11 Maret 2004

opini musri nauli : golongan putih sebagai sikap politik perlawanan kelas menengah




Memilih adalah hak Tidak memilih juga hak Beberapa waktu yang lalu penulis membongkar dokumen-dokumen dan arsip-arsip lama. 

Kegiatan ini penulis lakukan karena penulis hendak mencari data-data dalam penulisan tugas sehari-hari dalam melakukan analisis peraturan yang digunakan terhadap perjuangan tani dalam melakukan perjuangan tanahnya akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit. 

Penulis menemukan surat seruan Politik dari Megawati agar tidak memilih dalam Pemilu tahun 1997. 

Surat yang lama tersebut sebenarnya sikap politik PDI Pimpinan yang dianggap sah yang tidak diikutisertakan Pemilu 1997 oleh rezim Soeharto ketika itu. 

Publik masih ingat ketika itu Partai Demokrasi Indonesia berhasil mengantarkan Megawati menjadi Ketua Umum pada Kongres di Surabaya. Soeharto yang berkuasa ketika itu kemudian tidak suka terpilihnya Megawati dan mengadakan Kongres di Medan. 

Kongres ini walaupun dianggap tidak sah memilih Soerjadi dan Buttu Hutapea sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PDI Soeharto. 

Ketakutan Soeharto ketika itu adalah apabila Megawati dibiarkan memimpin PDI dan mencalonkan diri menjadi Presiden tentunya akan mengganggu singgasana kekuasaan Presidennya. 

Maka PDI sponsor Pemerintah ketika itu yang tentunya penuh dengan rekayasa menggunakan perangkat didaerah diantaranya menggunakan Sospol untuk memberangkatkan Ketua PDI didaerah untuk menyukseskan Kongres PDI tersebut. Kongres di Medan berhasil kemudian memilih Ketua dan Sekjen PDI walaupun tidak mendapatkan dukungan dari berbagai Cabang PDI di Indonesia. 

Praktis PDI yang disponsor oleh Soeharto ini tidak mendapatkan dukungan dari anggota PDI. Puncak perseteruannya adalah perebutan Kantor PDI yang terkenal dengan kejadian Kerusuhan 27 Juli 1996 (KUDA TULI – Kerusuhan 27 Juli). 

Maka Megawati sebagai Ketua Umum PDI yang sah kemudian menyerukan ajakan untuk tidak memilih partai peserta pemilu 1997. 

Momentum ini digunakan penulis sebagai sikap politik penulis terhadap riuh rendahnya masa kampanye sekarang. 

Masa yang dimulai tertanggal 11 Maret 2004 menjadi saksi bagaimana hiruk pikuk politik di Jambi juga tertular dari suasana politik Nasional. 

Seluruh konsentrasi peserta pemilu praktis menyita perhatian sehingga pendidikan politik di Indonesia terpusat kepada politik identik dengan pemilu. 

Dalam ruang yang demikian hiruk pikuk ini, ketika seseorang mengambil sikap politik untuk tidak memilih menjadi persoalan dan menggugah penulis untuk mendiskusikannya. 

Urusan memilih, dipilih dan tidak memilih adalah urusan yang menjadi hak yang haruslah diperjuangkan. Memilih adalah hak. Dan dipilih juga hak. 

Hak ini telah diatur sebagai hak yang paling mendasar sebagaimana sering diteriakkan oleh kalangan pejuang HAM. 

Dalam konsep HAM disebutkan, tiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri baik langsung maupun melalui perantaraan wakil-wakilnya. 

Tiap warga negara harus berhak dan berkesempatan tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tak wajar (unreasonable restriction) seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau yang lain, asal usul kebangsaan ataupun status sosial, harta milik, kelahiran ataupun status lain, berpartisipasi dalam urusan umum baik langsung maupun wakil-wakil yang dipilih secara bebas, memilih dan dipilih dalam pemilihan yang berskala bebas dan dengan hak pilih sama (Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Diskriminasi Tentang Pekerjaan dan Jabatan).

Dari dalil itulah kemudian Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan pasal 60 UU No. 12 Tahun 2003. 

Dan dalil inilah yang kembali membuka mata kita bahwa urusan memilih dan dipilih adalah hak yang universal yang tidak terjebak kepada kepentingan jangka pendek dan politik sempit sebagaimana diperlakukan oleh Eks anggota organisasi gerakan 30 September 1965 oleh Pemerintah Soeharto. 

Namun yang dilupakan bahwa hak untuk memilih dan dipilih juga berlaku terhadap hak untuk tidak memilih. 

Hak untuk tidak memilih adalah sebagai identitas kelas menengah terhadap perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak terjadinya proses peralihan kekuasaan yang berpihak kepada rakyat. 

Walaupun ajakan ini sebenarnya telah digagaskan oleh Kelompok Arief Budiman tahun 1971 namun gerakan yang dikumandangkan oleh Megawati berdampak luas. 

