Seloko Beras" adalah ungkapan adat yang memiliki makna mendalam dalam masyarakat Melayu Jambi. Makna harfiah dari beras seringkali merujuk pada makanan pokok
Namun dalam konteks seloko maknanya bisa meluas menjadi simbol kesejahteraan, kelimpahan, dan hasil dari usaha atau sanksi adat.
Lihatlah seloko "Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur." Seloko ini menggambarkan kondisi masyarakat yang adil dan makmur.
Ditandai dengan di padi tumbuh subur (menjadi beras), rumput menghijau (untuk ternak), air tenang, dan durian berlimpah.
Ini sejalan dengan filosofi Jawa "gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo".
Kata beras juga merujuk seloko "Beras segantang, atau selemak-semanis". Kata beras menunjukkan salah satu bentuk sanksi adat.
Dengan menggunakan ukuran beras maka
"luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang beras, kelapo betali". Dapat dinilai kesalahan luka ringan dendanya seekor ayam, segantang beras, dan kelapa setali.
Begitu juga seloko Kerbo sekok. Beras seratus. Sekayu kain putih". Sanksi ini merupakan sanksi terberat untuk kejahatan adat yang mengakibatkan kematian atau penganiayaan berat.
Sedangkan "Sekayu kain putih" berarti setumpuk kain putih.
Begitu juga seloko "Ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis". Ini adalah contoh sanksi adat yang diterapkan di Desa Muara Sekalo dan Suo-suo.
Atau seloko "Beras Duo Puluh Canting Kambing Sikuk". Ini adalah denda adat yang berarti 20 kaleng susu beras dan seekor kambing.
Dalam konteks pertanian, "beras" juga muncul dalam deskripsi "Peumoan", yaitu tanah yang dikhususkan untuk penanaman padi dan tidak boleh ditanami tanaman lain. Hal ini menunjukkan pentingnya beras sebagai komoditas utama dan bagaimana masyarakat adat mengatur pemanfaatannya.