04 November 2017

opini musri nauli : Problema pasal zinah menurut hukum


Akhir-akhir ini seruan agar pasal perzinahan di KUHP disesuaikan dengna perkembangan dan pandangan masyarakat Indonesia. Problema makna “zinah” didalam KUHP dan makna “zinah” menurut hukum adat dan agama di Indonesia menjadi hukum tidak sesuai dengan perkembangan di Indonesia.


Problema mulai muncul ketika pasal perzinahan didalam KUHP tidak sesuai dengan pandangan di Indonesia.

Didalam KUHP, pasal perzinahan termasuk kedalam TITEL XIII MISDRIJVEN TEGEN DE BURGERLIJKE STAAT (Bab XIII - Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan). Menurut KUHP, pasal 284 KUHP “(1) Met gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft, 1.    a.    de gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is, overspel, b.    de gehuwde vrouw die overspel pleegt. 2.    a.    de man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is. b.    de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is.

Pasal 284 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;  b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Dari berbagai terjemahan WvS yang beredar di pasaran, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan istilah pengganti dari overspel.

Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan kata atau istilah mukah atau gendak. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.

Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel  berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.
Artinya “di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik tanpa pengecualian.

Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger. Perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah.

R. Soesilo didalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Jadi maknanya adalah “terikat perkawinan”. Sedangkan Andi Hamzah menyebutkan zinah disebut overspel. Pengertian overspel ini adalah hubungan kelamin di luar nikah, khusus hanya bagi pihak yang terikat perkawinan dengan orang lain. Andi Hamzah memakai terminologi “mukah” dalam KUHP yang diterjemahkan olehnya. Jadi, kata “zinah” di sini sama sekali bukan “zinah” dalam terminologi Islam. Zinah dalam KUHP mengacu kepada bahasa pendahulunya yaitu overspel.

Sejarah Overspel mengacu kepada pandangan agama yang menempatkan perzinahan sebagai bentuk pengingkaran terhadap lembaga perkawinan. Oleh karena itu, perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai inbreuk op de heilige band van het huwelijk atau suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan.

Gereja Katholik tentang kedudukan hukum yang sederajat antara pria dengan wanita itu telah diikuti oleh pembentuk undang-undang di negeri Belanda yang dapat dilihat cara mereka merumuskan ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 340 sampai dengan Pasal 344 Criminal Wetboek voor het Koninklijk Holland (KUHP Belanda) yang mengatur perzinahan sebagai sutau perbuatan yang terlarang dan dapat diancam pidana.

Semula saat Wetboek van Strafrecht (KUHP) itu dibentuk, perzinahan tidak dimasukkan ke KUHP sebagai sebuah delik (kejahatan). Akan tetapi atas usul Mr. Modderman, perzinahan dimasukkan sebagai salah satu perbuatan yang terlarang dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Alasan yang dipakai Mr. Modderman adalah apabila perzinahan itu tidak diatur dalam WvS dikhawatirkan akan mendatangkan kerugian bagi kesusilaan.

Atas usul Modderman itu, kemudian perzinahan dicantumkan sebagai salah satu delik kesusilaan di dalam WvS yang sedang dibentuk. Dengan demikian wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria yaitu bukan hanya berkedudukan sebagai subyek dari tindak pidana perzinahan akan tetapi berkedudukan pula sebagai pihak yang sama. Artinya, pihak wanita berhak pula mengajukan pengaduan dan gugatan perceraian jika perbuatan itu dipandang perlu baginya.

Dengan mengikuti makna “overspel” yang menempatkan unsur “zinah” sebagai salah satu terikat perkawinan maka menimbulkan problema di masyarakat Indonesia.

Lalu bagaimana apabila adanya hubungan yang dilakukan “bukan terikat perkawinan” ? Atau dengan kata lain “pelaku” dalam keadaan bebas (lajang).

Dalam alam pikiran Eropa, hubungan antara orang dalam keadaan bebas (lajang) adalah tidak terikat kepada hukum. Sehingga perbuatannya tidak dapat dihukum. Bahkan di kalangan kaum barat pandangan ini biasa dikenal “samenliven”. Indonesia sering menyebutkan “kumpul kebo” atau “gendak” atau “gundik”. Yang tidak terikat perkawinan. Kesemuanya tidak dapat dihukum berdasarkan kepada pasal 284 KUHP.

Menurut Mr. J. E Jonkers, 1946, overspel dikategorikan sebagai “niet-klachtdelict” (Delik aduan bersifat absolut). Waar de wet dezen toestand aanwezig achtte — intusschen kan men hierover met den wetgever van meening verschillen — heeft zij het delict tot een klacht-delict gemaakt en de vervolging afhankelijk gesteld van een door of namens den gelae- deerde in te dienen klacht. Voorbeelden van klacht-delicten zijn. overspel (art. 284 W. v. S.).

Jadi yang berhak melaporkan adalah “pihak lain yang terikat perkawinan (bisa suami atau istri dari pelaku). Begitu pentingnya menempatkan “niet-klachtdelict” adalah penghormatan terhadap pihak perempuan sebagaimana semangat didalam memasukkan pasal 284 KUHP.

Dengan demikian maka pemberitaan terhadap “tertangkap basah dua muda-mudi” atau “tertangkap basah seorang pria berkeluarga dengan seorang perempuan bukan istrinya” tidak dapat dikategorikan sebagai “perbuatan zinah (overspel/gundik/gendak) sebagaimana diatur didalam pasal 284 KUHP. Sehingga penyidik tidak dapat memproses secara hukum. 

