09 Juli 2011

opini musri nauli : BABAK BARU PENGADILAN DI JAMBI


Hari Kamis Tanggal 7 Juli 2011, sejarah babak baru dimulai dari Pengadilan Negeri Kuala Tungkal. 2 orang hakim memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dalam Kasus Korupsi Pembangunan Kantor Camat Merlung Tahap II. Walaupun Putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didalam rumusan pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999, namun pendapat yang disampaikan oleh 2 orang hakim (dissenting opinion) merupakan babak baru dalam sejarah peradilan di Pengadilan Jambi.

Sekali lagi, terlepas dari Putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal menyatakan terdakwa bersalah, namun dissenting opinion yang disampaikan oleh 2 orang hakim terlalu menarik dan terlalu sayang untuk dilewatkan.

Sebagaimana sering dikabarkan oleh media massa, 5 orang terdakwa (termasuk mantan Kepala Dinas PU Kabupaten Tanjung Jabung Barat) dipersidangkan di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal. Dalam pertimbangannya, tuduhan terhadap terdakwa yaitu melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dalam rumusan pasal 2 dan rumusan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Dalam fakta-fakta persidangan dan kemudian dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara inil, tidak ditemukan “kerugian Negara”. Unsur penting dalam tindak pidana korupsi.

Majelis Hakim mempertimbangkan, selain karena hasil audit BPKP dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan namun didalam persidangan, ahli BPKP yang dihadirkan kemudian menyatakan “tidak ada lagi kerugian negara”. Selain itu juga, Majelis Hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan bahwa yang berwenang untuk menghitung “kerugian negara” adalah BPK sebagaimana dalam rumusan UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK.

Dalam pembuktian terhadap fakta-fakta persidangan, justru “negara tidak dirugikan” dengan fakta-fakta yang berkaitan ”terdapat kelebihan volume”, ”negara mendapatkan denda keterlambatan”, ”sistem pembuktian terhadap pekerjaan yang telah selesai dikerjakan”.

Dengan fakta-fakta tersebut, maka menurut pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan ditemukan fakta-fakta tersebut, maka “unsur kerugian Negara”, sebuah unsur essensial dari tindak pidana korupsi “tidak terbukti”. Sehingga didalam pertimbangannya, unsur “kerugian negara” dalam dakwaan pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 199 tidak terbukti.

Namun dalam pembahasan tuduhan pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999, Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan ”memalsukan” dokumen, sebuah unsur “memalsukan” dalam rumusan pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999.

Dari titik inilah, dimulainya perbedaan pendapat dari hakim yang mengadili perkara ini. Walaupun terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan, namun didalam melihat apakah terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, menimbulkan perbedaan pendapat. Apabila hakim yang lain menyatakan, terdakwa dapat dipersalahkan, namun 2 orang hakim menyatakan ”tidak dapat dipersalahkan. 2 orang hakim menyatakan, bahwa para terdakwa tidak dapat dipersalahkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. bahwa para terdakwa walaupun melakukan perbuatan ”memalsukan” dokumen, namun perbuatan tersebut tidak dapat dipersalahkan kepada para terdakwa.
2. Perbuatan para terdakwa dilakukan untuk menyikapi akhir tahun.
3. pekerjaan tersebut telah selesai dikerjakan
4. negara tidak dirugikan, ”terdapat kelebihan volume”, ”negara mendapatkan denda keterlambatan”.
5. tidak ada ”niat jahat” dari para terdakwa. Ini ditandai dengan tetap dikerjakan pekerjaan tersebut (walaupun telah melewati waktu yang telah ditentukan).
6. Dengan demikian, maka unsur ”melawan hukum” tidak ditemukan lagi.
7. Selain itu juga, fakta-fakta yang terjadi dan telah dipertimbangkan merupakan syarat telah terpenuhinya alasan penghapus tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden).
8. Dengan melihat fakta-fakta yang telah dipertimbangkan, maka para terdakwa ”seharusnya” tidak dapat dipersalahkan. Dan terdakwa harus dilepaskan dari segala tuduhan (onslaag van alle rechtvervolging)

Dissenting Opinion yang disampaikan oleh 2 orang hakim merupakan terobosan hakim dan merupakan sejarah baru di Pengadilan di Jambi. Dissenting opinion memperkaya gagasan kita melihat sebuah persoalan yang terjadi dan mengikuti “pertarungan” gagasan sebelum para terdakwa dijatuhi pidana.

Dalam catatan penulis, hampir praktis, tidak pernah ditemukan pendapat berbeda hakim (dissenting opinion) dalam sebuah putusan pengadilan di Jambi.

Dissenting opinion menarik perhatian publik disaat Putusan Akbar Tanjung dalam tingkat kasasi. Walaupun Akbar Tanjung dinyatakan bebas dari segala dakwaan, namun Hakim Agung Abdurrahman Saleh (kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung) menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Begitu juga dalam Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Komariah Emong Sapardjaja dalam Pengujian UU Pornografi. Bahkan dalam pengajuan pembatalan ”hukuman Mati” dalam tindak pidana narkotika, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.

Tentu saja, penulis tidak mungkin memaparkan seluruh dissenting opinion dalam perkara di Mahkamah Konstitusi yang hampir praktis mewarnai ”gagasan” dalam Putusan di Mahkamah Konstitusi.

Pada Hakekatnya Dissenting Opinion adalah merupakan perbedaan pendapat yang terjadi antara Majelis Hakim yang menangani suatu kasus tertentu dengan Majelis Hakim lainnya yang menangani kasus tertentu lainnya. Majelis hakim yang menangani suatu perkara apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan. Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan namun kemudian menuangkan pendapatnya yang merupakan satu kesatuan dengan putusan.

Di negara kita Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang di diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Dalam berbagai tulisan, disebutkan Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion, yaitu :
1. dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut;
2. sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi Hakim berdasarkan kualitas putusan Hakim;
3. sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan;
4. dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan Aspirasi Hukum yang berkembang dalam masyarakat;
5. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif.

http://www.lawmotion.net/2011/07/babak-baru-pengadilan-di-jambi.html