28 Januari 2015

opini musri nauli : Hak Imunitas


Akhir-akhir ini ruang publik disibukkan wacana pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK. Hak imunitas diwacanakan setelah melihat ancaman keberadaan komisioner KPK yang dikriminalisasi dan terus menerus “diseret” dalam tarik menarik “ dalam  laporan di kepolisian.

Bermula dari penangkapan Bambang Widjojanto (BW) dan laporan yang terus berlanjut terhadap Adnan Pandu Praja dan Abraham Samad.

Praktis komisioner KPK tinggal 3 orang setelah Busro Muqaddas (BM) habis masa jabatan dan belum dipilihnya pengganti BM dan mengundurkan diri BW setelah ditetapkan tersangka.

Melihat keadaan demikian, wacana mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perpu memberikan hak imunitas kemudian komisioner KPK untuk menjalankan tugas-tugas di KPK.

Reaksipun bermunculan. Ada yang setuju pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK. Namun banyak yang menolak dengan alasan “tidak ada satupun warganegara” yang bebas dari proses hukum. Alasan klasikpun digunakan. Asas equality before the law. Asas persamaan dimuka hukum.

Sebelum kita menyetujui hak imunitas, hak imunitas telah mendapatkan perhatian penuh dari berbagai kalangan. Didalam kamus Bahasa Indonesia, imunitas ditafsirkan hak anggota lembaga perwakilan rakyat dan para menteri untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dl lembaga tsb tanpa boleh dituntut di muka pengadilan. Atau hak para kepala negara, anggota perwakilan diplomatik untuk tidak tunduk pd hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara yg dilalui atau negara tempat mereka bekerja; hak eksteritorial.

Dengan melihat definisi, maka imunitas berkaitan dengan melepaskan pertanggungjawaban hukum yang berkaitan dengan pekerjaan.

Apabila kita lihat didalam berbagai peraturan, maka imunitas kemudian dapat kita lihat didalam konstitusi terhadap Presiden/wakil Presiden. Presiden/wakil Presiden diberikan privilege terhadap proses pemeriksaannya dari berbagai proses hukum.

Privilege diberikan selain “menghargai” Presiden sebagai kepala negara juga berkaitan dengan “perlindungan dan kepastian terhadap roda pemerintahan. Ketentuan ini diatur setelah didalam konstitusi setelah kita mengalami pengalaman buruk jatuhnya Presiden Soekarno pada tahun 1967, karena ditariknya mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 hanya dengan alasan mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno, yang dinamainya Nawaksara, mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G 30S/PKI .

Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 diturunkan ditengah jalan dengan alasan Presiden Abdurrahman Wahid dinilai telah melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.

Kepala Daerah pernah mempunyai hak imunitas dalam “pemanggilan baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka yang memerlukan izin dari Presiden” sebagaimana diatur didalam pasal 36 a UU Pemda. Namun hak ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Begitu juga notaris yang semula “tidak bisa dilakukan dilakukan pemeriksaan terhadap notaris sebelum adanya persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah” sebagaimana diatur didalam pasal 66 UU Notaris. MK kemudian membatalkannya.

UU Lingkungan Hidup juga memberikan perlindungan kepada pejuang lingkungan (human right defender). Begitu juga wartawan yang dilindungi dengan UU Pers.

Dalam kasus Dr. Dewa Ayu yang menghebohkan, kalangan dokter berlindung UU Kedokteran. Dr. Dewa Ayu tidak dapat dipersalahkan kematian terhadap Julia Fransiska Makatey (25).

Di tingkat Pengadilan Negeri Manado, sang dokter dibebaskan. Namun MA memutuskan Dr. Dewa Ayu dkk dianggap bersalah sehingga bertanggungjawab secara hukum. MA tetap menghormati hak imunitas Dr Dewa Ayu, namun Dr. Dewa Ayu dianggap lalai.

Hakim dan Jaksa Penuntut Umum diberikan hak imunitas. Hak imunitas diberikan agar sebelum dilakukan penangkapan maupun penahanan memerlukan izin. Bahkan Kepala Desapun diberikan hak imunitas termasuk izin untuk dilakukan penangkapan, penahanan maupun pemeriksaan dalam proses hokum sebagaimana diatur didalam PP No. 72 tahun 2005.

UU Advokat juga memberikan hak imunitas kepada Advokat. Hak imunitas diberikan kepada advokat agar advokat bebas dalam melaksanakan tugasnya termasuk mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara. Didalam Surat keputusan Bersama antara kepolisian Republik Indonesia dengan PERADI, pemanggilan terhadap advokat baik sebagai saksi maupun tersangka disampaikan terlebih dahulu kepada PERADI. PERADI kemudian mengadakan sidang dan membentuk Dewan Kehormatan untuk  memeriksa advokat. Bahkan PERADI sendiri memastikan advokat harus memenuhi panggilan dari penyidik sebagai bentuk kewajiban warganegara memberikan kesaksian sebagaimana diatur didalam pasal 224 KUHP. Hak imunitas advokat kemudian diperkuat oleh MK.

Melihat ketentuan hak imunitas terhadap Presiden, Kepala Daerah, Notaris, dokter, aktivis lingkungan, wartawan, hakim, jaksa penuntut umu, Kepala Desa dan advokat maka hak imunitas dapat diberikan kepada Komisioner KPK.

Hak imunitas diberikan dilandasi penghormatan kepada komisioner KPK didalam menjalankan tugas-tugasnya didalam memberantas korupsi. Dan untuk menjamin terhadap kepastian hokum dan perlindungan (privilege) dari gangguan upaya sistematis penghancuran KPK.

Hak imunitas kemudian diberikan kepada komisioner KPK dari proses pemanggilan, penangkapan, penahanan terhadap komisioner KPK yang memerlukan izin dari Presiden.

Hak imunitas diberikan dengan itikad baik dan ditempatkan dalam sistem peradilan pidana.  Hak imunitas tidak menghilangkan proses hokum (kekebalan hokum) dan menempatkan diri komisioner KPK lepas dari tanggung jawab hokum. Namun hak imunitas tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam tertangkap tangan.

Sehingga tidak tepat ada wacana, pemberian hak imunitas kepada komisioner KPK mengabaikan asas persamaan dimuka hokum (equality before the law).



Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 3 Januari 2015