Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

15 September 2025

opini musri nauli : Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas:

 

Pada 11 September 2025, terjadi insiden di mana jurnalis dihalangi saat meliput kunjungan kerja (kunker) Komisi III DPR RI di Polda Jambi. 


Insiden ini terjadi saat para jurnalis berusaha merekam wawancara antara anggota DPR RI dan Kapolda Jambi. Anggota polisi tersebut secara paksa mendorong dan memblokir kamera mereka. 


Menanggapi insiden ini, Kapolda Jambi, Irjen Pol. Albertus Rachmad Wibowo, meminta maaf dan berjanji akan menindaklanjuti kejadian tersebut. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara Polri dan media serta akan mengedukasi anggotanya tentang peran media massa.


Didalam konstitusi UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, hak mendapatkan informasi adalah esensi yang termasuk kedalam Hak Asasi Manusia. Dan dijamin oleh konstitusi. 


Didalam  Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.


Hak atas informasi tidak berdiri sendiri; ia menjadi pendukung utama bagi pelaksanaan hak-hak lain, seperti kebebasan berpendapat dan partisipasi publik. Pendapat yang berkualitas dan kritis hanya bisa dibentuk jika seseorang memiliki akses terhadap informasi yang valid. 


Warga negara tidak dapat berpartisipasi secara efektif dalam proses pemerintahan, seperti pengawasan kebijakan atau pemilihan umum, tanpa adanya informasi yang transparan dari pemerintah. Pers berfungsi sebagai jembatan utama untuk menyalurkan informasi ini kepada publik.


Tindakan menghalangi jurnalis saat meliput merupakan pelanggaran serius terhadap

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 


Pasal 4 UU Pers secara eksplisit menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara, dan menghalangi jurnalis dalam menjalankan tugasnya dapat dijerat dengan hukuman pidana. 


Kejadian ini juga menunjukkan adanya ketidakpahaman atau kurangnya edukasi di kalangan aparat kepolisian mengenai peran media. Jurnalis bertugas untuk menyampaikan informasi kepada publik, dan liputan mengenai kunker DPR RI adalah bagian dari fungsi kontrol sosial yang diemban oleh media.


Sudah saatnya menempatkan pers sebagai pilar demokrasi dengan menghormati pers menjalankan tugasnya harus dilekatkan didalam praktek di Tengah lapangan. 


Untuk kedepan maka diperlukan berbagai upaya . 1. Edukasi dan Pelatihan Rutin: Pihak kepolisian perlu mengadakan edukasi dan pelatihan rutin bagi anggotanya mengenai peran penting media dan hak-hak jurnalis sesuai dengan UUD 1945 dan UU Pers.


2. Peningkatan Sinergi dan Komunikasi: Sinergi antara Polri dan media sangatlah krusial. Peningkatan komunikasi dan pemahaman bersama antara kedua pihak dapat mencegah kejadian serupa di masa depan dan membangun kepercayaan publik.


3. Standar Operasional Prosedur (SOP) yang Jelas: Dibutuhkan SOP yang jelas dan mudah dipahami mengenai interaksi antara aparat keamanan dan jurnalis, terutama saat meliput acara publik untuk menghindari salah paham dan insiden di lapangan


4. Sanksi Tegas: Komitmen pimpinan Polri harus dibarengi dengan tindakan nyata seperti pemberian sanksi tegas bagi anggota yang melanggar hak-hak jurnalis untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas di masa depan.





09 September 2025

opini musri nauli : Korupsi dan Orang Baik

 


Kasus korupsi yang melibatkan "orang baik" sering kali menimbulkan keterkejutan publik karena fenomena ini melibatkan berbagai bias kognitif dan sesat pikir. Dokumen "Sesat Pikir Kasus Korupsi" menganalisis fenomena ini dan bentuk-bentuk penyangkalan korupsi yang umum terjadi.


Mengapa Publik Terkejut Ketika "Orang Baik" Korupsi?


Keterkejutan publik saat figur yang dikenal sebagai "orang baik" terjerat korupsi adalah fenomena kompleks yang berakar pada disonansi kognitif dan sesat pikir. Publik terkejut karena sudah memiliki stigma positif terhadap individu tersebut, sehingga fakta bahwa mereka melakukan tindakan amoral seperti korupsi sangat bertentangan dengan pandangan yang sudah terbentuk. Stigma "orang baik" ini biasanya melekat pada individu yang memiliki integritas, rekam jejak bersih, dan citra publik yang positif, seperti aktivis atau pemimpin agama.


