Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Kelahiran MK yang telah diatur melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 , dan ditetapkan melalui UU No. 24 Tahun 2003.
MK kemudian mengikrarkan sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) atau penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution).
Kewenangan MK dalam sengketa pemilu dapat dilihat didalam Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Sehingga berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum .
Namun kemudian, walaupun MK lahir di tahun 2003, MK ternyata tetap mengadili terhadap UU sebelum tahun 2003 . Putusan yang kemudian menyatakan bahwa MK berwenang untuk mengadili UU sebelum tahun 2003 telah menjadi yurisprudensi didalam kewenangan mengadili UU.
MK kemudian juga membatalkan pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, pasal 137 KUHP, Pasal 154 KUHP, Pasal 155 KUHP, Pasal 356 ayat (1) KUHP yang tidak memberikan ketidakadilan dan tidak sesuai dengan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia.
Sedangkan terhadap pasal 160 KUHP adalah MK menyatakan conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. Dan MK menolak permohonan uji materiil Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 310 ayat (2) KUHP, Pasal 311 ayat (1) KUHP, Pasal 316 KUHP dan Pasal 207 KUHP.
MK juga menarik perhatikan publik karena disaat bersamaan MK telah melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite).
Didalam pertimbangan terhadap Putusan Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon hanya meminta membatalkan (a) Pasal 1 Ayat (9); (b) Pasal 27; (c) Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
Namun kemudian MK tidak hanya menyatakan bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, namun justru menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 2004 bertentangan dengan konstitusi. Sehingga kemudian MK mengabulkan melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite).
MEMAKNAI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Prestasi Mahkamah Konstitusi haruslah dipahami sebagai ekspektasi dari kehendak rakyat didalam memperjuangkan Negara hukum (rechtstaat) .
Sikap yang ditempuh Mahkamah Konstitusi dengan mengabaikan “prosedural” atau meninggalkan Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) menarik sebagai bahan kajian didalam memahami pemikiran MK didalam menyelesaikan sengketa Pemilukada .
Dalam diskursus yang lain, Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Dua putusan ini merupakan peristiwa penting MK didalam memaknai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) dengan mengabaikan “keadilan prosedural (procedural justice) Asas kepastian hukum (rechtmatigheid)”.
Dua peristiwa ini kemudian menjadikan dasar di saat Mahkamah Konstitusi memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan Pemilu, Pemilukada dan sengketa pemilihan kepala Daerah.
MK menyatakan “Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)
Dalil yang digunakan untuk memperkuat argumentasi “Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)”.
Prinsip hukum dan keadilan menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria).
Diskursus mengenai tentang keadilan substansi (substantive justice), dengan keadilan prosedural (procedural justice ) juga disampaikan Gustav Radbruh.
Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga nilai identitas.(1). Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas ini meninjau dan sudut yuridis. (2). Asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dan sudut filosofis.(3). Asas Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility . Asas ini meninjau dari sosiologis .
Sedangkan Dardji Darmodihardjo menguraikan (1) Kepastian hukum (rechtssicherkeit); (2) Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit) (3). Keadilan hukum (gerechtigkeit) (4). Jaminan hukum (doelmatigkeit). John Rawls mengungkapkan yaitu : (1). perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit) (2). kepastian hukum (Rechtessisherkeit) (3). kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).
Ketika membuat putusan, hakim harus memperhatikan banyak aspek, terutama kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit), dan keadilan hukum (Gerechtigkeit) Ketiga hal ini perlu senantiasa diupayakan tercakup secara seimbang dalam setiap putusan hakim.
Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Dengan demikian, pertimbangan MK yang keadilan prosedural (procedural justice) apabila dihubungkan dengan teori Gustav Radbruh dikatakan sebagai Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Sedangkan pernyataan MK ““keadilan substansi (substantive justice) adalah Asas keadilan hukum (gerectigheit).
Keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar.
John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran".
Sedangkan Rouscoe Pound, mendefinisikan keadilan terdiri 2 bagian : keadilan bersifat yudicial dan keadilan administratif.
Saat terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir kepastian .
Mahfud, MD juga menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan .
Nilai keadilan lebih tinggi dari kepastian Hukum, terlebih dalam mewujudkan keadilan universal, karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata.
Sedangkan John Rawl, memberikan makna keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hukum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa.
Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, MK berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut MK, keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”.
Sehingga, apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil.