Apabila kelompok Arief Budiman menjadikan gerakan untuk tidak memilih tahun 1971 yang kemudian terkenal dengan gerakan golput hanya menjadi gerakan yang lebih banyak dibahas pada tingkatan kalangan kelas menengah ketika itu, ajakan Megawati tahun 1997 lebih bermakna dan mempunyai gaung yang luas. 

Pemilu 1997 walaupun sukses namun memberikan catatan politik dimana hasil pemilu kurang mendapatkan kredibilitas dari rakyat. Suasana ketidakpuasan dengan hasiln pemilu 1997 semakin mengkristal dan tahun 1998 berhasil menggulingkan Pemerintahan Soeharto yang peran mahasiswa turut mempercepat proses kejatuhan tersebut. 

Catatan ini sengaja penulis sampaikan sebagai ingatan kolektif pendidikan politik yang diserukan oleh Megawati ketika itu. 

Dan ingatan ini juga penulis segarkan karena akhir-akhir ini diskusi mengenai golput tidak diletakkan pada konteksnya. 

Golongan putih (selanjutnya disebut Golput) adalah identitas politik kelas menengah yang menganggap bahwa Pemilu yang diharapkan terjadinya transisi kekuasaan yang dikehendaki oleh rakyat ternyata tidak berjalan. 

Pemilu dianggap hanyalah melanggengkan kekuasaan dan hanya menguntungkan segelintir orang. 

Pemilu lebih dimaknai sebagai proses mobilisasi rakyat untuk mendukung partai dan anggota parlemen tanpa terlibatnya rakyat dalam proses peralihan kekuasaan tersebut. 

Asumsi inilah yang digunakan oleh kalangan yang mengikrarkan dirinya sebagai kelompok golput. Golput adalah orang yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu. 

Di negara yang demokratis seperti Amerika dan negara Eropa, jumlah orang yang mengambil sikap politik seperti ini cukup besar. 

Pemilu ternyata menjadi ukuran bagaimana pemerintah yang berkuasa apakah mendapatkan dukungan dari rakyat atau tidak. 

Praktis konsentrasi politik di negara tersebut, selain ingin mengetahui partai pemenang dalam pemilu dan partai yang mengambil sikap politik sebagai partai oposisi juga ingin mengetahui berapa persenkah rakyatnya yang tidak menggunakan hak pilihnya. 

Jumlah yang besar orang yang tidak memilih dalam Pemilu menjadi catatan penting dalam proses politik di negara tersebut. 

Namun yang harus kita perhatikan adalah bahwa di negara-negara demokratis tersebut selain pemilu, seluruh pilarnya sudah berjalan dengan baik. 

Kekuasaan parlemen cukup mempunyai peranan, selain juga pers yang melakukan kontrol sebagai pilar demokrasi, hukum yang berjalan dengan baik dan berbagai pranata lainnya. 

Artinya secara ringkas dikatakan bahwa walaupun sikap politik rakyat yang mengambil sikap Golput, tetapi proses demokrasi cukup baik. 

Catatan ini haruslah diberi ruang yang cukup agar kita dapat melihat pemilu 2004 secara obyektif. 

Namun yang penulis sesalkan adalah beberapa pernyataan yang keliru dalam melihat persoalan tersebut. 

Seruan Gubernur yang menyatakan bahwa Golput tidak peduli demokrasi. Golput merupakan kelompok orang yang tidak peduli dengan demokrasi, yang disampaikan pada pengarahan pada acara silahturahmi Generasi Muda Propinsi Jambi dengan tema menyongsong Pemilu 2004 di Ballroom Lt V Hotel Novotel Jambi, JI, 29 Feb 2004 haruslah kita kritisi secara serius. 

Selain pernyataan tersebut mematikan semangat demokrasi, pernyataan tersebut juga menyesatkan. 

Sebagaimana telah penulis tegaskan bahwa Memilih adalah hak. Maka tidak memilih juga hak. Dogma ini haruslah kita kembalikan kepada akarnya sehingga kita praktis tidak terjebak dengan kepentingan politik yang justru menyesatkan. 

Dan ruang kita memahami demokrasi tidaklah sesempit ruang sebesar bilik suara. Penulis kemudian tersentak dan langsung ingat dengan suasana pemilu tahun 2004. 

Suasana Pemilu yang didukung oleh rakyat untuk menyukseskan ternyata menimbulkan distorsi pendidikan politik yang salah. 

Seluruh tokoh-tokoh politik kemudian menyalahkan siapa saja yang tidak menyukseskan Pemilu 2004 dan mengkambinghitamkan orang yang tidak memilih sebagai sikap mengacau pemilu. 

Menurut penulis selain pernyataan ini menyesatkan juga dapat memberikan pendidikan politik yang keliru didalam masyarakat.