Keterkejutan ini dapat dianalisis melalui beberapa sudut pandang seperti  Disonansi Kognitif, Persepsi dan Stigma,  Sistem Kepercayaan dan Fundamental Attribution Error

04 September 2025

Demonstrasi: Hak dan Waktu


Demonstrasi atau unjuk rasa adalah salah satu bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang fundamental dalam negara demokrasi. 

Di Indonesia hak ini dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Namun pelaksanaannya diatur oleh undang-undang untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. 

Demonstrasi adalah Hak yang Dijamin Konstitusi

Demonstrasi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Hak ini secara eksplisit dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Ketentuan ini menegaskan kebebasan berekspresi termasuk melalui unjuk rasa, adalah hak asasi yang tak dapat dicabut.

Jaminan konstitusional ini berfungsi sebagai landasan hukum utama yang memastikan negara tidak dapat secara sewenang-wenang melarang atau membatasi unjuk rasa. 

Tujuan dari jaminan ini adalah untuk membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk mengkritik kebijakan pemerintah, menyuarakan aspirasi, dan berpartisipasi dalam proses politik.

Cara Membaca Protes: Ketika Negara Gagal Memahami Suara Rakyat


Akhir-akhir ini berbagai demonstrasi di Indonesia sering kali berakhir dengan kericuhan. Pemandangan ini seolah menjadi bukti negara gagal memahami esensi dari sebuah protes. 


Alih-alih mendengarkan suara yang disampaikan, protes-protes tersebut justru sering kali berakhir dengan tuduhan, tindakan represif, dan bahkan kekerasan. 


Kejengkelan yang Telah Lama Terpendam 


Kericuhan yang terjadi bukanlah fenomena instan, melainkan akumulasi dari kejengkelan rakyat yang telah lama terpendam.


Pemicunya beragam, terutama yang berkaitan dengan beban ekonomi dan kesejahteraan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang sulit bagi masyarakat. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, misalnya, masih menjadi isu besar. Pada Februari 2024, BPS mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai sekitar 7.200.000 orang. Angka ini menggambarkan betapa sulitnya mencari pekerjaan, sementara peluang kerja terasa semakin sempit, terutama bagi angkatan muda. 


Sikap Elit yang Jauh dari Empati 


Di tengah kesulitan ini, masyarakat berharap adanya empati dan simpati dari para petinggi negara. Namun, respons yang ditunjukkan justru sering kali sebaliknya. 


Banyak pejabat yang justru menunjukkan sikap angkuh, seolah tidak tersentuh oleh penderitaan rakyat. 


Pernyataan-pernyataan yang meremehkan, bahkan menyalahkan, menambah luka di hati masyarakat. Alih-alih menjadi pelayan publik, mereka justru terlihat sebagai penguasa yang sibuk menjaga citra dan kekuasaan. 


Sikap abai ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang justru dianggap "meneror" rakyat kecil. Contoh yang paling nyata adalah praktik "dipalak" dengan dalih royalti musik, di mana seniman atau musisi jalanan diancam atau diminta membayar sejumlah uang secara sepihak. 

01 September 2025

opini musri nauli : Kritik terhadap Prioritas Negara

 



Slogan "hapus live tiktok bisa. Tapi hapus situs judol tidak bisa" adalah bentuk kritik sosial yang tajam, bukan sekadar perbandingan sederhana.


Slogan ini menggunakan sarkasme untuk menyoroti apa yang dianggap sebagai ketidakmampuan atau ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah yang lebih besar dan merusak.


Pemberantasan yang mudah: "Hapus live TikTok bisa" mengacu pada cepatnya respons terhadap isu-isu yang dianggap sebagai masalah moral atau sosial yang relatif kecil dan mudah dijangkau, seperti konten di platform media sosial.


Pemberantasan yang sulit: "Tapi hapus situs judol tidak bisa" menyoroti kegagalan atau lambatnya penanganan terhadap kejahatan terorganisir yang jauh lebih merusak secara finansial dan sosial, yaitu judi online.

