Tampilkan postingan dengan label Belajar dari kampung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Belajar dari kampung. Tampilkan semua postingan

16 Oktober 2025

opini musri nauli : 45 Tahun Walhi - Usia matang untuk agenda Lingkungan Hidup

 


Memasuki usia 45 Tahun usia Walhi, tidak dapat dipungkiri, usia yang matang. Usia yang telah memasuki proses yang panjang. 


Hampir setiap tahun, saya menyempat menghadiri Ulang Tahun Walhi di Jakarta. Entah memang pas ada agenda sembari mampir di Jakarta, atau memang sengaja menghadiri acara Ultah. 


Sebagai usia yang telah melewati proses yang panjang, tidak dapat dipungkiri, Walhi salah satu Organisasi nasional yang paling tertib menjalankan agenda-agenda Organisasi. Agenda rutin seperti PNLH, KNLH, Raker, PDLH, KDLH tetap dijadwalkan sesuai jadwal. Relatif bisa dilaksanakan. Sehingga sebagai Organisasi yang Sehat, agenda Organisasi tetap dilaksanakan. Sebuah proses yang tidak Mudah dilaksanakan sebagai Organisasi besar. 


Dengan anggota mencapai 500-an, 29 Walhi daerah, Tanpa Sadar Walhi telah membangun sistem yang kuat dan kokoh. Berhasil melewati tantangan zaman. Berhasil melewati berbagai krisis. 


Isu panas menjelang pemilihan Direktur menjadi “kawah candradimuka” sekaligus mendidik seluruh anggota agar tertib didalam melakukan proses elektoral. Proses demokrasi yang matang dan rutin berhasil menempatkan Walhi sebagai rumah demokrasi yang baik. Saya menggunakan istilah “miniatur Indonesia”. 


Berbagai isu miring, tuduhan tanpa dasar berhasil dilewati dengan baik. Sepanas apapun proses elektoral, namun ketika usai agenda pemilihan, kembali rukun, guyub bahkan bisa bercengkrama didepan kopi panas. Itu proses demokrasi yang Sehat. 


Secara pribadi, saya sering berhadapan pilihan politik di proses elektoral di Walhi. Namun ketika usai prosesnya, kembali “kongkow-kongkow” sembari tertawa melihat kegelian suasana pemilihan. Itulah demokrasi. Pilihan ditentukan sebagai manifestasi aspirasi, namun suasana kekeluargan tidak mungkin putus. Karena proses jaringan, proses kekeluargaan yang telah terbangun tidak mungkin berakhir disebabkan adanya pilihan berbeda. 


Sebagaimana kata-kata bijak dari leluhur, melewati usia 40-an dan memasuki usia 45, yang harus dilahirkan adalah pengetahuan di Walhi yang telah teruji melewati zaman. Sembari menelorkan berbagai pengetahuan juga harus menjadi tanggungjawab melahirkan pemikiran. Terutama berkaitan dengan lingkungan hidup, Alam sekitarnya dan peradaban Nusantara. 


Berbeda dengan mainstream yang menjadi pembicaran di berbagai kalangan, sebagai Organisasi mengikrarkan Lingkungan hidup di Indonesia, maka Sudah saatnya “refleksi” maupun “standing position” Organisasi menjadi “penting” untuk dirumuskan kembali. 



Saya merumuskan dengan memulai makna-makna simbolik dari Lingkungan hidup Indonesia. Secara Harfiah, dokumen tentang lingkungan hidup mudah ditelusuri dari berbagai regulasi. Namun apabila ditelisik lebih dalam, memahami lingkungan hidup Indonesia adalah “lingkungan hidup “di” Indonesia”. Dapat juga ditelusuri “lingkungan hidup” orang “Indonesia”. 


Memahami “lingkungan hidup di Indonesia” atau “lingkungan hidup di Indonesia”, maka membicarakan lingkungan hidup di Indonesia atau lingkungan hidup di Indonesia harus diletakkan konteksnya “bagaimana lingkungan hidup di Indonesia”. Atau “bagaimana lingkungan hidup” orang Indonesia. 


Tentu saja memahaminya kemudian dengan cara kembali ke tingkat tapak. Atau kembali ke basis. Bagaimana sih “masyarakat Indonesia” melihat, memperlakukan ataupun menempatkan lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. 


Saya selalu mengajak berangkat dari cara pandang masyarakat itu sendiri. Bagaimana masyarakat yang tinggal di hutan Melihat dan memandang hutan itu sendiri. 


