25 Oktober 2019

opini musri nauli : 5 Tahun Perjalanan Perhutanan Sosial




 

"Terlepas dari pro dan kontra dikalangan organisasi masyarakat sipil,
Walhi memandang kebijakan ini penting untuk diintervensi
dengan memperhatikan tiga urgensitas.
(Nur Hidayati, Direktur Walhi, 2019)


Ketika diumumkan “incumbent” Siti Nurbaya Bakar (SN) untuk menduduki jabatan sama, terbayang “agenda” utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perhutanan Sosial (PS), Kebakaran dan Gambut.

Namun tema PS yang menarik perhatian. Tema yang kemudian menjadi “slogan” dengan mencanangkan 12,7 juta ha (RPJMN 2015-2020). Slogan ini kemudian digunakan Jokowi hingga menjelang detik-detik kampanye terakhirnya. Jokowi.

Tema seperti “kebakaran” dan Gambut kemudian tenggelam. Bergantian dengan issu “pasang plang” dan gugatan yang diterima berbagai tempat. Termasuk juga surat edaran yang bikin heboh.

Suka atau tidak suka, tema PS adalah salah satu tema yang paling menjadi perhatian para aktivis dan organisasi masyarakat sipil 5 tahun terakhir. Agenda yang paling banyak “dikerumuni” dan paling banyak juga dijadikan program-program jangka panjang.

Sebagai “orang perencana pembangunan”, SN berhasil mendesaian “roadmap” PS. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan PS kemudian bermuara P.83. Sebuah terobosan dan menjadi kodifikasi dari berbagai peraturan lainnya seperti Hutan Desa (Permenhut No. P.89/2014), Hutan Tanaman Rakyat (Permenhut No. P.55/2011), Hutan kemasyarakatan (Permenhut No. P.88/2014) dan Kemitraaan Kehutanan (Permenhut No. P.39/2013).

Tema PS mengingatkan penulis 10 tahun yang lalu. Ketika Walhi Jambi bersama-sama dengan organisasi lingkungan Hidup di Jambi mengusung “hutan Desa”, sebagai “jawaban taktis” menyelamatkan 49 ribu ha didataran tinggi Jambi.

Polemik mulai bermunculan. Jaringan nasional “mencibir” keputusan Walhi Jambi. Bahkan kalimat-kalimat “menyakitkan” masih terngiang ditelinga sampai sekarang.