06 Juli 2010

opini musri nauli : Mempersoalkan Bungkus daripada isi (Cover majalan Tempo dalam diskursus Hukum



Rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan mendiskusikan perseteruan “TEMPO” vis POLRI. Liputan majalah Tempo yang bergambar karikatur seorang manusia mengenakan seragam memegang tali kekang mirip celengan babi. Polri merasa berkeberatan dan tersinggung dengan gambar karikatur dalam sampul majalah berita mingguan Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. 

Yang membuat Polri tersinggung, konon, adalah gambar celengan yang divisualkan dengan gambar babi. 

Dan kita menunggu bagaimana kelanjutannya Cover Majalah Tempo yang memuat gambar celengan babi menimbulkan perdebatan diranah hukum. 
Dalam diskursus hukum, delik pers masih tercantum didalam KUHP. Bagi beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu terminologi hukum. Karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan yang disebut delik pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang difinisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. 

Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum. 

 DELIK PERS Pendapat ahli hukum yang lain mengatakan, bahwa dalam hukum pidana ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana pers (delik pers) adalah bagian dari tindak pidana yang mempergunakan alat cetak. 

Menurut Van Hattum, yang dikutip ahli Hukum Pidana Indonesia Prof Oemar Seno Adji, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers yaitu: (1) Ia harus dilakukan dengan barang cetakan (2) Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan. (3) Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan Dalam suatu negara yang berpaham demokrasi, maka perlindungan hak asasi manusia harus mendapat tempat dalam konstitusi.

Tanpa perlindungan konstitusional, maka perlindungan hak asasi manusia menjadi tidak berguna. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, sejak gerakan reformasi yang kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto pada 1998, telah muncul kehendak kuat dari seluruh rakyat untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 tersebut. 

Keinginan itu kemudian terwujud didalam Pasal 28F UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II, Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. Dengan menggunakan paradigma perubahan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan pers, maka diskursus delik pers kemudian bergeser dari KUHP dengan menggunakan produk hukum yang baru yang lebih dikenal dengan paradigma pers. 

Dimana selain produk hukum yang mengatur tentang pers maka lebih dikenal sebagai paradigma pers.

 Namun paradigma menggunakan pendekatan KUHP didalam menyelesaikan perselisihan dengan pers kemudian memakan korban. Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo menerbitkan berita di Majalah Tempo edisi 3/9 Maret 2003 telah menampilkan berita dengan judul “Ada Tomy di Tenabang” yang isinya bahwa pengusha Tomy Winata telah mendapat proyek renovasi Pasar Tanah Abang senilai Rp. 53 milyar, yang proposalnya sudah diajukan ke Pemda DKI Jakarta sebelum kebakaran di Pasar Tanah Abang terjadi. Tomy Winata dalam pemberitaan tersebut juga telah membantah keterkaitannya dengan rencana renovasi Pasar Tanah Abang. 

Dugaan bahwa pasar grosir itu dibakar juga dibantah oleh Kepala Pasar Tanah Abang. Kemudian Teguh Santosa, Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online pada 2 Februari 2006 telah menayangkan satu dari dua belas gambar karikatur Nabi Muhammad yang telah dimuat di Harian Jyllands-Posten. 

Oleh pengelola situs Rakyat Merdeka Online gambar karikatur tersebut telah dimodifikasi untuk mengurangi efek vulgar dari gambar karikatur aslinya. 

Gambar tersebut juga dimaksudkan oleh situs berita Rakyat Merdeka Online agar masyarakat Indonesia mendapatkan gambaran tentang penghinaan yang dilakukan Jyllands-Posten dan untuk kelengkapan berita. Selanjutnya Drs Supratman, Redaktur Ekesekutif Harian Rakyat Merdeka, pada 6 Januari 2003, 8 Januari 2003, 30 Januari 2003, dan 4 Februari 2003 telah menerbitkan judul, isi, dan gambar dari pemberitaan di Harian Rakyat Merdeka tentang kebijakan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI waktu itu) yang menyulitkan rakyat. 

Berbagai judul dan gambar berita adalah “Mulut Mega Bau Solar”, dimuat di halam 1 pada 6 Januari 2003 dan juga memuat gambar karikatur seorang wanita yang sedang menyedot solar dengan tulisan “Mbak hel..ep Me!” “Mega Lintah Darat”, dimuat di halaman 1 pada 8 Januari 2003. “Mega Lebih Ganas Dari Sumanto”, dimuat di halaman 1 pada 30 Januari 2003 dan juga memuat gambar Donal Bebek yang dibawahnya ada tulisan Megawati “Mega Cuma Sekelas Bupati”, dimuat di halaman 16 pada 4 Februari 2003 dan juga memuat gambar karikatur seorang wanita berpakaian Bali yang sedang menari dengan memegang dua buah kipas. 