Tentu saja “Kajian” yang berpijakkan dari masyarakat itu sendiri. Sebagai”irisan” penting justru cara pandang yang melihat lingkungan hidup selalu berangkat dari cara pandang “akademis” maupun literatur yang tersedia. Bahkan tidak tanggung-tanggung. Literatur barat yang selalu disebutkan “pemikiran barat”. Sebuah konsepsi maupun cara pandang yang justru bertentangan dengan alam pemikiran masyarakat itu sendiri. 


Alangkah baiknya untuk memahami bagaimana pandangan masyarakat nusantara, justru harus tetap berangkat dari cara pandang masyarakat itu sendiri. Merekalah yang paling paham dan justru menempatkan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan ekosisistem yang utuh. Sekali lagi ekosistem yang utuh. 


Bukan menempatkan alam sekitarnya sebagai asset. Sebuah pertentangan yang justru tidak menempatkan pengetahuan masyarakat itu sendiri. 


Kegelisan saya, baik melihat regulasi, literatur maupun cara pandang yang bertentangan dengan masyarakat itu sendiri, sekali lagi “tidak menempatkan” pengetahuan masyarakat sebagai “basis argumentasi” untuk menjawab berbagai keresahan saya. 


Sebagai Organisasi “lingkungan hidup di Indonesia” maupun Organisasi lingkugan hidup orang Indonesia”, Walhi harus kembali ke standing awal. Menempatkan pengetahuan masyarakat sebagai “sumber pengetahuan” yang harus diusung. Menempatkan pengetahuan masyarakat sebagai basis standing melihat lingkungan hidup di Indonesia. 


Apabila Walhi tidak memainkan posisi dan sumber pengetahuan sebagai “awal” melihat persoalan lingkungan hidup di Indonesia, maka posisnya hanya “speaker” maupun “amplifier” dari regulasi maupun literatur yang bersilewaran yang menghiasi wacana publik. 


Dalam rentang melewati usia 45 tahun, tidak salah kemudian harapan senantiasa saya lekatkan di bendera Walhi. 


Sebelum menutup ide awal di usia 45 tahun, alangkah baik dan bijaknya ingatan selalu saya sampaikan. 


Yang paling tahu lingkungan hidup adalah masyarakat itu sendiri. Dan janganlah sesekali “orang luar” yang paling tentang lingkungan hidup dari masyarakat itu sendiri. 


Happy Birthday”. Tetapkah berkibar panji-panji bendera Walhi.  









   

01 Agustus 2025

Pelajaran dari Tiga Gempa Global dan Kekuatan Kearifan Lokal Nusantara

 


Bumi adalah planet yang hidup dan terus bergerak, dan di setiap pergerakannya, ia mengajarkan kita pelajaran berharga. Tragedi Tsunami Aceh 2004, Gempa Jepang 2011, dan Gempa Rusia 2025 adalah tiga peristiwa global yang membentuk narasi tentang respons kemanusiaan terhadap bencana. Dari setiap gempa, kita menemukan evolusi dalam kesiapsiagaan, yang menunjukkan bagaimana trauma masa lalu menjadi pemicu reformasi, dan bagaimana kearifan kuno tetap relevan di era modern.


Tsunami Aceh 2004 - Tragedi yang Mengubah Dunia


Pada 26 Desember 2004 dunia dikejutkan oleh gempa laut yang memicu tsunami terparah dalam sejarah modern. Dengan magnitudo antara M 9,1–9,3, guncangan dahsyat ini membuka mata dunia terhadap kerentanan global terhadap bencana alam. Tsunami ini menerjang 14 negara, menewaskan lebih dari 227.000 orang, dan meninggalkan luka mendalam. Namun, di tengah kehancuran, ada secercah harapan. Di Pulau Simeulue, Aceh, kearifan lokal yang diwariskan melalui tradisi lisan dan nyanyian anak-anak, yang dikenal sebagai "Smong," menjadi penyelamat. Kisah ini mengajarkan bahwa jika ada gempa kuat dan air laut surut, masyarakat harus segera lari ke tempat yang lebih tinggi. Berkat Smong, sekitar 75% populasi Simeulue berhasil selamat. Tragedi ini menjadi pemicu lahirnya sistem peringatan dini tsunami global, sebuah upaya kolektif untuk memastikan bencana serupa tidak terulang.