Sedangkan Jimly Assidiq mendefinisikan hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu (i) keadilan (justice), (ii) kepastian (certainty atau zekerheid), dan (iii) kebergunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepa¬tu¬tan (equity), serta kewajaran (proportionality).
Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama .
Ukuran untuk menentukan keseimbangan kepastian Hukum dan Keadilan boleh dilakukan dengan formula Nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian Hukum, melainkan dari keseimbangan perlindungan Hukum
Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Bagir Manan.
Bagir menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran mi menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang.
Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU .
Dalam diskursus yang lain, konsepsi pemikiran ini lebih banyak dikenal dengan istilah aliran positivisme
Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum. Kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.
Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hoininilupus).
Manusia adalah makhluk yang.beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindani jatuhnya korban.
Pendekatan kepastian hukum memang menyodorkan bangunan kepastian hukum dibandingkan jenis pendekatan lain. Aturan-aturan normatif menjadi landasan yang tak terbantahkan. Semua persoalan hukum yang sedang atau sudah terjadi adalah wilayah hukum an sich.
Dengan demikian, analisis yang dihasilkan terhadap putusan MK haruslah dilihat bagaimana pertimbangan MK didasarkan kepada teori keadilan. Pisau bedah analisis yang penulis gunakan merujuk teori keadilan yang digunakan selain melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi (yang dilihat dari nilai-nilai dan norma yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi) dan konstitusi juga melihat prinsip-prinsip demokrasi.
Dengan demikian, analisis yang dihasilkan terhadap putusan MK haruslah dilihat bagaimana pertimbangan MK didasarkan kepada teori keadilan.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PEMILUKADA
Ekseptasi publik didalam “memperjuangkan kepentingan politik” baik didalam melihat tentang Pemilu dan Pemilukada mendominasi didalam perkara di Mahkamah konstitusi. “Memperjuangkan kepentingan politik” ditandai norma yang terdapat didalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang PEMDA, UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR/DPD/DPRD dan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK merupakan UU yang paling banyak “digugat” di MK. “Ekspeptasi publik” dapat dibaca dalam perkara penghitungan selisih Pemilu baik anggota DPR, DPD, DPRD dan Kepala Daerah.
Begitu banyaknya “yang digugat” membuat UU UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 10 Tahun 2008 merupakan salah UU favorit yang menjadi bahan gugatan. Penulis berkonsentrasi terhadap norma UU yang menimbulkan dampak yang besar.
Dari hasil analisis terhadap putusan MK, penulis menyoroti terhadap Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 yang dikenal hak politik anggota Eks PKI, PUTUSAN Nomor 5/PUU-V/2007 tentang Calon Perseorangan didalam Pemilukada dan Putusan No 22-24/PUU-VI/2008 yang lebih dikenal dengan penghitungan suara terbanyak.
• Hak Politik Eks PKI.
Putusan MK Perkara No. 011-017/PUU-I/2003.Publik juga mencatat disaat MK telah mencabut Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD dan memberikan hak yang sama kepada orang-orang yang dituduh komunis. Baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Sebuah penghormatan HAM yang universal .
Calon Perseroangan. MK telah mengabulkan permohonan dari LALU RANGGALAWE, Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, berdasarkan PUTUSAN Nomor 5/PUU-V/2007 yang kemudian membuka kesempatan calon perseorangan didalam mengikuti Pilkada.
Kemajuan besar ini merupakan kesempatan besar didalam proses demokrasi di Indonesia, walaupun didalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak memungkinkan calon perseorangan . Uraikan
Suara terbanyak. MK telah mengabulkan permohonan MUHAMMAD SHOLEH, S.H, sebagaimana didalam putusannya No 22-24/PUU-VI/2008 . Putusan ini kemudian lebih dikenal “suara terbanyak”
Sedangkan terhadap Perselisihan penghitungan suara, penulis akan melihat terhadap Perselisihan Penghitungan Suara Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara.
• Jawa Timur.
Dalam kancah politik, putusan MK. Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur merupakan menimbulkan persoalan politik yang hangat .
Walaupun MK hanya berwenang untuk mengadili hanyalah berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon, , namun kemudian MK menegasikan tentang ketentuan tersebut dan memerintahkan kepada lembaga penyelenggara Pemilu untuk dilakukan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang .
• Bengkulu Selatan.
Sengketa perselisihan penghitungan hasil pemilu Bengkulu Selatan menarik untuk didiskusikan. Didalam Putusannya , MK kemudian menyatakan dilakukan “pemungutan suara ulang dan penghitungan Ulang ”
• Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Penghitungan Kabupaten Timur Tengah Selatan juga mencantumkan “pemungutan ulang dan penghitungan Ulang .
