21 Mei 2018

opini musri nauli : RANGKILING, DAERAH ANGKER DI JAMBI





JAMBI-Bagi orang Jambi pasti sudah tak asing lagi dengan nama Rangkiling, sebuah daerah di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Daerah Angker. Itulah sebutan bagi daerah Rangkiling ini. Warga yang akan melewati tempat ini, mereka akan mempersiapkan rencana dengan matang agar dapat menghindari daerah tersebut saat matahari terbenam. Rangkiling memang salah satu tempat yang kalau bisa paling dihindari, terutama saat malam tiba karena daerah tersebut rawan perampokan bahkan kadang sampai terjadi pembunuhan jika si korban melawan.

Insiden dirusaknya sebuah mobil patroli polisi di hari ketiga Idul Fitri Minggu 17 Juni 2018 lalu, menjadi bukti bagaimana daerah tersebut begitu angker. Kendaraan patroli milik Polsek Mandiangin yang tengah melintas, dirusak dan digulingkan massa ke jalan. Satu anggota Polsek Mandiangin juga terluka dalam insiden tersebut.

Amuk massa Warga Desa Rangkiling ini buntut pasca polisi menembak mati seorang daftar pencarian orang (DPO) kasus begal, Diwun (30). Diwun merupakan tersangka dalam kasus 368 KUHP tentang tindak pidana pemerasan. Diwun merupakan terlapor kasus penganiayaan terhadap pegawai PT Global Batu Bara.  Diwun sudah masuk dalam DPO Polda Jambi.

Berbekal laporan tersebut, polisi melakukan pencarian terhadap Diwun. Polisi berhasil melacak keberadaan Diwun yang hendak pergi memancing dengan mengendarai sepeda motor. Malam kejadian, Polisi yang hendak mengamankan Diwun, mendapat perlawanan keras. Setelah dilumpuhkan Diwun sempat dibawa ke Puskesmas Madiangin. Namun, nyawa Diwun tidak bisa diselamatkan. Diwun tewas dengan beberapa luka tembakan di tubuhnya.

Foto-foto Diwun yang dalam kondisi tertembak dan dirawat di Puskesmas dengan cepat menyebar lewat media sosial seperti Facebook dan IG. Kemudian, kabar kematian Diwun juga memicu massa warga Rangkiling keluar rumah. Warga Desa Rangkiling merasa tidak terima tindakan anggota Kepolisian Sektor (Polsek) Mandiangin yang menembak mati Diwun.

Tidak lama kemudian, satu unit mobil patroli Polsek Mandiangin yang saat itu kebetulan melintas, dalam waktu seketika, warga yang berkumpul di TKP langsung menyerang mobil patroli tersebut. Warga juga menghajar anggota polisi yang berada di dalam mobil tersebut. Akibat amukan warga, mobil patroli jenis sedan milik Polsek Mandiangin ini rusak dan satu orang polisi terluka di bagian kepala.

Pascakejadian ini, Kapolda Jambi Brigjen Pol Muchlis AS langsung mencopot Kapolsek Mandiangin Iptu Jalalludin dari jabatannya. Kapolda juga langsung ke rumah korban Diwun didampingi Kapolres Sarolangun AKBP Dadan Wira Laksana, Senin (18/6/2018). Kapolda mengucapkan belasungkawa kepada keluarga Diwun.

Menurut Muchlis, penembakan yang dilakukan anggotanya saat akan menangkap Diwun karena Diwun memiliki senjata api dan melakukan perlawanan pada polisi. Namun, melihat respons warga yang mengamuk akibat penembakan tersebut, Muchlis menyatakan akan mengikuti hukum adat yang berlaku di daerah setempat.

Tindakan tegas itu diambil Kapolda Jambi, setelah melakukan mediasi di Polsek Mandiangin, yang turut dihadiri langsung Bupati Sarolangun, Cek Endra serta tokoh adat Desa Rangkiling Simpang.
Dalam mediasi tersebut Kapolda siap mengikuti aturan adat yang disepakati oleh tokoh adat Desa Rangkiling.

