Tampilkan postingan dengan label seloko. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seloko. Tampilkan semua postingan

28 Oktober 2025

opini musri nauli : Kerbau dalam Adat Melayu Jambi: Simbol, Tugas, dan Prosesi

 


Kerbau memiliki peran dan makna simbolik yang signifikan dalam adat dan kebudayaan masyarakat Melayu Jambi, terutama yang terekam dalam Seloko (peribahasa adat). Hewan ini tidak hanya berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga melambangkan kekuatan, kemakmuran, dan merupakan bagian penting dari berbagai prosesi adat.

Makna dan Simbolisme Kerbau


​Dalam konteks adat Melayu Jambi, kerbau melambangkan beberapa hal esensial. Kerbau disebut dalam seloko yang menggambarkan pemimpin yang direstui oleh alam semesta.

​"Alam menjadi. Padi menguning. Rumput hijau. Kerbo gepuk. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugu”.

Kehadiran "Kerbo gepuk" (Kerbau gemuk) bersama dengan padi menguning dan durian gugur merupakan tanda bahwa ekosistem berjalan baik dan alam merestui kelahiran serta kepemimpinan di daerah tersebut. Secara umum, kerbau merupakan simbol yang berarti kokoh atau kuat. Simbol ini melambangkan bahwa penegakan hukum adat harus tegas dan kuat pendirian tanpa pandang bulu dan tidak dapat dipengaruhi.


​Kepala kerbau juga digunakan dalam prosesi adat besar. 


Di Kota Jambi, pengukuhan gelar adat besar melalui serangkaian prosesi adat, termasuk menginjak kepala kerbau sebelum naik ke Balai Adat. Kepala kerbau merupakan tanda pemberian gelar atau prosesi adat yang penting.

Peran dan Tugas Adat yang Melibatkan Kerbau


​Kerbau juga terkait langsung dengan tugas dan kewajiban dari salah satu suku dalam Kerajaan Nan Dua Belas Bangsa/Perisai Rajo. Salah satu tugas Perisai (Suku) Pemas Pemayung—yang keturunannya adalah Rangga Emas dengan gelar Puspo Wijoyo/Pangeran Keramo Yudho dan menjabat Temenggung—adalah pengadaan kerbau. Tugas pengadaan kerbau ini dilakukan jikai ada sedekah atau penobatan Raja. Mereka juga bertugas menyediakan Kelapa Seratus, beras serratus gantang, dan asam garamnya.


​Sanksi Adat dan Kerbau


​Kerbau sebagai hewan bernilai tinggi, juga dijadikan tolok ukur atau bagian dari pembayaran sanksi adat yang berat. Sanksi adat tertinggi dan terberat yaitu Mati di bangun (membunuh orang lain) dihukum membayar bangun bampa satu ekor kerbau, seratus gantang beras, dan sekayu kain putih.

Pelanggaran terhadap larangan adat untuk menebang pohon sialang yang dianggap keramat atau melakukan "membuka pebalaian" di Marga Sumay dikenakan sanksi berat yang mencakup: kerbau sekok (satu ekor kerbau), kain putih 100 kayu, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram, dan ditambah denda Rp 30 juta.

18 Oktober 2025

opini musri nauli : Seloko Gajah: Mengurai Kekuatan, Sanksi, dan Kebersamaan dalam Kearifan Lokal Melayu Jambi


Di tengah hijaunya rimba yang memeluknya, kisah tentang Gajah bukan hanya sekadar catatan fauna, melainkan sebuah epik filosofis yang tersemat dalam denyut nadi masyarakat Melayu: Seloko Adat.


Gajah, dengan tubuhnya yang menjulang dan kekuatannya yang tak terbantahkan, telah diangkat dari sekadar penghuni hutan menjadi metafora hidup yang memegang peran sentral dalam sistem sosial, hukum, dan etika masyarakat Jambi. Bersama Harimau, ia berdiri sebagai simbol dwi-tunggal merepresentasikan kekuatan alam yang menjadi acuan bagi tata tertib manusia.