Pertimbangan MK “Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara, tetapi juga harus menggali untuk menemukan fakta hukum dan keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan…, Bahwa berdasarkan fakta hukum di persidangan, pada beberapa kecamatan tertentu nyatanyata terjadi pelanggaran serius, signifikan, dan tidak bertanggung jawab dengan cara mengubah, yakni dengan menambah dan mengurangi angka-angka perolehan suara Pasangan Calon tertentu yang mempengaruhi hasil akhir perolehan suara Pasangan Calon yang lain” .
• Tapanuli Utara
Demikian juga didalam pertimbangannya , MK juga memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.
Mahkamah Konstitusi didalam mengadili perkara Pemilukada, tidak semata-mata hanya merujuk pada objek formal perselisihan Pemilukada sebagaimana sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan didalam Pasal 4 PMK 15/2008 , melainkan Mahkamah Konstitusi harus menggali dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan.
Maka selain memeriksa perkara, MK kemudian memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang
KEADILAN DALAM RANAH PUTUSAN MK
Putusan Mahkamah Konstitusi dari ranah filsafat menimbulkan perdebatan panjang. Di satu sisi, Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari teori keadilan yang disampaikan oleh Gustav Radbruh.
Baik ditinjau dari Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) maupun keadilan hukum (gerectigheit). Mahkamah Konstitusi mendefinisikan dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif.
Dari konteks Asas kepastian hukum (rechtmatigheid,. maka Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan Putusan MK No. 66/PUU-II/2004 menegasikan kewenangan MK berdasarkan pasal 50 UU MK.
Pertimbangan MK “telah mengebiri (reduction) wewenang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang antara lain menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sikap yang diambil MK dengan pertimbangan ini, maka MK berangkat dari konsepsi keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi.
Yurisprudensi ini kemudian MK berwenang untuk memeriksa dan membatalkan pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, pasal 137 KUHP, Pasal 154 KUHP, Pasal 155 KUHP, Pasal 356 ayat (1) KUHP dengan putusan menyatakan pasal 137 KUHP, Pasal 154 KUHP, Pasal 155 KUHP dan pasal 356 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945.
Begitu pula MK yang memeriksa pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil.
Dan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materiil Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 310 ayat (2) KUHP, Pasal 311 ayat (1) KUHP, Pasal 316 KUHP dan Pasal 207 KUHP
Demikian pula saat memeriksa dan memutuskan Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon hanya meminta membatalkan (a) Pasal 1 Ayat (9); (b) Pasal 27; (c) Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Namun kemudian MK tidak hanya menyatakan bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, namun justru menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 2004 bertentangan dengan konstitusi.
Didalam ranah keadilan ditinjau Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid dikenal dengan istilah “ultra petite”
Sedangkan didalam memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan perselisihan Pemilukada (Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara), MK tidak semata-mata memeriksa yang berkaitan dengan perolehan suara namun juga memerintahkan dilakukan untuk pemungutan ulang dan penghitungan ulang. Pertimbangan MK dapat dilihat
1. “disebabkan karena pelanggaran yang dapat dibuktikan di persidangan sifatnya sudah sistematis, terstruktur, dan masif yang pada umumnya dilakukan menjelang, selama, dan sesudah pencoblosan , “
2. dengan terbukti adanya pelanggaran administratif yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 7, khususnya H. Dirwan Mahmud, S.H., maka Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan adalah Pemilukada yang cacat yuridis sejak awal, karena telah mencederai asas-asas Pemilu yang merupakan asas yang harus dijunjung tinggi tidak hanya oleh Penyelenggara Pemilu
3.
Bahwa berdasarkan fakta hukum di persidangan, pada beberapa kecamatan tertentu nyatanyata terjadi pelanggaran serius, signifikan, dan tidak bertanggung jawab dengan cara mengubah, yakni dengan menambah dan mengurangi angka-angka perolehan suara Pasangan Calon tertentu yang mempengaruhi hasil akhir perolehan suara Pasangan Calon yang lain” .
4.
Bahwa tindakan itu adalah manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, dan sewenang-wenang, yang langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi hasil Pemilukada
Dari ranah Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural kewenangan MK yang memeriksa dan mengadili UU sebelum 2003, mengabulkan melebihi yang diminta pemohon (ultra petite) dan memeriksa dan mengadili Perselisihan sengketa Pemilukada yang memerintahkan dilakukan pemungutan ulang dan penghitungan ulang menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
MK melakukan pemeriksaan tidak berdasarkan kewenangan berdasarkan pasal 50 UU MK, mengabulkan melebihi yang diminta pemohon dan MK memeriksa dan mengadili sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian apabila bersandarkan kepada pendekatan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural maka sebagaimana pernyataan Bagir Manan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi) .