“Dalam konteks penegakan hukum, maka tetap harus dilakukan. Tapi, sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika tata krama yang ada di sini, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, maka kami mengikuti hukum adat yang berlaku di sini, apakah nanti dilakukan pesta adat, kami akan mengikuti. Namun, proses hukum tetap berjalan,” ujar Kapolda.

15 Mei 2018

opini musri nauli : KISAH TELUR MATA SAPI



Kisah tentang dimulainya Ramadhan dan Idul Fitri banyak meninggalkan kisah. Berbagai kisah mewarnai diskusi, tema bahkan berbagai peristiwa untuk menambah keyakinan beribadah.

Tahun 2007 saya ke Padang. Kampung mertua. Di Sumatera Barat yang terkenal sebagai pusat Muhammadiyah telah menetapkan awal Idul Fitri pada hari Jumat.

13 Mei 2018

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT TERORISME



Peristiwa di Mako Brimob dan dilanjutkan dengan peristiwa 3 lokasi berbeda di Surabaya menghentakkan dada. Daya gelegarnya tidak semata-mata terjadi di lokasi. Namun menggetarkan nurani kemanusiaan dan mengganggu nalar manusia.

12 Mei 2018

opini musri nauli : Literasi dan Simbol Makna



Akhir-akhir ini kosakata di Indonesia “disibukkan” dengan istilah seperti “khilafah”, “Thougut”, “antek-antek asing”, “kalajengking” dan sebagainya.

Pesan yang ditangkap kemudian menjadi bergeser. Sering memenggal kalimat yang diterima, memotong makna sebenarnya dan tentu saja dibumbuhi nada-nada provokasi yang justru jauh dari makna esensi yang sebenarnya.

Kemampuan untuk menyerap informasi menjadi “Cetek”, “picik”, “memutar balik logika”, bahkan terkesan tendesius.

11 Mei 2018

opini musri nauli : GAGASAN, KOMITMEN DAN KESETIAAN


Akhir-akhir ini kata-kata “komitmen” dan “kesetiaan” pada gagasan mulai menemukan formulanya. Waktu kemudian menguji “siapakah” yang setia dengan gagasan. Dan siapa yang rela menyepi untuk menjaga gagasannya.

Kisah bermula pada awal-awal reformasi ketika para penggagas berteriak “hentikan” kekerasan didalam menyelesaikan persoalan. “Tentara harus professional. Tidak boleh cawe-cawe politik praktis. “Jangan korupsi”. Perempuan harus dihargai. Kesemuanya sang penggagas kemudian malah terjebak dengan slogan yang mereka usung sendiri.

opini musri nauli : MEMBERANTAS TERORISME ZAMAN NOW


Membaca, mengamati dan menelisik “peristiwa huru-hara” MAKO Brimob dan “upaya penyelesaiannya” menarik perhatian saya.

04 Mei 2018

KISAH 3 KOLI KARUNG



“Ketua, ada 3 karung. Bisa dibawa ke Banjarmasin”.
Suara ditelephone mengabarkan.

Sebagai “amanah”, tanpa berfikir panjang segera kuiyakan kabar dari temanku. Harry dari Scale Up. Memegang amanah lebih berat. Dilan saja tidak mampu.

Kamipun bertemu di bandara dengan Staff Scale Up. Akupun kaget. Melihat tumpukan 3 koli karung. Berisikan kaos dan mug. Kamipun bernegosiasi. Berapa yang bisa dibawa dan berapa yang nanti ditinggalkan.

Kepanikan mulai melanda. Terbayang berapa biaya ekstra bagasi yang mesti kutanggung. Tapi setelah kutimbang-timbang. Menjalankan amanah melebihi harga dari ekstra bagasi.

Dengan niat baik. Alhamdulilah. Cuma dikenakan Rp 350 ribu.

Turun di Jakarta, perjalanan 3 koli karung mulai menemukan petualangannya.

Akupun mulai berfikir keras. Turun ditengah jalan dengan membawa 3 koli karung memerlukan perjalanan panjang. Biasanya aku naik Damri namun tidak mungkin lagi kulakukan. Sudah seharusnya harus mulai naik taksi. Sebuah kemewahan yang sudah lama tidka kurasakan.

Dengan naik taksi dibandara di jam sibuk tentu saja memerlukan ekstra.