Tindakan yang dilakukan Supratman ini dinilai telah menghina Presiden Megawati Soekarnoputri Dalam penerapan delik pers di Indonesia, Majelis Hakim dalam berbagai tingkat pengadilan menggunakan berbagai penafsiran yang berbeda tentang penerapan UU Pers sebagai lex speciali. 

Meski demikian patut di juga diapresiasi berbagai putusan dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang meneguhkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis dari peraturan perundang-undangan yang lain. KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Dalam pengamatan penulis, didalam perseteruan Tempo vs Polri dalam cover majalah gambar celengan babi menimbulkan persoalan dalam pemikiran (mindset) penegak hukum. 

Masih digunakannya KUHP didalam persoalan pers dan pernyataan Mabes Polri yang akan mempersoalkan hukum baik pidana maupun perdata merupakan persoalan yang pelik. Penggunaan KUHP didalam persoalan pers selain masih melambangkan watak dan paradigma KUHP (berwatak kolonial) juga cenderung ketinggalan zaman didalam menyelesaikan perbedaan pandangan. 

Menjadi ironi, terhadap sebuah karya jurnalistik (pikiran) yang seharusnya tidak bisa diadili kemudian para pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi pidana (fisik) Didalam lapangan hukum pidana, pada prinsipnya yang bisa diminta pertanggungjawaban pidana adalah orang (naturalij recht). Walaupun banyak sekali peraturan diluar KUHP yang telah mengakui pertanggungjawaban badan hukum (recht person), namun hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Didalam rumusan KUHP, secara tegas adanya kata-kata “barangsiapa” (Hij die). 

Jelaslah, hanya manusia yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan normatif ini berlaku secara universal. Didalam berbagai sistem hukum baik hukum yang dianut di Indonesia, sistem Eropa Kontinental maupun didalam sistem hukum anglo saxon, pemidanaan haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. 

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader). Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban haruslah dikenakan kepada para pelaku. 

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. (terjemahan bebas, DARI TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN MENUJU KEPADA TIADA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA KESALAHAN, Chairul Huda, 2006) 

 Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. 

Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. 

Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. 

Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. 

Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem. 

 Selain itu, yang menjadi keprihatinan penulis adalah, APAKAH PIKIRAN DAPAT DIADILI ? apabila pertanyaan ini tidak mampu kita jawab, maka kita mengulangi kesalahan sejarah sebagaimana sejarah terhadap “SOCRATES”. 

Didalam literatur Filsafat, Socrates diadili karena memberikan ajaran yang dianggap “bertentangan” dengan para pemimpin di Athena (Yunani). Socrates memang diadili dan dihukum oleh 551 oarang anggota Dewan Kota dianggap menyebarkan ajaran yang dianggap “membahayakan” pemikiran anak muda. 

 Atau kita masih ingat tentang pelajaran ilmu bumi di zaman millenium abad 20. Seorang intelektual Copernicus menyatakan bahwa Bumi yang mengelilingi Matahari, sebuah konsepsi berfikir yang bertentangan dengan konsepsi ajaran gereja yang menyatakan bahwa Matahari yang mengelilingi Bumi.

 Copernicus kemudian dihukum mati, namun ternyata teorinya terbukti benar dan sampai sekarang, kita menerima teori yang disampaikan Copernicus. 

 Atau, apakah kita masih ingat pelajaran sejarah terhadap pemimpin-pemimpin pendiri bangsa (founding Father). Keyakinan Soekarno yang yakin bahwa Indonesia merdeka kemudian dituduh dan disidangkan di Landraad Bandung yang kemudian didalam nota pembelaannya yang terkenal “INDONESIA MENGGUGAT”. 

Soekarno memang diadili dan dihukum, namun sejarahpun mencatat bahwa keyakinan Soekarno ternyata benar, Indonesia Merdeka dan Soekarno terbukti menjadi Presiden Pertama. 

 Atau masih ingat pidato Tjipto Mangunkusumo didalam persidangan terhadap dirinya. APABILA TUAN-TUAN MENGADILI SAYA PADA HARI INI DAN TUAN-TUAN YAKIN SAYA AKAN TAKLUK, MAKA TUAN-TUAN SALAH, KARENA YANG TUAN-TUAN ADILI ADALAH BADAN SAYA, RAGA SAYA, NAMUN TUAN-TUAN TIDAK DAPAT MENGADILI KEYAKINAN SAYA. INDONESIA AKAN MERDEKA. 

