. Sehingga tulisannya kemudian menginspirasi penyidikan menyeluruh terhadap peristiwa tersebut.

Lalu mengapa ketika public yang rela menyediakan waktunya untuk menulis kemudian “dihajar” dengan tuduhan nista ? Apakah begitu berarti tulisan dari citizen journalist sehingga akan mengganggu “kenyamanan” dari penuduh ?

Mari kita belajar dari dunia maya.

Media massa (produk jurnalistisk) harus tetap dirawat. Kekuatan media massa terletak dari “kepercayaan”. Barulah kemudian kekuatan lain seperti “investigasi (investigasi jurnalistik)” dan “kejujuran”.

Lalu mengapa media massa yang sekaliber nasional kemudian mulai ditinggalkan publik. Apakah ajakan dari publik yang ramai-ramai “uninstall” kemudian berdampak terhadap “trusth” dari public ? Apakah kemudian mengakibatkan “turunnya” saham atau hilangnya” pengunjung klik” ? Mengapa peristiwa itu terjadi ?

Sebagai “perawat” nalar, saya tidak mau “terjebak” dari “pertarungan” antara kelompok yang menolak RUU-KPK ataupun kelompok RUU-KPK. Saya mempunyai sikap dan pandangan sendiri.

Kedua kelompok “menghabiskan” energi hanya “bertengkar” cuma bahas RUU-KPK. Dan itu mulai membosankan. Selain juga memuakkan.

Ditengah “asap” yang mulai mendera, kedua kelompok sama sekali tidak menunjukkan kepeduliannya. Bagaimana muaknya saya ketika Jokowi datang ke Riau kemudian dijadikan meme.

Atau kemudian menyebutkan persoalan asap akan mengganggu pelantikan.

Benar-benar sadis. Yang dipikirkannya cuma “pertarungan” RUU KPK.

Atau ketika saudara-saudara istri saya yang “terjebak” (alhamudlilah. Sudah kembali), di Wamena, kedua kelompok kemudian masih “bertengkar’ dengan tema yang sama.

Sejak itu kemudian saya menjadi sadar. Kedua kelompok “merebutkan” pepesan kosong. Cuma ekspreksi didunia maya.

Sehingga tidak salah kemudian, suara-suara nurani menggumpal. Menghajar. Dan kemudian meninggalkan musuh sambil melongo. Persis “tendangan pisang” David Becham.

Sehingga media massa sekaliber nasional kemudian uring-uringan dan kemudian menuduh “citizen journalist’ sebagai sampah, saya hanya tersenyum.

Persaingan semakin ketat. Dunia semakin sempit. Kejujuran dan menjauhi dari prasangka apalagi menuduh dengna menista justru akan membunuhmu.

Dan si adik tidak ragu membunuh kakaknya.


“Dunia sudah berubah, brow”. Menulislah dengan jujur. Kelak “pengunjung klikmu” akan datang lagi.