Pernyataan ini didukung oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law) .
Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.
Meminjam pendapat Hakim Konstitusi Achmad Roestandi, Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural harus selalu bergandengan dan menjadi penyeimbang dari keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi. Suatu norma hukum kadang-kadang seolah-olah terpaksa harus mengorbankan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substanti demi kepastian hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural.
Walaupun melanggar rasa keadilan, tetapi kepastian ini diperlukan, karena dalam jangka panjang kepastian hukum justru sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya.
Tetapi pembedaan ini justru diperlukan agar terdapat kepastian bagi para penegak hukum dan masyarakat dalam upaya memantapkan penegakan hukum (law enforcement) .
Dan terhadap pengingkaran Kepastian hukum (Rechtssicherheit) justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural yang dimaksudkan, maka Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural dibutuhkan kepada para pihak pencari keadilan didalam mengajukan kepentingan konstitusional di MK.
Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural menurut William Friedman, seorang sosiolog hukum, mengatakan bahwa kepastian hukum (Rechtssicherheit) itu tergantung kepada, antara lain, substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta legal culture masyarakat.
Namun dalil ini sebenarnya terbantahkan dengan mendasarkan kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan.
Meminjam pendapat Jimly Assidiqie yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah “negara hukum” tanpa mencantumkan lagi kata “rechtsstaat” di dalam kurung seperti yang ada di dalam Penjelasan sebelum diamandemen .
Itu harus diartikan bahwa negara hukum Indonesia tidak hanya menerima asas kepastian hukum (Rechtssicherheit) dititikberatkan pada rechtstaat tapi sekaligus asas rasa keadilan (Gerechtigkeit) yang dititikberatkan pada the rule of law.
Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H yang menekankan pentingnya kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dan keadilan hukum (gerechtigkeit)
Bahwa kepastian Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural tidak otomatis atau tidak dengan sendirinya menjamin suatu keadilan hukum (gerechtigkeit).
Keadilan adalah sesuatu yang multitafsir dan bersifat subjektif dalam pemahaman dan penerapannya.
Subjektivitas itu pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan pandangan ontologis tentang apa dan siapa manusia itu, dan pada gilirannya menimbulkan perbedaan aksiologis tentang nilai imperatif yang harus diterapkan kepada seseorang baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
Atau dengan kata lain justru menimbulkan ketidakadilan.
Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural yang semata-mata membaca rumusan peraturan perundang-undangan justru merugikan merugikan hak konstitusional Pemohon dan juga telah mengebiri (reduction) wewenang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang antara lain menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar .
Kegelisahan terhadap kepastian hukum (Rechtssicherheit) yang tidak menjamin keadilan merupakan bekerjanya ranah filsafat hukum .
Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Meminjam istilah Roscoe Pound “filsafat berupaya untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untukmenciptakan suatu hukum yang sempurna yang harus berdiri teguh selamalamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi”
MK kemudian mengabaikan ketentuan normatif (keadilan prosedural/procedural justice) sebagaimana dinyatakan rumusan pasal 50 UU MK didalam memeriksa perkara No. 66/PUU-II/2006.
Pertimbangan yang disampaikan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ……”, tanpa memuat batasan tentang pengundangan undang-undang yang diuji.
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan “Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dipandang mereduksi kewenangan Mahkamah.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang mempertimbangkan pasal 50 UU MK tidak hanya menerima asas kepastian hukum (Rechtssicherheit) yang dititikberatkan pada rechtsstaat tapi juga sekaligus asas rasa keadilan hukum (Gerechtigkeit) yang dititikberatkan pada the rule of law.
Pengertian yang demikian dipertegas pula di dalam Pasal 28H yang menekankan pentingnya kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dan keadilan hukum (gerechtigkeit).
Maka penulis mengidentifikasikan MK mengabaikan kepastian hukum (Rechtssicherheit) atau keadilan prosedural (procedural justice) dan mempertimbangkan keadilan substantif (substansif justice) atau asas rasa keadilan hukum (Gerechtigkeit).
Begitu juga didalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, walaupun pemohon meminta untuk membatalkan Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 namun Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 Tahun 2009 (ultra petite).