Gempa Jepang 2011- Batasan Teknologi di Hadapan Alam


Tujuh tahun setelah Aceh, Jepang, negara yang paling siap menghadapi gempa, menghadapi tantangan serupa. Gempa Tohoku pada tahun 2011, dengan magnitudo M 9,1, memicu gelombang tsunami setinggi 40 meter yang meratakan kota-kota pesisir. Meskipun Jepang memiliki sistem peringatan dini yang sangat canggih dan infrastruktur tahan gempa, skala bencana yang ekstrem menunjukkan bahwa teknologi memiliki batas. Tragedi ini menewaskan hampir 20.000 orang dan memaksa Jepang untuk mengevaluasi ulang standar keamanan nuklir mereka. Gempa ini menjadi pengingat bahwa tidak peduli seberapa maju teknologi kita, alam selalu memiliki cara untuk mengejutkan. Bencana ini memicu reformasi yang lebih mendalam, mendorong pengembangan sistem peringatan dini yang mampu memberikan peringatan dalam hitungan detik.


Gempa Rusia 2025 -  Bukti Pembelajaran Global


Pada tahun 2025, Gempa Kamchatka di Rusia dengan magnitudo M 8,8 memberikan perspektif baru. Meskipun guncangannya kuat, dampaknya relatif terbatas. Kerusakan di Rusia minimal, dan tsunami yang dihasilkan tidak menyebabkan bencana massal. Peristiwa ini menjadi bukti keberhasilan pembelajaran kolektif yang terjadi pasca-2004 dan 2011. Sistem peringatan tsunami global berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan dini ke seluruh wilayah Pasifik, termasuk Jepang dan Indonesia. Gempa ini menunjukkan bahwa integrasi teknologi modern dengan kesadaran masyarakat yang tinggi dapat menjadi kunci untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan.


Sementara itu Data Gempa di Indonesia menunjukkan  Kerentanan yang Terus Berulang

Indonesia, yang berada di "Cincin Api Pasifik," adalah salah satu negara yang paling rawan gempa. 


Dengan catatan sejarah bencana yang menunjukkan pola kerentanan yang kompleks. Berikut adalah analisis dari beberapa gempa terbesar dan paling merusak yang pernah terjadi, yang menegaskan perlunya sinergi antara kesiapsiagaan dan infrastruktur yang kuat. 


Tsunami Aceh (2004). Gempa yang memicu tsunami mematikan dan menjadi titik balik dalam kesadaran bencana global. Analisis menunjukkan bahwa dampak masif tidak hanya disebabkan oleh kekuatan gempa, tetapi juga oleh kurangnya sistem peringatan dini dan pemahaman masyarakat tentang tanda-tanda alam.


Gempa Nias (2005). Berkekuatan M 8,6, gempa ini tidak hanya menewaskan sekitar 1.300 orang, tetapi juga menyebabkan pergeseran pulau secara signifikan. Peristiwa ini menyoroti bagaimana gempa berkekuatan besar dapat secara fundamental mengubah geografi suatu wilayah dan memerlukan respons yang terkoordinasi untuk pemulihan jangka panjang.


Gempa Yogyakarta (2006): Gempa dangkal M 6,3 ini menghancurkan puluhan ribu bangunan dan menewaskan lebih dari 6.200 orang. Analisis mendalam menunjukkan bahwa kerusakan parah disebabkan oleh kedalaman gempa yang dangkal, yang membuat guncangan terasa sangat kuat di permukaan, serta kerentanan bangunan yang tidak tahan gempa di kawasan padat penduduk.


Gempa dan Tsunami Palu (2018): Gempa berkekuatan M 7,4 ini memicu tsunami dan fenomena likuefaksi yang dahsyat. Analisis dari peristiwa ini menekankan bahwa dampak bencana sering kali merupakan kombinasi dari beberapa faktor, yaitu gempa, tsunami, dan likuefaksi. Ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya mitigasi bencana yang mencakup berbagai ancaman simultan.


Gempa Cianjur (2022): Gempa dangkal M 5,6 ini menunjukkan bahwa gempa dengan magnitudo yang relatif kecil pun dapat mematikan jika pusatnya berada dekat dengan permukaan dan terjadi di kawasan padat penduduk dengan bangunan yang tidak tahan gempa. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa tidak hanya gempa berkekuatan besar yang patut diwaspadai, tetapi juga gempa dangkal yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan.


Pengetahuan Nusantara


Masyarakat Nusantara yang hidup di wilayah yang rentan ini, telah mengembangkan pengetahuan mitigasi bencana yang kaya dan mendalam, yang diwariskan secara turun-temurun melalui kearifan lokal. Pengetahuan ini bukan sekadar takhayul, melainkan hasil pengamatan empiris selama ribuan tahun.

Kearifan Lokal dan Sistem Peringatan Dini Alami seperti Kisah "Smong" di Simeulue, Aceh, adalah contoh nyata pengetahuan masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun.