30 Agustus 2025

opini musri nauli : Amok Massa

 


Aksi massa, yang seringkali dipicu oleh kemarahan dan ketidakpuasan, dapat dianalisis menggunakan teori amok massa.


Konsep ini, yang secara etimologis berasal dari bahasa Melayu "amok", menggambarkan fenomena dimana individu atau kelompok tiba-tiba kehilangan kendali diri dan melakukan tindakan kekerasan secara acak.


Dalam konteks sosial yang lebih luas, amok massa dapat dipahami sebagai ledakan kemarahan kolektif yang dipicu oleh akumulasi frustrasi dan ketidakadilan.


Aspek Teori Amok Massa

21 Agustus 2025

opini musri nauli : Korupsi di Pilar Moral Bangsa

 


Ironi di Sektor Pendidikan dan Agama Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang mengakar dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Yang lebih memilukan, fenomena ini kini merambah ke dua sektor yang seharusnya menjadi penjaga moral dan etika bangsa: pendidikan dan agama. 


Kedua sektor ini seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keadilan, namun sayangnya, juga tak luput dari praktik-praktik tercela. 

Sebuah ironi yang memilukan. 


Pendidikan yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter generasi muda, serta agama, yang seharusnya menjadi pedoman moral dan spiritual, justru menjadi ladang subur bagi tindak pidana korupsi. 

19 Agustus 2025

opini musri nauli : Zakat vs. Pajak




Akhir-akhir ini tema Zakat dan Pajak menghiasi wacana publik. Wacana ini kemudian memantik polemik. 


Seorang tokoh nasional yang mempunyai jabatan strategis entah mengapa mempunyai pemikiran menyamakan zakat dan pajak. 


Wacana ini kemudian menarik. Mari kita telusuri untuk melihat esensi dari zakat dan pajak. 


Meskipun sama-sama merupakan pungutan wajib yang bertujuan untuk kesejahteraan, zakat dan pajak memiliki perbedaan mendasar yang signifikan. Zakat adalah perintah agama.  Sementara pajak adalah kewajiban sipil. Memahami perbedaan keduanya penting untuk melihat peran masing-masing dalam kehidupan sosial dan ekonomi.


Istilah zakat dikenal di kalangan umat islam. Zakat bersumber dari wahyu Ilahi (Al-Qur'an dan As-Sunnah), menjadikannya sebuah ibadah yang memiliki dimensi spiritual. Kewajiban zakat bersifat tetap, abadi dan tidak bisa diubah oleh otoritas manusia. Dengan demikian maka zakat tidak diwajibkan diluar dari penduduk beragama Islam. 

16 Agustus 2025

opini musri nauli : Malam Kemerdekaan: Api dan Logika di Jalan Pegangsaan Timur

 

15 Agustus 1945. Di sebuah ruangan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, nyala lampu minyak yang berkedip-kedip menyoroti wajah-wajah tegang para tokoh bangsa. Malam itu, berita menyerahnya Jepang telah menyebar, menciptakan kekosongan kekuasaan yang terasa mencekik. Pertanyaan krusial itu mengambang di udara: kapan dan bagaimana kita merdeka?

Sutan Sjahrir, seorang idealis muda dengan pandangan tajam, berdiri. Matanya memancarkan api revolusi. 

"Bung Karno, Bung Hatta! Kita tidak punya waktu! Jepang sudah menyerah. Kekuasaan itu kosong! Jika kita tidak segera mengisi kekosongan ini dengan proklamasi, Sekutu akan datang dan kemerdekaan kita akan dianggap sebagai hadiah dari mereka! Sejarah tidak akan mengampuni kita jika kita menyia-nyiakan momen ini!" suaranya bergetar penuh semangat.

Agus Salim, dengan janggut putihnya yang agung, menjawab dengan tenang. Ia mewakili kearifan yang mendalam. 

"Sjahrir, keberanian memang penting, tetapi kita tidak boleh gegabah. Kemerdekaan ini harus diakui dunia. Jika kita terburu-buru, kita akan terlihat seperti anak kecil yang mencuri mainan. Kita harus menggunakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai alat diplomasi, sebagai jembatan untuk pengakuan internasional. Tanpa itu, kita hanya akan memancing perlawanan dari Sekutu yang lebih besar."

