20 September 2022

opini musri nauli : Aur



Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, “aur” kemudian diartikan “duri bambu yang berduri, kuning bambu kuning, licin bambu yang tidak berduri”.


Kekerabatan Melayu dapat dilihat dalam seloko adat. “Sumpah setio. Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengna tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dadober berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang”


“Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing. Serenteh bumbun. 

opini musri nauli : Perkawinan Beda Agama

 


Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan peristiwa perkawinan beda agama. Sebuah tema yang memantik dan perhatian publik. 


Terlepas dari polemik yang membuat publik sempat berdegub kencang, sekaligus tema yang sangat sensifit, tema ini tentu saja menarik untuk dikaji dari pendekatan hukum. 


Sebenarnya sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), menurut data berbagai sumber, perkawinan beda agama pertama kali diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk Besluit van 29 Desember 1896 No.23, Staatblad 1898 No. 158, 


Regulasi ini kemudian menetapkan sebagai Peraturan Perkawinan Campur (PPC). Regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda termasuk mengatur tentang perkawinan campur yang tegas mencantumkan “Perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.


Namun pengaturan ini kemudian dicabut dengan lahirnya UU Perkawinan. UU Perkawinan dengan tegas mencabut tentang PPC yang semula diatur didalam Stab. 1898 No. 158.