Turun di Kantor Walhi, kutitipkan disana. Selain memang belum berencana segera ke Banjarmasin karena adanya agenda di Jakarta. Akhirnya barang ini sempat “ngendon” selama 4 hari di Eknas Walhi.

Mulai senin, mulai berhitung. Siapa saja yang mesti berangkat ke Banjarmasin. Dengan kalkulasi harus 4 orang yang mengangkut barang sehingga aman dari ekstra bagasi menimbulkan masalah tersendiri.

Akhirnya disepakati hari rabu dengan mengirimkan 2 koli karung dengna menitipkan 3 orang. Sengaja 1 koli akan saya bawa sendiri dengan berbagi beban.

Menaik maskapai Garuda dengan ekstra bagasi hingga mencapai 18 kg kemudian membengkak menjadi Rp. 515 ribu.

Waduh. Ini sih seperti tiket baru. Tapi sudah keburu bawa barang ke bandara dan tidak mungkin dibawa kembali. Akupun bergegas membayar.

Keesokan harinya, malah aku cuma kelebihan bagasi 8 kg. Ya. Cuma 143 ribu.

Dengan melihat perjalanan panjang 3 koli karung yang berisikan kaos dan Mug, akupun berfikir ulang.

Alangkah mahalnya perjalanan panjang 3 koli karung. Namun apabila kutimbang-timbang, perjalanan 3 koli karung justru adalah amanah yang tidak cuma sekedar dihitung dengan sejumlah ongkos ekstra bagasi.

Menyampaikan barang hingga ke tempat tujuan itulah harga tidak ternilai dari sebuah amanah. Amanah dari teman yang sudah mempercayakan perjalanannya.

Terima kasih, Brow.. Barang sudah sampai. Janji kutunaikan.




03 Mei 2018

opini musri nauli : MAKNA KEDATANGAN IMAM BESAR AL AZHAR


Disela-sela pertemuan   High Level Consultation of World Moslem Scholars on Wasatiyyah Islam di Bogor, 1-4 Mei 2018, Grand Syaikh Al Azhar, Mesir, Prof. Dr. Ahmed Al Thayyeb (sering juga disebut Mufti Al Azhar atau Imam Besar Mesjid Al Azhar) menyempatkan diri datang ke PBNU. Pertemuan yang dimaknai sebagai “pentingnya” agenda silahturahmi ke PBNU dalam rangkaian perjalanan di Indonesia.



Tentu saja, sebagai tokoh yang paling berpengaruh didunia Islam, peran Imam Besar Al Azhar[1] tidak dapat diabaikan saja. Al Azhar sebagai salah satu “kiblat” menghasilkan intelektual islam yang mampu menjelaskan persoalan Ibadah dengan jalur dan jejaknya hingga ke akarnya (nasab) hingga mampu menjelaskan Islam dengan wajah teduh. Upaya yang jauh meninggalkan Arab Saudi yang kini “terseok-seok” hendak membenahi dengan upaya modernisasi yang dilakukan Sang Putra mahkota.

KISAH SANG PENYAKSI


“Bang, Abang jadi Tim Panelis Debat Publik KPU Jambi, ya”
Demikian pembicaraan diujung telp.

Sayapun terhenyak. Saya yang merasa bukanlah apa-apa apabila dibandingkan dengan Tim Panelis yang lain. Baik karena pengalaman maupun gelar akademik membuat saya berfikir ulang.

Tema yang diangkatpun adalah Hukum dan Lingkungan Hidup. Tema yang menurut saya masih jauh disebut sebagai panelis.

“Abang selalu kritis dan paling paham” kata sang penelphon terus meyakinkan saya. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan sarannya, saya kemudian mengikuti proses menjadi Tim panelis Debat public KPU Jambi.

Mekanismepun dijalani. Saya kemudian mengirimkan pertanyaan kepada tim untuk dibahas. Dan pertanyaan itulah yang kemudian saya sodorkan kepada Moderator pada saat hari H.

Sebelum dilaksanakan acara hari H, kamipun berkumpul. Di Rumah Makan di sipin ujung.
“Temanya sih, simulasi dengan Moderator”. Bak kata Orang melayu Jambi. “Tak kenal maka tidak sayang”. Demikian kata sang punya hajat acara.