Kemudian, Tan Malaka bangkit. Ia adalah perwakilan dari golongan radikal. Dengan pandangan mata yang tajam dan sikap yang militan, ia menatap langsung ke arah Soekarno. 

opini musri nauli : Melindungi Data Pribadi di Era Digital


Di tengah berbagai isu yang meresahkan masyarakat mulai dari pemblokiran rekening, kenaikan pajak yang memberatkan, hingga sengketa tanah dengan negara satu topik lain muncul ke permukaan dan memicu kekhawatiran.  Privasi dan kedaulatan data pribadi penduduk Indonesia. 


Ditengah gencarnya digitalisasi, ada pertanyaan besar yang menggantung di benak banyak orang. Apakah data pribadi kita bisa diserahkan begitu saja kepada negara lain?


Entah dengan dalih kerja sama perdagangan atau alasan strategis lainnya, isu transfer data pribadi ini sangat sensitif. Data pribadi bukan lagi sekadar nama atau alamat.  ia adalah representasi digital dari identitas, kebiasaan, dan bahkan aset finansial kita. 

15 Agustus 2025

opini musri nauli : Sesat Pikir Negara "Tanah Milik" dan Warisan Kolonial Belanda


Akhir-akhir ini, pernyataan pejabat penting yang dengan entengnya menyebutkan "Emang mbahmu bisa bikin tanah?". Pernyataan ini muncul saat ia menjelaskan negara memiliki hak untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan.


Cara pandang ini sekaligus menempatkan “semua tanah adalah milik negara”. Konsep yang masih hinggap di Kepala para pengambil keputusan di negara ini. 


Konsep bahwa "semua tanah adalah milik negara" merupakan sebuah kesesatan berpikir (logical fallacy) yang masih sering ditemui di Indonesia. Pemikiran ini sering kali berasal dari warisan kolonial Belanda, terutama doktrin Domeinverklaring.


Domeinverklaring (Pernyataan Domein) adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Intinya doktrin ini menyatakan semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pihak lain (baik individu maupun badan hukum) dianggap sebagai "tanah domein" atau milik negara. 

14 Agustus 2025

opini musri nauli : Kekuatan Rakyat - "Vox Populi, Vox Dei" di Rembang, Rempang dan Pati”

Pekikan "Vox populi, vox dei"—suara rakyat adalah suara Tuhan—bukanlah sekadar ungkapan kosong. Di Indonesia ungkapan ini menjadi landasan kuat dalam demokrasi. Menunjukkan aspirasi dan kehendak rakyat memiliki bobot moral dan politik yang tak terbantahkan. 


Namun dalam praktiknya ungkapan ini sering kali diuji dan ditantang. Tiga kasus di berbagai daerah—Rembang, Rempang dan Pati—menjadi contoh nyata bagaimana kekuatan rakyat berhadapan dengan kebijakan pemerintah dan kepentingan korporasi.


Rembang -  Pertarungan Keadilan Lingkungan

12 Agustus 2025

opini musri nauli : Ketika Negara Paranoid Mengintai Rakyat

 


Hubungan antara negara dan warga negara seharusnya didasari oleh kepercayaan. Negara melindungi, rakyat mematuhi. 

Namun apa yang terjadi ketika kepercayaan itu luntur dan digantikan oleh ketakutan? Dinamika hubungan itu berubah. Negara mulai melihat setiap tindakan rakyatnya sebagai potensi ancaman, dan di situlah lahir negara paranoid.


Fenomena "negara mengintai rakyatnya" bukanlah fiksi, melainkan manifestasi dari kecurigaan yang merasuk. Dari hobi sepele hingga aset pribadi, setiap inci hidup kita menjadi subjek pengawasan. 


Ketika Bendera One Piece Menjadi Simbol Pemberontakan

11 Agustus 2025

opini musri nauli : Jambi dan Kebakaran 2025

 


Tidak dapat dipungkiri, setiap pertengahan tahun, Jambi dan beberapa Provinsi dadanya berdegub kencang. Menghadapi “teror” kebakaran yang terus berulang. 


Berdasarkan data Sistem Pemantauan Karhutla (SiPongi) milik Kementerian Kehutanan, data input sampai dengan Juni 2025 memperlihatkan indikasi areal hutan dan lahan yang terbakar mencapai 8.594 hektare.