Ketika Gajah Menjadi Bayangan Hukuman


Dalam tradisi lisan Melayu Jambi, simbol Gajah memiliki wajah yang keras, mewakili ujung tombak sanksi adat. Puncak dari hukuman sosial tergambar jelas dalam seloko yang menusuk: Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah..."

 

Seloko ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah proklamasi pengucilan. Ia merujuk pada hukuman plali—penolakan untuk mematuhi putusan denda adat. Seseorang yang menerima hukuman ini secara harfiah dianggap "orang buangan". Mereka kehilangan seluruh perlindungan sosial, terputus dari jaring-jaring kekeluargaan dan kemasyarakatan.


Metafora "mencari perlindungan pada hewan buas" menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Tanpa pegangan adat, hidup seseorang menjadi sama berbahayanya dengan berjalan tanpa arah di rimba, perlindungannya kini hanya bisa dicari pada 'ayah' dan 'ibu' metaforis yang buas: Harimau dan Gajah. Inilah cerminan kekuatan hukum adat yang absolut: melanggarnya berarti memilih hidup tanpa kemanusiaan yang terorganisir.


Dari Kekuatan Menjadi Solidaritas: Hati Gajah dan Hati Tungau


Namun, keagungan Gajah tidak berhenti pada intimidasi hukum. Simbol ini juga membimbing masyarakat pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan yang paling fundamental. Seloko berikut menyingkap sisi Gajah yang penuh hikmah: "Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicecah."


Sungguh sebuah pernyataan etika sosial yang mendalam. 'Hati gajah' melambangkan hasil yang besar dan melimpah, sementara 'hati tungau' mewakili rezeki atau usaha sekecil apa pun. Pesan ini tegas: baik hasil panen yang melimpah maupun rezeki yang seujung kuku, semuanya harus dibagi rata dan dinikmati bersama-sama (samo dilapah/dicecah).


Seloko ini adalah landasan filosofis bagi gotong royong dan kesetaraan dalam masyarakat Melayu Jambi. Ia menekankan solidaritas tidak mengenal ukuran materi; keadilan berarti pembagian yang merata, memastikan tidak ada yang merasa terlalu besar atau terlalu kecil di hadapan rezeki bersama.


Panggilan Kehormatan Sang "Datuk Gedang"


Kekuatan Gajah dan peranannya dalam menopang tatanan sosial diabadikan dalam panggilan penghormatan khusus: "Datuk Gedang".


Penggunaan gelar "Datuk" adalah sebuah tabu, sebuah pengakuan suci terhadap kedudukan Gajah dalam hierarki spiritual dan alam. Sama halnya dengan Harimau yang dipanggil "Datuk Belang", Gajah dihormati bukan hanya sebagai hewan, melainkan sebagai entitas memegang kekuatan alam—sebuah kekuatan yang diakui, dihormati, dan dijadikan patokan moral.


Cermin Filosofi Hidup


Secara keseluruhan, simbol Gajah dalam Seloko Adat Melayu Jambi bukan sekadar ornamen budaya. Ia adalah cermin multidimensi dari filosofi hidup masyarakatnya. Gajah mencerminkan:

 * Kekuasaan (Adat): Kekuatan tak tertandingi yang menjadi landasan sanksi dan tata hukum.

 * Keadilan dan Solidaritas: Prinsip fundamental pembagian hasil yang merata.

 * Kehormatan: Pengakuan spiritual terhadap kekuatan alam.


Melalui Seloko Gajah, kita disajikan sebuah kearifan lokal yang abadi: kekuatan terbesar harus selalu tunduk pada keadilan, dan kebersamaan adalah fondasi yang jauh lebih kokoh daripada kekuasaan individual semata. Di Jambi, Gajah mengajarkan kita hidup bermasyarakat adalah tarian abadi antara hukum yang keras dan hati yang lapang.