Tidak salah kemudian ketika “pasangan yang tertangkap basah” diarak dimuka kampung namun kemudian hanya diminta buat surat pernyataan didepan penyidik dan tidak dapat diproses ke muka pengadilan.

Dalam perkembangannya, pasal ini banyak menimbulkan persoalan sosial di tengah masyarakat. Keenganan penyidik untuk memproses selain tidak dibenarkan menurut pasal 284 KUHP dan bersifat klachtdelict kemudian sering menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat.

Terlepas pasal ini kemudian “diperbaiki” didalam rumusan RUU-KUHP yang tengah digodok di parlemen, berbagai Perda kemudian menetapkan sebagai “tindak pidana ringan’. Sehingga pelaku tetap dapat diproses dan dijatuhi denda.

Baca : RUU Pornografi

Advokat. Tinggal di  Jambi

opini musri nauli : Batin III Ilir



Masyarakat mengenal sebagai Batin III. Tidak mengenal Batin III Ilir. Disebut Batin III terdiri dari tiga dusun asal. Yaitu Dusun Air Gemuruh, Dusun Teluk Panjang dan Dusun Tanjung Menanti. Masing-masing dipimpin oleh pemangku Dusun yang disebut Datuk Rio. Sehingga dikenal Datuk Rio Air Gemuruh, Datuk Rio Teluk Panjang dan datuk Rio Tanjung Menanti. Berpusat di Kampung Baru. Kemudian diberi gelar Rio Peniti Ulu Bungo (Kampung Baru). Ulu Bungo atau Kampung Baru kemudian dikenal sebagai nama tempat Muara Bungo. Pusat Pemerintahan Kabupaten Bungo.


Dahulu tempat di ulu Bungo adalah “tempat umo” yang disebut “umo jajah”. Tempat ini adalah tempat umo dari orang Dusun Lubuk Masam. Sehingga apabila ke Ulu Bungo disebut “ku umo”. Sedangkan balik ke Lubuk Masam kemudian dikenal “balik ke dusun”.

Kampung Lubuk, Lubuk Masam dan Kampung Manggis adalah Dusun Ulu Bungo. Kemudian ditempat “umo jajah” sebagai perkampungan kemudian dikenal sebagai Tanjung Gedang. Tanjung Gedang sering juga disebut sebagai Anaka kandung dari Dusun Manggis. Dusun Kampung Manggis dan Dusun Tanjung Gedang dipimpin oleh Mangku. Mangku adalah pemangku Kampung dibawah pemerintahan Rio.

Atau dengan kata lain, masyarakat berasal dari Kampung Manggis dan “berhumo” di Tanjung Gedang.

Selain itu juga di Ulu Bungo adalah tempat “Nunggu Rajo’. Tempat “Nunggu Rajo” adalah pelabuhan yang biasa disinggahi oleh Raja dari Jambi. Tempat ini terletak Sungai yang membentang antara Dusun Tanjung Gedang dengan Dusun Tanjung Menanti.

Semakin ramainya “umo jajah” dan terjadinya tukar menukar barang sehingga tempat ini kemudian sering dijadikan pasar mingguan (Kalangan). Yang diadakan setiap sabtu sore.

Pesatnya “umo jajah” selain dilintasi oleh batang Tebo dan Batang Bungo yang dialiri air sehingga memudahkan pusat perdagangan. Baik kapal-kapal yang besar hingga hasil panen di tepi batang Tebo dan batang Bungo. Sehingga dengan demikian maka Raja Jambi kemudian menempatkan Rio Peniti yang berpusat di Kampung Baru di Ulu Bungo. Tempat inilah yang kemudian dikenal sebagai tempat Muara Bungo.

Penyebaran masyarakat Tanjung Gedang kemudian ditemukan di Talang Pantai, Sungai Arang. Dalam kekerabatan maka tidak dibenarkan perkawinan antara orang Tanjung Gedang dan Rantau Duku.

Berbatasan langsung dengan Marga Pelepat ditandai dengan Benit. Batin II Babeko di Lubuk Kulim di Danau di daerah Tanjung Menanti, Batin VII di Sungai Tembang dusun Tanjung Agung.

Batin III Ilir kemudian menjadi Kecamatan Batin III dan kecamatan Bungo Dani dan Kecamatan Pasar Muara Bungo. Kecamatan batin III terdiri dari Kelurahan Manggis, Kelurahan Bungo Taman Agung Kelurahan Sungai Binjai, Dusun Lubuk Benteng, Dusun Air Gemuruh, Dusun Purwo Bakti, Dusun Sarana Jaya, Dusun Teluk Panjang. Sedangkan Kecamatan Bungo Dani terdiri Kelurahan Sungai Pinang, Kelurahan Sungai Kerjan, Dusun Sungai Arang, Dusun Talang Pantai, Dusun Pulau Pekan.

Sedangkan Tanjung Gedang kemudian masuk kedalam Kecamatan Pasar Muara Bungo bersama-sama dengan Kelurahan Batang Bungo, Kelurahan Bungo Barat, Kelurahan Bungo Timur,  Kelurahan Jaya Setia.
  
Sedangkan Dusun Tanjung Menanti kemudian masuk kedalam Kecamatan II Babeko. Kecamatan II Babeko adalah Batin II Babeko. 


Catatan Rio dapat dilihat Machmud, A.S, Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia, 2005