Ada istilah "Smong" untuk gempa besar yang diikuti gelombang laut (tsunami). Tradisi lisan dan nyanyian anak-anak tentang Smong telah menyelamatkan 75% populasi di pulau tersebut dari bencana tsunami Aceh 2004. Pengetahuan ini mengajarkan warga untuk secara naluriah mengungsi ke tempat yang lebih tinggi setelah merasakan guncangan gempa yang kuat


Nenek moyang masyarakat Nusantara juga memiliki "sistem peringatan dini" alami yang peka, seperti perubahan perilaku hewan (ikan melompat, burung gelisah, hewan melata keluar sarang) yang dipercaya sebagai sinyal akan adanya gempa.


Arsitektur Tradisional Tahan Gempa. Masyarakat Nusantara telah mengembangkan arsitektur tradisional yang dirancang untuk beradaptasi dengan guncangan gempa, bukan melawannya. Contohnya adalah rumah Toraja, rumah Sasak, dan rumah Nias yang dibangun dengan material ringan seperti kayu dan bambu, serta memiliki fondasi yang lentur untuk meredam guncangan. Desain ini memungkinkan bangunan bergoyang mengikuti gempa tanpa roboh.


Nilai Spiritual dan Keseimbangan Alam. Di beberapa daerah, gempa dipandang sebagai cara alam untuk menyeimbangkan diri. Pengetahuan ini mengajarkan pentingnya hidup selaras dengan alam, tidak mengeksploitasinya, dan menjaga harmoni antara manusia dan lingkungannya.



Sinergi Masa Depan


Pelajaran dari ketiga gempa global ini sangat jelas: tidak ada solusi tunggal untuk menghadapi kekuatan alam. Gempa Aceh mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan lokal. Gempa Jepang menunjukkan batas teknologi modern, dan Gempa Rusia membuktikan bahwa sinergi antara keduanya adalah kunci.


Data gempa di Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan terparah sering kali disebabkan oleh kombinasi gempa yang kuat dan kerentanan infrastruktur. Hal ini menekankan pentingnya pendekatan holistik yang menggabungkan mitigasi struktural dengan kesadaran masyarakat.


Masa depan kesiapsiagaan bencana terletak pada integrasi harmonis antara teknologi modern dan kearifan lokal. Sistem peringatan dini yang canggih dapat memberikan peringatan dalam hitungan detik, tetapi kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang diturunkan melalui kearifan lokal adalah yang mendorong tindakan. Dengan menggabungkan kedua kekuatan ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih tangguh, di mana setiap individu memiliki pemahaman tentang risiko dan alat untuk merespons dengan bijak. Inilah warisan terbesar dari setiap gempa: pelajaran untuk menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk masa depan yang tidak pasti.


Advokat. Tinggal di Jambi 


10 November 2024

opini musri nauli : Pengetahuan Mangrove Masyarakat Papua

 

Mendapatkan kesempatan untuk ke Kabupaten Kepulauan Yapen (Yapen) dan Kabupaten Sarmi Provinsi Papua adalah kesempatan mewah. Selain jauhnya dari tanah Sumatera, Pulau Papua yang terletak di Timur Indonesia juga berkesempatan mendengarkan pengetahuan masyarakat tentang mangrove di Papua. 


Selain cara pandang yang cukup kaya, pengetahuan tentang mangrove yang begitu beragam juga dapat menggambarkan sudut pandang mangrove dari pendekatan pengetahuan masyarakat Papua itu sendiri. 


Keunikan Papua ditandai dengan UU Otonomi Khusus Papua dan dilanjutkan dengan Perda Provinsi Papua Tentang Kampung Adat. Bahkan di Yapen diatur dengan SK Bupati Yapen yang mengatur sebutan Kecamatan menjadi Distrik dan Desa menjadi Kampung. 


Istilah Mangrove kurang dikenal di Papua. Kawasan mangrove lebih sering disebutkan dengan istilah Lolaro. 


Sedangkan di Kampung Armopa (Sarmi) lebih dikenal dengan istilah ton. 



Di Kampung Moiwani, wilayah mangrove terletak di Worari, Aronuwuapir, Manimuna, Parawai wope, Kamboyara, Rerawawimp, Rawayar, Apari, Konamkomeram, Kidawi, Yomeini, Mararema, Naniparu, Karimpupa, Kamtewoyap, Wondairawin, Parunden, Denanom, Woredua, Parira, Raworen dan Rarawini. 


