22 November 2020

opini musri nauli : Perjalanan Betuah (35)




Membicarakan nama tempat Rawang didalam perjalanan politik (roadshow) merupakan cerita yang sering dtuturkan ditengah masyarakat Merangin. 


Sebagaimana telah disampaikan sebelumya, Hubungan kekerabatan antara Kerinci dengan masyarakat Merangin dikenal sebagai ikatan “kerinci tinggi. Kerinci rendah”. 


Menghubungkan antara “kerinci tinggi. Kerinci rendah” dapat dihubungkan dengan seloko “Luhak XVI”. Muchtar Agus Cholif lebih tepat menyebutkan “Luak”. 


Luak artinya kurang, usak dan tidak cukup lagi. Sehingga Luak atau Luhak diartikan kurang dari XVI. XVI Yang dimaksudkan adalah Marga. 


Sehingga kurang dari XVI, maka yang luak diluar XVI. 

opini musri nauli : Perjalanan Betuah (34)

 


Didalam perjalanan politik (roadshow), Al Haris sempat mendatangi Tembesi, Kabupaten Batanghari. 


Menyebutkan Muara Tembesi selain mudah dilekatkan Batang Tembesi (Sungai yang kemudian bermuara ke Sungai Batanghari), juga tidak dapat dipisahkan dari tutur ditengah masyarakat.


Membicarakan Tembesi sebagai tempat tidak dapat dipisahkan dari Marga Maro Sebo Tengah. Selain Marga Maro Sebo Tengah juga dikenal Marga Maro Sebo Ulu, Marga Maro Sebo Ilir dan Marga Maro Sebo. 


Marga Margo Sebo Ulu berpusat di Sungai Rengas. Marga Margo Sebo Ilir berpusat di Terusan. Sedangkan Marga Maro Sebo Tengah kemudian berpusat di Tembesi. 

opini musri nauli : Pemimpin Betuah

 



Ketika Abdullah Sani (sering dipanggil Yai Sani) menyebutkan berbagai seloko seperti “"Seciap bak ayam. Sedenting bak logam. Adat bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah. Syara’ mengatokan, adat memakai", yang kemudian ditutup didalam pidato penutupannya (Closing statement), “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”, tiba-tiba saya tersentak. Kaget. Sekaligus kagum dengan kelihaian Yai Sani membangkitkan pengetahuan Melayu Jambi. 


Tidak lupa kemudian Yai Sani menambahkan dengan filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”. 


Berbagai seloko Jambi kemudian dijelaskan dengan filosofi Jambi sekaligus membuktikan Yai Sani bukanlah sekedar tokoh politik semata.