13 Oktober 2025

opini musri nauli : Seloko Datuk Belang


Masyarakat Melayu Jambi memiliki seloko yang secara khusus merujuk pada harimau, sering kali dengan sebutan "Datuk belang" sebagai bentuk penghormatan. Panggilan ini digunakan karena nama asli harimau dianggap tabu.


Sistem kepercayaan masyarakat Melayu Jambi terhadap harimau tercermin dalam beberapa seloko, yang menunjukkan penghormatan dan pengakuan atas keberadaan hewan ini. Seloko tersebut memperlihatkan harimau sebagai simbol kekuatan dan figur yang dihormati, bahkan dihubungkan dengan konsep kepemimpinan dan sanksi adat.

21 Agustus 2025

opini musri nauli : Simbolisme Tumbuhan Seloko Melayu Jambi


Seloko Melayu Jambi adalah perumpamaan atau peribahasa tradisional yang kaya akan makna filosofis dan moral. Salah satu tema yang dominan adalah penggunaan simbolisme tumbuhan yang mencerminkan pandangan mendalam masyarakat Melayu Jambi terhadap alam, kepemimpinan dan kehidupan sosial. 

Didalam  seloko tumbuhan menunjukkan untuk menyampaikan ajaran luhur dan nilai-nilai yang fundamental.


1. Kepemimpinan Sebagai Pohon Pelindung


Banyak seloko mengibaratkan pemimpin seperti pohon yang besar dan rindang, yang menunjukkan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom. 


Seloko seperti “Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut” menggambarkan seorang pemimpin yang memiliki kekuatan dan dapat diandalkan, menjadi tempat bersandar dan bernaung bagi masyarakat. 


Pemimpin juga diibaratkan sebagai pohon rindang yang akarnya tempat bersila, tempat berteduh dari panas dan hujan, serta tempat bertanya dan berbagi cerita. 

17 Agustus 2025

opini musri nauli : Kunyit


Seloko "larik tepung. Larik kunyit. Larik seko" sebagai bagian dari "Tembo" atau narasi sejarah yang diikrarkan pada upacara adat seperti "kenduri sko". 


Tembo adalah catatan genealogi dan sejarah yang dipegang teguh oleh masyarakat adat. Dalam konteks ini, "larik kunyit" tidak dapat diartikan secara harfiah, melainkan sebagai sebuah simbol penanda batas wilayah yang sakral.


Seloko ini berdiri sejajar dengan ungkapan-ungkapan penanda batas lainnya seperti "Kayu pengait", "Sak sangkut", "takuk rajo", dan "Sialang belantak besi". 


Menunjukkan masyarakat adat Melayu Jambi memiliki sistem penandaan batas yang terstruktur dan berlapis, tidak hanya mengandalkan batas fisik, tetapi juga batas-batas simbolis yang diikrarkan secara kolektif. 

14 Agustus 2025

opini musri nauli : Jambu kleko

 


Seloko adat Jambi merupakan sebuah warisan lisan yang menyimpan kearifan lokal mendalam.

Seringkali makna sebuah seloko tidak bisa dipahami secara harfiah. Melainkan harus ditafsirkan secara simbolis. 


Salah satu contoh yang paling menarik adalah penyebutan "jambu kleko" dalam konteks seloko adat. Jauh dari sekadar deskripsi buah, "jambu kleko" adalah sebuah metafora yang kompleks, mengakar pada sistem hukum adat dan struktur sosial masyarakat Jambi, khususnya dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah.


Penyebutan "jambu kleko" tidak berdiri sendiri, melainkan muncul dalam satu frasa yang lebih panjang yang ditemukan dalam dokumen-dokumen tentang struktur sosial dan hukum adat. Seloko yang menyebutkan "hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas” secara sekilas seperti untaian kata-kata acak


Namun sebenarnya adalah sebuah narasi hukum. Ini merupakan bagian dari "klaim adat" yang digunakan oleh masyarakat untuk mendefinisikan dan mempertahankan wilayah mereka. 