Di Kampung Kairawi, wilayah mangrove terletak di  Ariwoa, Kali Marion, Andiwar, Kali Woramaria, Adoriwawa, Marorawini, Wainayaya dan Iyaworoip


Di Kampung Wawori wilayah mangrov terletak di  Rairoi, Randuayaipi, Umbefi, Insaneroi dan Jebaung.  Dan di Kampung Papuma, wilayah mangrov terletak di Wawui, Bayumi, Boiremong, Dewai, Pioroi, Manauram dan Kawauwi. 


Keempat Kampung Moiwani, Kampung Kairawi, Kampung Wawori dan Kampung Papuma termasuk kedalam Kabupaten Yapen. 


Sedangkan didalam Kampung Amorpa Kabupaten Sarmi, wilayah mangrov terletak di Jerai, Wenkes, Taipa, Wensran, Dandapoway, Waisnam, Brindaway dan Wenyeti. 


Istilah tanaman mangrov juga dikenal di Kampung Amorpa. Seperti Ton penyebutan tanaman Bakau, Bover untuk  tanaman Pidada, Rapoh untuk  tanaman Nyirih, Kekdar untuk  tanaman Lindur, Bren untuk  tanaman Nipah dan Saref untuk tanaman Api-Api. Sehingga tanaman bakau atau tanaman mangrov mempunyai penamaan yang Sudah lama dikenal di masyarakat di Papua. 


Sedangkan di Serui (Nama ibukota kabupaten Yapen), istlah tanaman mangrov disebut Parai/laki perempuan, Panyami, Arouw, Awumboy dan Parung. Hanya di Kampung Kairawi (Kepulauan Ambai), istilah Parai disebut muan atau parang wawing. 


Di Papua terhadap pemangku adat dikenal istilah Ondoafi. Sedangkan di Armopa (Sarmi), pemangku adat disebut Saugwenta Temto. 


Kekuatan pemangku adat (Saugwenta Temto/Ondoafi) begitu berpengaruhi. pemangku adat (Saugwenta Temto/Ondoafi) membawahi suku dan marga. Istilah Marga sering juga disebut keret. 

30 Juli 2024

opini musri nauli : Pembukaan Lahan Tanpa Bakar

 

Yang penting dari sebuah masalah bukanlah solusi. 

Tapi kekuatan yang kita peroleh didalam menemukan solusinya. (Seneca)



Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Jambi Al Haris (Al Haris) menyampaikan program Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) mendapatkan hasil yang memuaskan. Pernyataan ini disampaikan saat Panen Perdana Kelapa Sawit pada Pembukaan Lahan Tanpa Membakar di Desa Baru, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. 


Lebih lanjut dijelaskan “panen perdana kelapa sawit dari program PLTB yang kami tanam dari 30 bulan yang lalu, sudah bisa dipanen dan buahnya bagus sekali. Ini pertanda baik bagi warga Desa Baru ini. Oleh karena itu kita perlu mengelola perkebunan ini dengan baik supaya hasilnya bagus dan unggul.

17 Juli 2024

Muhibah ke Desa-desa Gambut, 15-16 Juli 2024

Perjalanan menyusuri Desa-desa gambut selalu memberikan adrenalin. 

Dan Memastikan masyarakat gambut tetap berdaulat didalam mengelola gambut. 


Di Desa Rantau Panjang saya menemukan istilah yang menarik. Ngerot. Di Desa Londerang saya menemukan kata "tanah lembut", tanah serabut, "rebo", "genangan aek", Lebung, Lopak dan Payo sebagai nama tempat. Nama-nama tempat itulah yang kemudian dikenal sebagai gambut. 


Sedangkan di Desa Koto Kandis Dendang saya menemukan kerumitan istilah Koto atau Kota


Pertemuan di desa selalu diiringi dengan pertemuan dengan kader-kader Paralegal. Untuk melihat bagaimana kiprah paralegal ditengah masyarakat. 



opini musri nauli : Ngerot

 


Didalam pembicaraan ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal istilah Ngerot. Kata ngerot sama sekali tidak dikenal didalam kamus besar bahasa Indonesia. 


Kata ngerot diucapkan dengan simbol “nge” - R’ot”. Dialek huruf R diucapkan dengan dialek khas Jambi. Sehingga huruf r diucapkan dengan lafal pengucapan khas Jambi. 


Istilah “ngerot” dapat dipadankan dengan perbuatan mengambil dengan cara irisan sedikit demi sedikit. 


Istilah ngerot kemudian didalam persoalan tanah adalah tetangga tanah mengambil tanah dengan cara “menggeser” batas tanah. Termasuk juga menggeser/memindahkan tanaman yang menjadi batas tanah antara satu pemilik dengan pemilik lain.