17 September 2010

opini musri nauli : JAKSA AGUNG, KARIR ATAU NONKARIR ?

Wacana penggantian Jaksa Agung, menimbulkan pertanyaan polemik, Jaksa Agung berasal “karir” atau “non karir” ? Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Jaksa Agung sudah berjumlah 21 orang (belum termasuk Jaksa Agung terakhir, Hendarman Soepanji) dimulai setelah kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. 

opini musri nauli : PERTEMUAN PRESIDEN DENGAN CALON PIMPINAN KPK



PERTEMUAN PRESIDEN DENGAN CALON PIMPINAN KPK Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas bertemu dengan SBY di Istana Presiden, Kamis (16/9) lalu. 

Berita yang dimuat berbagai media nasional menarik untuk didiskusikan. Pertemuan yang diliput media massa menimbulkan polemik. 

Disatu sisi, sebagian kalangan menganggap pertemuan tidak pantas. “tidak elok”. Sebagian lagi menyatakan, tidak ada yang salah. 

Selain karena terbuka dan diliput media massa, integritas kedua kandidate tidak perlu diragukan lagi. 

 Pantas atau tidak Apa implikasi serius dari kandidate pimpinan KPK dengna Presiden. Kekhawatiran berbagai pihak, “intervensi” Presiden terhadap lembaga KPK harus ditangkap “pembiaran” Presiden ketika KPK “dikriminalisasi”. 

Kekhawatirkan itu juga didasarkan rasa “frustasi” publik terhadap berbagai lembaga pemberantasan korupsi yang nyaris tenggelam dan gagal memberantasan korupsi. 

Dari ranah, kita harus menangkap pesan yang dikhawatirkan publik. Menimbulkan persoalan serius, apakah pertemuan itu melanggar etika/pantas ? Menggunakan ukuran publik didalam menggunakan indikator “etika” akan sulit diukur. 

Namun menghadiri undangan dari Presiden, rasanya “tidak elok” tidak datang. Kewenangan Presiden yang mengusulkan nama-nama hasil Pansel KPK ke Presiden harus dilihat dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang berkepentingna terhadap agenda pemberantasan korupsi. 

 Dari ranah, ini akan menimbulkan debateble yang masing-masing berpegangan kepada konsepnya masing-masing. Dengan demikian, menggunakan ukuran “pantas atau tidak” menghadiri pertemuan dengan Presiden tidak dapat ditarik kedalam ranah “etika”. 

Namun yang harus diperhatikan, ukuran dikhawatirkan “mengganggu” independensi haruslah lebih tepat dibaca sebagai reaksi berbagai kalangan terhadap pertemuan dengan Presiden 

 Namun yang menarik, mengapa terhadap calon anggota Komnas HAM hasil Pansel, misalnya, tidak diadakan pertemuan seperti yang dilakukan kandidate Pimpinan KPK. Pencitraan SBY menyampaikan harapannya bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri dan meminta agar keduanya mampu menjaga diri, sedikit bicara banyak bekerja dan jangan memiliki konflik kepentingan. 

 Dengan melihat pertemuan dengan Presiden, maka haruslah dibaca sebagai gaya “pencitraan” SBY. SBY yang melihat dukungan kepada kedua kandidate dari publik menggunakan kesempatan itu sebagai bentuk membangun “pencitraan” pemberantasan korupsi. 

SBY menggunakan momentumnya setelah dalam kasus “kriminalisasi” KPK dianggap melakukan “pembiaran”. Harapan Publik Terlepas dari debatable ranah “etika” dan ranah “mengganggu” independensi KPK, harapan publik terhadap hasil Pansel pimpinan KPK harus diapresiasi. 

Apresiasi harus diwujudkan dengan menjaga “roh” KPK didalam memberantas korupsi. Apabila “roh” ini tidak jaga, maka kita menggali kuburan sendiri untuk memberantasan korupsi.