04 Agustus 2025

opini musri nauli : Mentaro (3)

 


Melanjutkan tema tentang mentaro apabila dilihat dari Analisis Komprehensif,  "Seloko Mentaro" secara keseluruhan adalah contoh bagaimana masyarakat terdahulu memetik pelajaran hidup dari lingkungan sekitar mereka. Tumbuhan mentaro menjadi simbol untuk mengajarkan berbagai nilai, mulai dari pentingnya pengendalian diri dan lingkungan, menghargai setiap potensi yang ada, hingga pemahaman akan pentingnya penyesuaian diri dengan kondisi.


Seloko ini bukan hanya sekadar perumpamaan botani, melainkan cerminan dari filosofi hidup masyarakat yang menjunjung tinggi keseimbangan, kewaspadaan, dan penghargaan terhadap alam. Dalam budaya lisan, seloko seperti ini berfungsi sebagai panduan moral yang disampaikan secara turun-temurun, mengajarkan generasi muda tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bijaksana dan harmonis dengan alam serta sesama.

opini musri nauli : Serai

 


Seloko “serai” juga dikenal ditengah masyarakat Melayu Jambi.  Seperti "Serumpun bak serai, seinduk bak ayam”. Ayam berinduk serai berumput”. "Ayam berinduk banyak anak, serai berumpun banyak batang”. 


Seloko "Serumpun bak serai, seinduk bak ayam” merupakan ungkapan yang menggambarkan persatuan dan kesetiakawanan yang erat. Rumpun serai yang tumbuh bersama dalam satu induk mencerminkan ikatan kekerabatan yang kuat. Maknanya setara dengan tolong-menolong "bagai aur dengan tebing".

Seloko ini mengajarkan pentingnya solidaritas dan gotong royong dalam masyarakat. Setiap individu dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari keluarga besar atau komunitas. Keharmonisan dan dukungan timbal balik menjadi fondasi utama dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

01 Agustus 2025

opini musri nauli : mentaro (2)

 


Melanjutkan diskusi tentang Mentaro, "Mentaro" tidak berdiri sendiri, tetapi secara rumit terkait dengan hukum dan praktik adat lainnya. Seperti Larangan Krenggo.  Larangan ini memperkuat perlindungan hukum dan adat atas tanah yang ditandai dengan "Mentaro," memastikan bahwa setelah batas ditetapkan, tidak dapat dilanggar secara sewenang-wenang oleh orang lain.


Pancung Alas: Praktik meminta izin dari Kepala Desa untuk membuka area hutan baru untuk budidaya. Setelah izin ini diberikan dan tanah dibuka, "Mentaro" kemudian akan digunakan untuk menandai batas-batasnya.


Sebidang / Depo / Anggar: Istilah-istilah ini menunjukkan unit-unit pengukuran tanah. "Sebidang" mengacu pada sebidang tanah yang telah dibuka , sementara "Depo" (sekitar 1,7 meter) dan "Anggar"  adalah unit yang digunakan untuk menentukan dimensinya. "Mentaro" membantu secara fisik membatasi plot-plot yang diukur ini.

30 Juli 2025

opini musri nauli : mentaro

 


Seloko Mentaro dikenal masyarakat di daerah Timur Jambi. Mentaro adalah penanaman pinang yang disusun berbaris. Ditanami sedikit rapat. Untuk menjadi batas tanah. 


Mentaro juga mirip dengan pinang belarik. Belarik artinya berbaris. Dikenal di dareah Tengah Jambi. Dapat ditemukan di berbagai tempat di Tebo.  Mentaro atau pinang belarik juga mirip dengan kleko. Istilah Kleko ditemukan di daerah uluan Masyarakat Jambi. 


Baik mentaro, pinang belarik atau kleko merupakan ajaran, perilaku, hukum, dan nilai yang sangat sarat dengan nilai-nilai alam sekitarnya. Sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Jambi mengambil inspirasi dari tumbuhan di sekitar mereka untuk merumuskan kearifan lokal dan pedoman hidup.