 Di Jaman Soeharto, hukum ternyata juga digunakan untuk para pengkritik kebijakan negara. Sri Bintang Pamungkas, Muctar Pakpahan, Budiman Soejatmiko, Yenny Rosa Damayanti, A. M. Fatwa adalah sebagian kecil nama-nama yang pernah berurusan dengan negara karena perbedaan pandangan dengan Soeharto. 

Sejarahpun kemudian mencatat, bahwa “kelakuan” Soeharto terbukti berdampak langsung kepada kita. Beras mahal, minyak mahal, dan hampir seluruh sektor seperti kesehatan, pendidikan tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia. 

Reformasipun ternyata memberikan catatan seperti kebebasan berserika, berkumpul, Polri keluar dari ABRI, anggaran transparan, Presiden dipilih secara langsung, parlemen semakin kuat, kampus otonom, dan berbagai prestasi reformasi yang dirasakan oleh rakyat. 

Mahkamah Konstitusipun mencabut pasal 154, 155 KUHP yang ternyata terbukti lebih banyak digunakan terhadap kepentingan negara terhadap para pengkritiknya. 

 Dari perspektif Hukum Positif, apabila kita perhatikan pasal yang dituduhkan kepada para pelaku, maka pihak berwenang menggunakan pasal KUHP. 

Namun penerapan pasal ini tentu saja tidak memenuhi tujuan pemidanaan. Pemidanaan hanya dapat dikenakan terhadap badan (lihat pasal 10 KUHP). 

Apabila pemidanaan terhadap badan diperlakukan terhadap para pelaku, apakah badan yang kemudian didera akan merobah pikiran ? Dari ranah ini kemudian penulis menyatakan, bahwa hukum tidak mampu menjangkau pikiran seseorang. 

 Untuk mendukung pernyataan penulis, dapat kita lihat pendapat Saner yang berpendapat bahwa untuk mengidentifikasi tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana, yaitu, onrecht, schuld dan strafe

 Sementara itu, Parker menyebut ketiga masalah tersebut, Crime, responbility, dan punishment. 

Sedangkan Soedarto merumuskan, yaitu persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. SISTEM HUKUM ANGLO SAXON 

 Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Bahkan Kadish dan Paulsen menafsirkan, “suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa maksud kehendak jahat”. 

Dengan demikian, dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri seseorang tersebut. 

Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan pertanggungjawban pembuat tindak pidana. 

Dari dari sisi ini, penggunaan mens rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem. 

 Dari paparan yang telah disampaikan tersebut, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. 

Dengan demikian, terhadap penerapan pasal KUHP terhadap pelaku tidak dapat dibuktikan didalam sistem hukum Eropa Kontintental maupun sistem Anglo Saxon. Dengan demikian, terhadap penerapan pasal yang dikenakan terhadap pelaku tidak dapat dibuktikan didalam sistem hukum Eropa Kontintental maupun sistem Anglo Saxon. 

Dari ranah ini kemudian penulis menyatakan, bahwa hukum tidak mampu menjangkau pikiran seseorang. Dengan demikian, terhadap penerapan pasal KUHP terhadap pelaku tidak dapat dibuktikan didalam sistem hukum Eropa Kontintental maupun sistem Anglo Saxon. 

 Di tengah silang pendapat penerapan hukum pers dan kekurangpahaman aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus hukum terkait pemberitaan pers, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam keterbatasannya telah menjalankan wewenang sebagai lembaga peradilan tertinggi yang memiliki komitmen bagi upaya penegakan kemerdekaan pers di tanah air. 

Situasi seperti ini harus dijaga dan diperluas kepada aparat penegak hukum yang lain sehingga upaya penegakan hukum (law enforcement) tidak harus bertabrakan dengan kehendak rakyat dalam menjaga dan merawat kemerdekaan pers dan telah dijamin Konsitusi 1945. 

 Sehingga perdebatan cover Sampul Majalah Tempo bukan berkaitan mengenai cover yang menjadi persoalan. Tapi pembuktian, apakah yang disampaikan mengenai “rekening gendut” itu tidak melanggar hukum. 

 Dengan demikian, maka sudah tepat apabila adanya pernyataan pihak kepolisian lebih sibuk mengurusi “bungkus” daripada isi.