13 Januari 2019

opini musri nauli : CLASS ACTION ATAU LEGAL STANDING




Akhir-akhir ini tema Classa action mendominasi wacana public. Gugatan konsumen terhadap kebijakan Pemerintah.

Pemberitaan hanya menyebutkan class action. Yang unik, yang mengajukan gugatan adalah LSM. Secara sekilas tidak ada yang keliru. Namun apabila kita telaah lebih jauh, maka tema class action menarik untuk didiskusikan.

Pada prinsipnya, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut (Pasal 1365 KUHPer).

Menurut J. H. Nieuwenhuis, tanggunggugat timbul karena adanya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan merupakan penyebab (oorzaak) timbulnya Kerugian. Pelaku yang dinyatakan bersalah (schuld) harus bertanggungjawab. Marthalena Pohan menyebutkan “unstfout”.

Dengan demikian maka pihak yang harus membuktikan atau yang dibebani beban pembuktian adalah pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mengemukakan dalil-dalil dalam penggugatannya (Pasal 1865 KUHPer). Dikenal asas Actori incumbit probation.

Lalu bagaimana apabila “yang dirugikannya” cukup banyak ?. Ribuan atau jutaan. Misalnya “akibat limbah” atau “akibat kebakaran”. Atau “seluruh konsumen” sebuah produk.

Maka menjadi tidak mungkin memobilisasi atau memberikan surat kuasa.

Berdasarkan asas Sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 130 HIR/154 Rbg dan Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009), maka dibuka ruang untuk “gugatan kelompok”.

Masyarakat yang dirugikan (class member) kemudian mengelompok. Cukup “mewakili” untuk mengajukan gugatan (class representative). Dan kemudian mengajukan gugatan (class action).

Class action atau Class suit atau Representative action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan kata “class” dan “action”.  Pengertian dari frasa  Class  adalah sekumpulan orang, benda, kualitas, atau kegiatan yang mempunya kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian  Action dalam istilah hukum  berarti tuntutan yang dapat diajukan ke pengadilan.

Di Indonesia class action menggunakan istilah “gugatan kelompok”. MA kemudian merumuskannya Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Ketentuan ini sudah diatur didalam berbagai UU diluar KUHPer. Seperti UU Konsumen, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Kehutanan.

Mahkamah Agung kemudian mengaturnya didalam Hukum Acara Perdata. Perma No. 1 Tahun 2002 mengatur detail tentang gugatan kelompok (class action).

Terhadap gugatan kelompok (class action) maka kemudian dirumuskan “terdapat kesamaan fakta (peristiwa), kesamaan dasar hukum dan kesamaan jenis tuntutan”.

Nah. Apabila asas Actori incumbit probation adalah asas dikenal dalam system Eropa continental (system hukum di Indonesia), maka class action berangkat dari system hukum Anglo Saxon.

Jadi “clas action” adalah mekanisme penyederhaan para pihak yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Namun seluruh proses pembuktian tetap tunduk dengan pembuktian hukum acara Perdata.

Sedangkan Legal Standing berasal dari istilah Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding). Hukum Indonesia kemudian mengenal “hak gugat organisasi”.

Legal standing mengenyampingkan prinsip “poit d’interested point d’action” sebagaimana dikenal didalam Sistem Hukum Eropa Kontinental.

Prinsip “poit d’interested point d’action” menyebutkan tiada gugatan tanpa kepentingan hukum”. Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).  Dalam berbagai yurisprudensi disebutkan “adanya kepentingan tidak langsung” terhadap gugatan.

Berbagai UU kemudian mengatur tentang “hak gugat organisasi (legal standing)”.

Pada umumnya “organisasi” yang mengajukan gugatan seperti harus berbadan hukum atau yayasan, menyebutkan dengan tegas didalam Anggaran Dasar, melaksanaan kegiatannya dan kurun waktu tertentu dan mewakili kepentingan umum masyarakat.

Dengan demikian maka didalam “yang diminta (petitum)” maka tidak dikenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah di keluarkan oleh organisasi tersebut.




Nah. Apabila asas Actori incumbit probation adalah asas dikenal dalam system Eropa continental (system hukum di Indonesia), maka class action berangkat dari system hukum Anglo Saxon. Sedangkan legal standing berangkat dari system hukum Anglo Saxon yang kemudian diatur didalam UU diluar KUHPer.

Dengan demikian maka apabila adanya “kepentingan langsung” dari yang dirugikan maka masyarakat dapat mengelompokkan diri untuk mengajukan gugatan (class action). Sedangkan apabila diajukan oleh lembaga terhadap kepentingan tidak langsung maka dikenal “legal standing (hak gugat organisasi).

Namun dalam praktek masih banyak ditemukan kerancuan didalam merumuskan gugatan menggunakan mekanisme class action atau menggunakan legal standing.

Putusan Pengadilan Negeri Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Barabai, Pengadilan Negeri Kepanjen dan Pengadilan Negeri Malang pernah memutuskan “kekeliruan” lembaga yang mengajukan gugatan mekanisme Legal standing namun hanya mewakili kepentingan sebagian orang atau satu orang saja.

Selain itu Putusan Pengadilan Negeri Malang menegaskan “lembaga yang mengajukan” tidak dapat diterima disebabkan, adanya kepentingan satu orang. Sehingga lebih tepat bertindak sebagai advokat.

Kekeliruan menggunakan mekanisme atau istilah yang rancu selain akan menimbulkan kebingungan ditengah masyarakat juga mengakibatkan kerugian didalam persidangan. Selain juga gugatan yang diajukan dinyatakan “tidak dapat diterima”. 

Dimuat di harian Jambi Independent, 17 Januari 2019