"Mentaro" adalah tanda atau penanda tradisional yang digunakan untuk membatasi tanah. Ia berfungsi sebagai indikator yang jelas mengenai kepemilikan atau penggunaan yang ditetapkan untuk sebidang tanah. Praktik ini melibatkan penanaman jenis vegetasi tertentu, seperti pinang, jelutung, kelapa tanah tumbuh, andong, atau tanaman khas lainnya, untuk menciptakan batas yang terlihat dan diakui. Metode ini tidak hanya menetapkan batas fisik tetapi juga memiliki bobot budaya dan hukum dalam masyarakat. 

29 Juli 2025

opini musri nauli : Kunyit

 


Dalam kekayaan khazanah budaya Melayu Jambi, seloko adat memegang peranan penting sebagai cerminan pandangan hidup, pedoman berperilaku, serta warisan nilai-nilai luhur dari para leluhur. Salah satu seloko yang menarik untuk ditelaah adalah "larik tepung. larik kunyit. larik seko.". Seloko ini, meskipun terdengar sederhana, menyimpan makna filosofis yang mendalam terkait dengan konsep batas dan pewarisan adat.


Identifikasi dan Makna "Seloko Kunyit"


Seloko "larik tepung. larik kunyit. larik seko" dapat dimaknai Kata, Makna dan Estetika. Seloko ini secara spesifik dijelaskan sebagai bagian dari makna simbol "Kayu pengait", "Sak sangkut", "takuk rajo", "Sialang belantak besi". Dalam konteks ini, "larik kunyit" bersama dengan "larik tepung" dan "larik seko" merupakan makna simbolik dari tanda batas.


Makna simbolik dari tanda batas ini diikrarkan di dalam "Tembo" (catatan sejarah atau silsilah adat). Pewarisan dan pemahaman akan makna ini kemudian diturunkan melalui "kenduri sko" atau "kenduri adat", yang merupakan upacara adat penting dalam masyarakat Melayu Jambi.

opini musri nauli : Kunyit

 


Dalam kekayaan khazanah budaya Melayu Jambi, seloko adat memegang peranan penting sebagai cerminan pandangan hidup, pedoman berperilaku, serta warisan nilai-nilai luhur dari para leluhur. Salah satu seloko yang menarik untuk ditelaah adalah "larik tepung. larik kunyit. larik seko.". Seloko ini, meskipun terdengar sederhana, menyimpan makna filosofis yang mendalam terkait dengan konsep batas dan pewarisan adat.


Identifikasi dan Makna "Seloko Kunyit"

17 Juli 2025

opini musri nauli : Sirih


Sirih atau daun sirih juga mempunyai posisi yang penting ditengah masyarakat Melayu Jambi. Berbagai seloko juga menyebutkannya. 


Lihatlah seloko "sirih nan sekapur, rokok nan sebatang, pinang nan selayang” dan “"Berusik Sirih Begurau Pinang”. 


Seloko “sirih nan sekapur, rokok nan sebatang, pinang nan selayang" dikenal sebagai "sekapur sirih" dapat dilihat pembukaan atau pendahuluan dalam tradisi lisan (seloko). Ini adalah tanda dimulainya suatu pembicaraan dan melambangkan persahabatan. Tradisi ini selalu ada sebelum dimulainya suatu diskusi. 


Setelah mengkonsumsi sirih, merokok, dan mencicipi pinang, tujuan kedatangan akan disampaikan.

15 Juli 2025

opini musri nauli : Pohon Beringin

 


Seloko yang mengambil perumpamaan pohon Beringin mendapatkan tempat yang cukup penting didalam seloko di masyarakat Melayu Jambi. 


Lihatlah “Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”, “Kayu gedang ditengah dusun. Pohonnya rimbun. Akarnyo tempat duduk besilo”, “Pohon rindang ditengah dusun. Pohonnya gedang tempat beteduh. Akarnya tempat besilo. Tempat pegi betanyo. Tempat balek beberito”