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi selain menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 juga berhubungan satu pasal dengan pasal lain sehingga walaupun para pemohon hanya meminta membatalkan Pasal 1 Ayat (9), Pasal 27, Pasal 44 namun Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 Tahun 2007.
“Kegelisahan” ini juga dirasakan MK disaat memeriksa perkara yang berkaitan dan perkara perselisihan penghitungan suara di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Tapanuli Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan.
Pertimbangan MK “
Selain itu, Mahkamah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, Mahkamah tidak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga memaknai “keadilan substansi (substantive justice)”.
Demikian juga pertimbangan Mahkamah Konstitusi “bahwa sebagai lembaga penafsir UUD - the sole judicial interpreter of the constitution - Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan diri hanya kepada original intent perumusan pasal Undang-Undang Dasar 1945 , Tapi fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, antara lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya. Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar.
Oleh sebab itu, Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana didalam putusan mengenai perselisihan di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara kemudian Mahkamah Konstitusi mengabaikan “keadilan prosedural (procedural justice) dan mengambil sikap memperjuangkan prinsip “keadilan substanti (substantive justice).
Dalam diskursus yang lain dinyatakan saat terjadi pertentangan antara keadilan, maka harus diprioritaskan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice),, kemudian kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) dan terakhir Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) .
Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) Atau keadilan prosedural (procedural justice) terlebih dalam mewujudkan keadilan universal, karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata.
Apabila kita merujuk kepada Gustav Radbruh, dimana Hukum harus mengandung tiga nilai identitas, maka pertimbangan MK yang “mengabaikan keadilan prosedural dan memperjuangkan keadilan subsantif” lebih menitikberatkan kepada keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Sedangkan apabila merujuk kepada John Rawls yang mempertimbangkan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice) kemudian Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) dan kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).
Dengan demikian maka etika membuat putusan, hakim harus memperhatikan banyak aspek, terutama Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) atau Keadilan prosedural (procedural justice) kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit), dan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
Ketiga hal ini perlu senantiasa diupayakan tercakup secara seimbang dalam setiap putusan hakim.
Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Pada saat melihat perselisihan penghitungan suara (Jawa Timur, Bengkulu Selatan), MK memberikan pertimbangan secara prinsip
1. Sebagai pengawal konstitusi, maka acuan utama penegakan hukum di Mahkamah adalah tegaknya prinsip kehidupan bernegara berdasarkan Undang-Undang Dasar.
2. Landasan penting adalah ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa Mahkamah memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
3. Bahwa Mahkamah berwenang memutus perkara pelanggaran atas prinsip-prinsip Pemilu dan Pemilukada yang diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
4. Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) atau merujuk kepada kepastian hukum (Rechtssicherheit) memasung dan mengesampingkan keadilan hukum (Gerechtigkeit) atau keadilan substansi (substantive justice)
5. Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan
6. Prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria).
7. Larangan bagi Mahkamah untuk menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada harus diartikan bahwa Mahkamah tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi namun tetap boleh mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara;
Fakta-fakta yang terungkap seperti adanya pelanggaran sifatnya sudah sistematis, terstruktur, dan masif yang pada umumnya dilakukan menjelang, selama, dan sesudah pencoblosan, “terbukti adanya pelanggaran administratif, beberapa kecamatan tertentu nyatanyata terjadi pelanggaran serius, signifikan, dan tidak bertanggung jawab, tindakan itu adalah manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, dan sewenang-wenang nyata-nyata telah merusak dan mencederai asas-asas Pemilu yang merupakan asas yang harus dijunjung tinggi tidak hanya oleh Penyelenggara Pemilu.
Fakta-fakta itu telah terbukti dan tidak dapat serta merta diputuskan sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan MK yang semata-mata hanya menyelesaikan perselisihan suara tidak mencapai keadilan hukum (gerectigheit). Justru menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Meminjam istilah MK, tidak tercapainya keadilan substantif (substantive justice).
Kenyataan ini tidak dapat dibiarkan.Meminjam istilah Meuwissen, kenyataan yang terjadi tidak mampu dijangkau oleh hukum formal sebagaimana sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan didalam Pasal 4 PMK 15/2008.
Padahal dalam hukum kita hanya berkutat dengan aturan hukum kepada figur hukum (pranata hukum an sich), dan lembaga hukum. Kenyataan itu menimbulkan ketidakadilan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Filsafat hukum yang kemudian merefleksikan secara sistematikal dari kenyataan dari hukum tersebut dan menjawab melalui putusan pengadilan.
