Sebagai
anak remaja, Bujang dan Gadis (dibaca
Lelaki dan perempuan belum berkeluarga) mempunyai tatanan social sehingga
tidak boleh menimbulkan fitnah. Fitnah “bujang dan gadis” tidak sesuai dengan
seloko “salah liek. salah pandang’. Bahasa ini kemudian disebut sebagai
“sumbang” dalam pergaulan. Sumbang ini kemudian dapat menjadi “sumbang
penglihatan, sumbang pendengaran”, sumbang kedudukan.
Di
tengah masyarakat di Jambi, aturan terhadap “bujang dan gadis” sangat ketat.
Dari kesusilaan terhadap “bujang dan gadis” dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
Salah
Bujang dan gadis
Salah
bujang dan gadis dikategorikan apabila “Salah bujang dan gadis”. Sang Bujang dan
gadis.
Sang
Bujang telah membawa sang Gadis kerumah orang tua sang Bujang. “Sumbang” kata
tetangga.
“Sudah melompat tanah yang sepenggal.
Melompat kato yang selangkah adalah Seloko untuk menentukan kesalahan dari Sang Bujang dan gadis.
Sanksinya
“Kambing sekok. Beras 20. 2 kayu kain. Dan harus dikawini”.
Sang
Gadis “tidak dibenarkan” dibawa sang Bujang kerumahnya sebelum dilaksanakan
perkawinan.
Dengan
sistem perkawinan matrilineal, maka Sang lelaki yang yang harus kerumah sang
perempuan.
Prosesnya
cukup panjang. Dimulai dari “sisik siang”, “tunang”, duduk betunang”, mengantar
sirih, mengembang tando, mengantar serah, dan “betunak”.
Sehingga
tidak melewati proses menimbulkan “sumbang” (fitnah kepada keduanya), maka
kemudian dijatuhi sanksi adat. Keduanya harus dinikahkan untuk menghindarkan
fitnah kepada sang perempuan.
Bersalah
Bujang dengan Gadis
Sang
bujang dan sang perempuan. Melakukan perbuatan yang tidak sepantasnya di negeri
sehingga menimbulkan kehebohan.
Seloko
ini dapat dilihat “Tebulah beruas. Ubilah berisi”.
Sanksinya
“kambing sekok. beras 20. selemak-semanis-seasin-segaram. Kain 4 kayu”.
Mengenai
proses pernikahan sesuai dengan syariat agama. Sehingga sang lelaki harus
mengawinkan perempuan.
Salah
Bujang dan Gadis
Kesalahan
ini tidak sesuai dengan seloko “Duduk mengintai gelap. Tegak
mengintai sunyi[1]”
di Marga Sungai Tenang. Atau Di Marga Pelepat disebut seloko ”berunding tempat sepi. Duduk di tempat lain”[2].
Perginya kedua pasangan dan duduk di
tempat gelap merupakan pelanggaran di kampung. Sehingga keduanya kemudian
ditanya. Apakah hendak melanjutkan hubungan lebih jauha tau tidak. Apabila
hubungan hendak serius, maka perkawinan dapat dilangsungkan. Sedangkan apabila
sang perempuan tidak hendak melanjutkan hubungan serius, maka perkawinan tidak
bisa dilakukan.
Namun sanksi adat tetap dijatuhi ”kambing
sekok. Beras 20”. Namun apabila dirasakan cukup berat, maka denda ”kambing”
bisa digantikan 2 ekok ayam. Yang penting
”kakinya 4”. 4 kaki diibaratkan 2 ekor ayam pengganti satu kambing[3].
Bersalahnya Bujang. Gadis Dak mau
Cara ini dilakukan sang Bujang namun sang
Gadis tidak mau diperlakukan tidak sepantasnya.
Dengan cara yang dilakukan oleh Sang
Bujang, membuat sang gadis ”berteriak” atau membuat sang gadis menangis.
Sanksinya adalah ”kambing sekok. Beras 20. kain 2 kayu”. Dan Sang Gadis tidak boleh
dikawini oleh sang Bujang.
Salah Gadis. Bujang Dak Mau
Peristiwa ini mengingatkan kisah Nabi
Yusuf yang hendak digoda seorang wanita bernama ”Zulaikha”.
Dengan ketampanan Nabi Yusuf, seorang
perempuan menggoda Yusuf dan menutup pintu-pintu dengan berkata ”Marilah kesini
Yusuf[4]”.
Ketika Nabi Yusuf tidak mau menuruti
kehendak Zulaikha”, maka Zulaikha menyebarkan berita ”Nabi Yusuf menggodanya”.
Islam kemudian menerangkan peristiwa
dengan melihat peristiwa sebenarnya. Dengan melihat baju Nabi Yusuf yang koyak
di belakang, maka Zulaikhalah yang menggoda Nabi Yusuf.
Dalam peristiwa ini kemudian disebut
”gadis dihutang” dengan seloko ”pekik terpingkal. Tekejar telah”.
Sanksinya adalah ”kambing sekok. Beras
20”. Dan sang Gadis tidak boleh dikawini.
Melihat berbagai seloko untuk menentukan
kesalahan dalam kesusilaan, maka Hukum adat menempatkan perempuan begitu mulia.
Kehormatan perempuan yang dijaga adat untuk menghindarkan fitnah dan timbullah
syak wasangka kepada perempuan.
Bahkan hendak bertamupun, apabila tidak
ada lelaki, maka tidak dibenarkan masuk dan hanya berdiri di bawah panggung
rumah sembari menunggu lelaki datang untuk menyambut tamu. Seloko ini ditandai
dengan ” Sebaris bendul dimuko. Itu cio
jopakai. Sebaris bendul di tengah. Itu larang pantang”[5].
Begitu juga hendak mandi di Sungai. Selain
tempat yang terpisah antara lelaki dan perempuan, maka lelaki baru boleh turun
setelah harilah terang. Tidak dibenarkan ketika perempuan masih di sungai,
lelaki hendak ke sungai. ”Tepian nan
bepaga baso. Jamban nan bepandang mato”.
Rasa penghormatan dan menjaga kecantikan sang perempuan itu
ditunjukkan dengan seloko ”Cantiknyo
alang kepalang. Bak bidadari turun dari surgo. Mukonya bak bulan penuh. Pipih bagai pauh dilayang. Alis mata bak semut
beriring. Bibir tipis bak jeruk diiris. Katup mulut bak delima merekah. Rambut hitam bergelombang. Betisnya bagai jelipung tumbuh. Tumitnya bagai dusun tunggal. Hidungnya mancung bak bungkal bawang merah. Kulitnya kuning langsat. Pinggangnya ramping bak biola cino.