Ditengah masyarakat Melayu Jambi, istilah “bungkul” sering dilekatkan dengan seloko. Seperti “mencari pangkal dari Bungkul. Mencari asal dari usul”
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, istilah “bungkul” sering dilekatkan dengan seloko. Seperti “mencari pangkal dari Bungkul. Mencari asal dari usul”
Terdengar keluhan di padepokan. Kitab-kitab yang menjadi pegangan para pendekar di padepokan seakan-akan tiada berdaya. Menghadapi gempuran dari serbuan dedemit yang terus bergentayangan di negeri Astinapura.
Entah mengapa, issu corona terus memantik polemik. Wabah pandemik yang belum ketahuan kapan akan berakhir justru selalu memantik polemik dintengah masyarakat.
Ditengah masyarakat, Silo adalah tempat duduk orang dihormati.
Marga Senggrahan dikenal Depati Tigo Silo. Atau lebih dikenal Nenek Tigo Silo yang kemudian disebut Tigo Pemangku Marga Senggrahan. Mereka itu adalah Depati Surau Kembalo Hakim, Depati Manggalo, Depati Keramo.
Ketika Syofyan Hadi menuliskan tulisan “Naskah Mawahib Rabb Al-Falaq : Melacak Titik Temu Ajaran dua Tarekat (Syazililayh dan Naqsyabandiyah) di Minangkabau”, seketika kekaguman kepada ulama sumatera semakin bertambah.
Dalam dialek Bahasa Melayu Jambi, Silo berasal dari kata Sila. Dalam kamus bahasa Indonesia, Sila diartikan “menyilakan”. Sehingga “menyilakan” adalah meminta, mengajak dan mengundang dengan hormat. “Silakan” dapat dipadankan dengan kata “sudilah kiranya”…
Terdengar denguhan nafas kegelisahan dari Pemimpin padepokan. Sembari membakar dupa, tapa brata terganggu dengan kegelisahannya.
“Dewata agung. Kesalahan apa yang telah kami perbuat. Hingga sekarang dedemit masih menyerang negeri Astinapura. Belum ada satupun para pendekar yang turun mampu mengalahkannya ?”, tanya sang Pemimpin padepokan. Suaranya bimbang. Menampakkan kegelisahannya.
Sudah beberapa kali sang telik sandi. Menagih janji untuk mengirimkan pendekar yang mempunyai kesaktian mandraguna. Namun belum jua janji dipenuhi.
Sekali lagi kegelisahan semakin jelas di raut mukanya. Tidak ada sama sekali ketenangan untuk melanjutkan tapa brata.
Sembari menyudahi semedi, sang Pemimpin padepokan kemudian membuka kitab. Kitab padepokan warisan leluhur yang belum tuntas dipelajari. Tersita oleh para telik sandi yang terus berdatangan menemuinya.
Semoga Sebelum purnama datang, kitab warisan leluhur telah tunai dipelajari. Sembari menurunkan ilmu kanuragan di padepokan. Agar para pendekar dapat menaklukkan sang dedemit yang terus menguasai negeri astinapura.