Sayapun kemudian mengenal Sang Moderator. Anak SMP 7 Negeri Jambi. Dan Bang Amri Amir (Ketua Tim Panelis) kemudian menyambar. “Ya. Kita satu Alumni’.

Untuk mengukur “masih ada Jambi atau tidak”, Berbagai celetukan khas Jambi disampaikan. Sekalian menguji “apakah dia anak Jambi atau tidak’. Hampir istilah Jambi disambar dengan cepat sang moderator. Entah dengan Bahasa Tempoyak, sembari “kick” balik dengna khas anak Jambi. “oh. Ternyata anak Jambi tokh”. Kamipun lega. Khawatir issu ini akan disambar dan menjadi tema tersendiri. Sembari hendak bubar, kamipun berphoto sejenak. Ya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Tidak terfikir akan menjadi kenangan yang penting.

Usai debat public Pilwako Jambi, bukan tema yang disampaikan para candidate yang bersilewaran di media massa yang paling menarik perhatian saya. Tapi sang “Host’ yang “Dianggap lebih nasional” daripada “Host Jambi’.

Sayapun “tergelitik” untuk nimbrung.

Pertama. Menempatkan tokoh nasional baik di Tim Panelis maupun host moderator adalah “Kekeliruan” mental “underminded’ yang masih kuat dikalangan masyarakat. Cara ini haruslah ditinggalkan. Selain “yang paling paham” masalah daerah, ya orang Daerah itu sendiri, juga cara ini sudah harus ditinggalkan.

KPU Jambi sudah meninggalkan tradisi ini. Dengan menempatkan “orang-orang Jambi”, KPU Jambi justru “mempercayakan” orang Jambi yang membicarakan Jambi. Cara ini lebih unggul karena karena setiap detail nafas Jambi masih dalam ingatan kolektif para tim Panelis. Data-data yang diperlukan hanya memperkuat analisis pembahasan. Tidak perlu lagi “tracking’ ataupun menduga-duga mengenai persoalan Jambi.

Selain itu, seluruh para candidate pastilah dikenal baik oleh Tim Panelis. Baik latar belakang sebelumnya, jejak politik, pandangan politik maupun berbagai ucapan di media massa. Cara ini berhasil “Mengepung” para candidate terjebak dengan jawabannya sendiri.

Saya saja sering-sering senyum simpul mendengarkan jawaban dari para candidate.
Alhamdulilah. Tim Panelis berhasil “memberikan pertanyaan” yang hingga akhir tidak mampu dijawab dengan tuntas oleh para candidate.

Kedua. KPU Jambi justru mengangkat “putri Jambi” yang sukses di tingkat nasional. Saya justru mendapatkan penjelasan dari tim KPU ketika saya bertanya siapa “host” acara tersebut.

Sebelum kedatangan Host yang dimaksudkan, Tim KPU Jambi dengan enteng menyampaikan. “Orang Jambi-lah bang”.
Nah. Makanya ketika kedatangan host ditemani teman sekolahnya di Jambi, joke-joke Bahasa Jambi sengaja dikemukakan agar menguji “Orang Jambi’. Dan akhirnya sayapun lega.

Ketiga. Sebaiknya perbanyak tabayun untuk menentukan siapakah “Host”. Jangan mentang-mentang sudah berkiprah di nasional malah langsung disebut “host” nasional dan meminggirkan host Jambi.

Bukankah masih ada akses di KPU Jambi untuk memastikan “siapa sih host” ?. Khan lebih enak ditanyakan langsung daripada publish di public.

Bukankah host yang sekolah di Jambi, masih punya kawan di Jambi, masih fasih Bahasa Jambi masih disebut anak Jambi.

Yang keliru, apabila kita justru menganggap “orang nasional” yang pantas menjadi Tim Panelis debat public dan “terkesan keren”.

Atau memuja kepala Daerah yang tidak pernah lahir, sekolah, kawin di Jambi setinggi langit.

Tapi sudahlah. Sayapun teringat kata ujaran bijaksana dari Kampung. “Raja turun singgana, pergilah betapa’.

“Mungkin adek lelah, ya”. Kata Putra terkecil kalo disuruh balas SMS. Dan lebih suka video call Whattapp.