Di Provinsi Riau, Berdasarkan pantauan titik panas/ hotspot satelit Terra Aqua Nasa dari Sistem Pemantauan Karhutla Kementerian Kehutanan – SiPongi periode 1 Januari s.d. 20 Juli 2025, di wilayah Riau tercatat dengan hotspot tertinggi yaitu Kabupaten Rokan Hilir (1.767 titik), Rokan Hulu (1.114 titik) dan Dumai (333 titik). Hotspot secara keseluruhan di wilayah Riau sejumlah 4.449 titik, dengan hotspot tertinggi pada bulan Juli sejumlah 3.031 titik.

Polemik Para Bapak Bangsa: Harga Diri Merdeka

 


 
Jakarta, 1945. Suasana ibu kota yang baru merdeka masih dipenuhi dentuman meriam dan gema pekik "Merdeka atau Mati!". Namun, di sebuah ruangan yang sederhana, lima tokoh bangsa duduk berhadapan. Bukan meriam yang mereka siapkan, melainkan peluru kata-kata. Bukan penjajah yang mereka lawan, melainkan pandangan-pandangan mereka sendiri tentang bagaimana Indonesia yang baru lahir ini harus melangkah. Topik perdebatan mereka adalah tentang harga diri bangsa yang merdeka, tidak sudi tunduk pada asing, apalagi pada komprador–istilah yang mengacu pada antek-antek asing.

Soekarno: "Genta dan Gema Revolusi"

09 Agustus 2025

opini musri nauli : Perdebatan Kemerdekaan: Mengapa Rakyat Masih Miskin?

 


Di sebuah ruang tamu sederhana di Jakarta, aroma kopi tubruk menyeruak. Hari itu, bukan hanya kemerdekaan yang dirayakan, tapi juga kenyataan pahit yang dihadapi. Lima tokoh bangsa duduk melingkar: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Agus Salim. Mata mereka menatap satu sama lain, penuh gairah dan keprihatinan. Topik utama mereka adalah satu: mengapa rakyat Indonesia, setelah merdeka, masih hidup dalam kemiskinan?



Soekarno: Sang Orator yang Berapi-api


Soekarno membuka perdebatan dengan suara menggelegar, penuh semangat yang membakar. "Saudara-saudaraku! Kemerdekaan ini adalah jembatan emas! Jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur!" Ucapnya sambil mengepalkan tangan. "Kita harus membangun jiwa rakyat! Mentalitas bangsa harus kita ubah! Dari mental inlander, menjadi mental pejuang! Kita harus bersatu, bergotong royong, untuk mencapai cita-cita ini! Kekayaan alam kita melimpah, dan itu adalah modal utama kita!"


08 Agustus 2025

opini musri nauli : Debat Para Bapak Bangsa (imajer) : Ketika Kekayaan Negeri di Ujung Tanduk

 


Di sebuah ruang tamu sederhana di Menteng, Jakarta, enam tokoh bangsa berkumpul. Aroma kopi pekat dan asap rokok kretek mengepul, membaur dengan suasana tegang yang memicu perdebatan sengit. Tema yang mereka diskusikan begitu genting: pemimpin yang menumpuk kekayaan pribadi, menyerahkan sumber daya alam kepada asing, dan membiarkan rakyat tetap miskin.


Soekarno: Api Revolusi yang Tak Padam


Soekarno, dengan karisma dan suaranya yang menggelegar, memulai perdebatan. Ia berdiri tegak, tangannya menunjuk ke depan seolah sedang berpidato di hadapan ribuan rakyat.


"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air! Betapa malangnya nasib kita! Setelah berabad-abad dijajah, kita kini menghadapi musuh yang tak kalah bahayanya: komprador! Para pemimpin yang menjual kekayaan ibu pertiwi demi pundi-pundi pribadi. Mereka biarkan bangsa asing mengeruk minyak, timah, dan emas kita, sementara rakyat kita tetap kelaparan. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat Proklamasi 17 Agustus 1945! Ini adalah musuh dari marhaenisme yang kita perjuangkan! Saya katakan, jika kita membiarkan ini terjadi, maka revolusi kita hanyalah omong kosong! Kita harus bangkit, kita harus berani menasionalisasi semua aset asing! Kita harus menempatkan rakyat, kaum marhaen, sebagai pemilik sejati kekayaan bangsa ini!"


Mohammad Hatta: Rasionalitas dan Keadilan Ekonomi