Dari titik inilah kemudian MK menyatakan “bahwa sebagai lembaga penafsir UUD - the sole judicial interpreter of the constitution - Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan diri hanya kepada original intent perumusan pasal Undang-Undang Dasar 1945 , Tapi fungsi dan peran Mahkamah dimaksudkan, antara lain, untuk mengawal tegaknya konstitusi dengan segala asas yang melekat padanya.
Demokrasi adalah salah satu asas yang paling fundamental di dalam UUD 1945 sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar.
Oleh sebab itu, Mahkamah berwenang juga untuk mengawal tegaknya demokrasi seperti yang diatur di dalam konstitusi yang dalam rangka mengawal tegaknya demokrasi itu harus juga menilai dan memberi keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada .
Dengan demikian Putusan MK yang berkaitan kewenangan memeriksa UU sebelum 2003, mengabulkan permohonan melebihi yang diminta pemohon (ultra petite) dan memerintahkan dilakukan pemungutan ulang dan penghitungan ulang telah memenuhi keadilan substantif (substansif justice) keadilan hukum (gerectigheit).
Prinsip yang dilakukan oleh MK terhadap pertimbangan didalam Putusan merupakan “irrah” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara .
Nilai keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), lebih tinggi dari Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice), karenanya apabila terjadi pertentangan antara dua asas tersebut maka yang didahulukan adalah prinsip yang dapat mewujudkan keadilan secara nyata, sehingga oleh karenanya memperlakukan Hukum secara Retroaktif yang bersifat terbatas, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam keadaan tertentu, tuntutan keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) akan melonggarkan Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice) , sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban .
Sebaliknya pada tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan.
“Konstitusi itu adalah seperti apa yang dimaknai oleh masyarakat” (Die Politische Verfassungs als Gesselschaftlich wirklichkeit) .
Sebagaimana yang sudah pernah dinyatakan oleh Von Savigny bahwa "Hukum bersumber kepada jiwa bangsa".
Perlu disadari tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara.
Para filsuf hukum mengatakan, hukum yang tidak adil bukanlah hukum (unjustice law is not law) .
Rasa keadilan memang subjektif.
Adil bagi yang menang tetapi dianggap tidak adil bagi yang kalah. Itulah penilaian seseorang terhadap sebuah putusan pengadilan.
Tidaklah mungkin sebuah putusan pengadilan akan memenangkan kedua belah pihak yang saling berhadapan kepentingannya itu sekaligus. Hakim senantiasa dalam posisi diametral yang tak mungkin bisa memuaskan kedua pihak,
Hukum juga harus memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) .
Sedangkan dari aliran Sejarah Hukum, yang mengatakan: “Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dalam masyarakat itu sendiri sebagai jiwa bangsa (Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke)-volkgeist.
Jadi setiap suku bangsa itu memilki apa yang dinamakan volkgeist-nya masing-masing.
Selain itu juga tujuan mewujudkan keadilan sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Sebaliknya, hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi penguasa agar tidak sewenang-wenang.
Bahkan hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial .
Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalarn masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial.
Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Pembicaraan mengenai hukum dewasa mi tidak dapat dilakukan seperti waktu kita membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Hukum harus kita bicarakan “hic et nunc”, “sekarang dan disini” .
Pertimbangan MK disatu sisi tunduk kepada Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice) namun disisi lain memperjuangkan keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit), haruslah diletakkan pada konteksnya.
Perbedaan apakah harus Asas kepastian hukum (rechtmatigheid) atau keadilan prosedural (procedural justice) dengan keadilan substantif (substansif justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) haruslah dibaca untuk kepentingan pencari keadilan.
Dalam diskursus yang lain, Keadilan atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum.
Dari seluruh paparan yang telah disampaikan, bahwa konsepsi keadilan prosedural dalam aliran Kepastian hukum (positivisme) haruslah menjadi sikap hakim didalam memutuskan perkara.
Konsepsi berfikir positivisme disatu sisi dengan konsepsi mempertanyakan “keadilan” disisi lain menjadi sikap yang ambigu terhadap “keadilan” ditinjau dan kepastian hukum.
Perlu diingat bahwa kepercayaan terhadap pengadilan akan tergantung pada pelayan hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan tersebut harus dapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan”
Dimuat di Jurnal Konstitusi, Jurnal MK kerjasama dengan Pusat Konstitusi dan Kajian Publik, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Nomor 3 NOvember 2010.