07 Juli 2020

opini musri nauli : Koneksi Keluarga, Politik Dinasti atau Nepotistme






Ketika OTT KPK di Kutai Timur, KPK mengingatkan “dampak buruk” dari “Koneksi Keluarga” dalam pemerintahan. Media online sering juga menggunakan istilah “Politik dinasti”.

Istilah “koneksi keluarga” atau “politik dinasti” merupakan istilah baru setelah sebelumnya kita mengenal istilah “Nepotisme”. Nepotisme kemudian sering dipadankan dengan istilah “kolusi” dan “korupsi”.

Praktek “korupsi”, “kolusi” dan “Nepotisme” (sering juga disebut KKN) kemudian dikenal dan menjadi tagline dalam pemberantasan korupsi paska “lengser keprabon” Soeharto.

Redaksi “KKN” kemudian termaktub didalam UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU anti KKN).

Apabila merujuk UU anti KKN, maka “korupsi” adalah tindak pidana. UU No. 31 tahun 1999 kemudian mendefinisikan korupsi seperti “perbuatan melawan hukum”, “menguntungkan diri sendiri/orang lain”, “merugikan keuangan negara”. Makna korupsi kemudian juga mengatur “tindak pidana penyuapan” (norma yang diatur didalam KUHP).

Sedangkan kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Dengan demikian maka istilah “koneksi keluargaatau “politik dinasti” harus dibaca sebagai “nepotisme” kekhususan “nepotisme dalam keluarga”. Praktek yang sering dilihat diberbagai daerah.

Yang menarik adalah ketika OTT di Kutai Timur, justru sang suami adalah Bupati. Sedangkan sang istri malah menjadi Pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Timur. Sehingga proses check and balance justru dalam satu rumah tangga.

opini musri nauli : Kesalahan Dalam Berdebat





Tidak dapat dipungkiri, manusia sebagai makhluk social selalu berkomunikasi. Baik untuk menyampaikan gagasan, menuangkan pikiran, mempertahankan argumentasi, menguji gagasan bahkan memperjuangkan gagasan.

Dalam interaksi social, komunikasi yang digunakan tidak terlepas dari “sanggahan”, “bantahan” dari pihak lawan. Sehingga perbedaan pandangan kemudian dikenal sebagai debat.

Didalam mengelola pemikiran, seni untuk mengelola perbedaan pandangan kemudian dikenal sebagai “seni berdebat”. Seni ini mengajarkan bagaimana ide dapat ditangkap dan dipahami sebagai kerangka berfikir untuk melihat sesuatu perbedaan.

Secara lahiriah, perbedaan adalah kodrati. Jangankan dalam satu komunitas yang sama. Dalam satu keluarga, perbedaan pandangan sering mendominasi pembicaraan.

Didalam keluarga, putra-putra saya mempunyai perbedaan dukungan tim sepakbola. Yang Pertama dikenal sebagai pendukung Barcelona yang fanatic dengan Messi. Adiknya dikenal pendukung Real Madrid yang mengagumi Christian Ronaldo (sebelum menyeberang ke Juventus). Si Bungsu dikenal pendukung Arsenal.

opini musri nauli : Senin Ceria




“Bang, bangun.. Katanya mau urusan.. Cepat !!!”, kata istriku menggerakkan badan. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 wib.

Dengan malas saya bangun. Urusan kerjaan memang tidak boleh diabaikan. Walaupun telat, karena matahari sudah menampakkan cahaya panas, sayapun bergegas.

Setelah mandi dan kemudian pergi menyelesaikan pekerjaan, saya kemudian mampir ke kantor. Janjian pertemuan dengan jaringan nasional. Menggunakan fasilitas webinar (zooming).

Urusan mampir ke kantor Cuma urusan sepele. Selain fasilitas wifi, sembari santai juga menggunakan kesempatan untuk sekedar baca-baca buku.

Kulihat masih jam 10.30 wib. Masih ada sekitar 2 jam lebih dari janjian di zooming.