13 Agustus 2009

opini musri nauli : PERSEKUTUAN MELAYU LUAK XVI DALAM TARIK MENARIK KULTURAL DAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA



PERSEKUTUAN MELAYU LUAK XVI
DALAM TARIK MENARIK KULTURAL DAN SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

A. KILAS BALIK PEMERINTAHAN DESA
Dalam berbagai dokumen disebutkan, Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud kongkrit pemerintahan sendiri oleh masyarakat setempat (self-governing community) yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya “otonomi asli” karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Lihat Desentralisasi dan Demokrasi Desa, Sutoro Eko, Makalah Disampaikan Dalam Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999 yang diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra Indonesia Medan, dan Pusaka Indonesia, Deli Serdang, Sumatera Utara, 19 November 2003.

Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.

Oleh Blau dan Meyer dikatakan; secara praktis sebenarnya birokrasi atau pemerintahan telah diterapkan masyarakat Mesir Kuno dan Romawi Kuno berabad-abad lamanya, pada saat mereka sibuk mengatur jaringan irigasi, membagi secara adil dan membuat dam-dam(bak penampung air) telah diterapkan prinsip-prinsip pemerintahan/birokrasi. Demikian pula dikatakan oleh Indarwanto (2001;16); masyarakat Jawa Kuno yang konon dahulu Jawa Dwipa atau Pulau Jawa dijuluki sebagai Lumbung Padi di Kepulauan Nusantara ini, sebenarnya telah terbiasa dengan aturan-aturan; Jaga Tirto, Ulu-ulu atau Kuwowo bertalian dengan jaringan irigas, merupakan bentuk dari penerapan bentuk pemerintahan.

Sutoro Eko menggunakan Istilah lokal atau desa yang dimaknai lokal sebagai sebuah proses governance yang terjadi dalam komunitas atau wilayah yang paling dekat dengan warga. Proses governance inilah yang melahirkan istilah pemerintahan sendiri di tingkat lokal (local self-government) atau self-governing community. Pemerintahan sendiri di tingkat lokal (local self-government) atau self-governing community yang paralel dengan otonomi lokal/desa sebenarnya punya tradisi panjang di Eropa, dan juga di desa-desa di Indonesia. Tradisi ini kembali ke negara-kota (city-states) kuno atau kembali ke badan rapat desa dan gereja. Di negara-negara Eropa dikenal berbagai macam nama local self-government, mulai dari dewan komunitas di Spanyol, commune di Italia, parish di Inggris, dan seterusnya. Hanya saja di zaman modern negara-bangsa (nation-states) mengambil posisi dominan dalam sistem politik dan administrasi. Tradisi self-government tidak menyandarkan pada kumpulan prinsip yang koheren, ia jelasnya adalah sekumpulan praktek yang berbeda dan beragam. Namun, dasar umumnya dapat ditemukan: komunitas lokal secara tradisional memiliki tingkat otonomi dalam pengelolaan urusan lokal. Sebutan “tingkat otonomi” menunjuk pada berbagai macam praktek dan pada sifat relatif independensi lokal (Markku Kiviniemi, 2001).
Di Indonesia, tradisi local self-government sudah dikenal lama dalam bentuk desa, kampung, gampong, binua, nagari, lembang, marga dan lain-lain. Menurut bahasa konstitusi Indonesia, local self-government disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang kemudian kita kenal secara luas sebagai otonomi desa atau otonomi lokal. Sejak dulu, desa (atau nama lainnya), merupakan entitas yang mempunyai tata cara, tata pemerintahan sendiri, sistem peradilan, punya kekuasaan untuk mengelola sumberdaya ekonomi secara mandiri dan lain-lain.

Dalam periodesasi perjalanan pemerintahan Desa banyak dipengaruhi berbagai factor. Aturan kebijakan yang mengatur tentang daerah mulai decentralitatie wet 1903, UU 1/1945, UU 22/1948, UU 1/1957, UU 32/1956, UU 18/1965, UU 5/1974, UU 5/1979, UU 22/1999, dan yang paling akhir saat ini UU 32/2004 terdapat beberapa kemiripan isi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakter rejim pemerintahan yang berkuasa yang tentu saja hal ini berpengaruh pada konstruksi desentralisasi.
Konstruksi politik hukum pemerintahan desa sangat bervariatif sejak jaman kolonial hingga saat ini, terutama setelah adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pada jaman penjajahan Belanda, swapraja dibiarkan hidup dan merupakan bagian dari pemerintahan penjajahan berdasarkan suatu perjanjian. Sedangkan volksgemeenschappen adalah desa, nagari, dusun, marga, kampong (gampong, kampuang) dan sebagainya, adalah persekutuan hukum teritorial Indonesia asli yang mandiri, kecuali swapraja. Hal ini dapat diartikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda pada sat itu tidak menghapuskan bentuk pemerintah asli. Kedua bentuk pemerintahan desa tersebut menunjukkan bahwa saat itu ada daerah otonom asli Indonesia, yaitu swapraja dan desa. Meskipun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pengaturan desa dibedakan antara desa-desa di Jawa dan di luar Jawa. Di Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie (IGO), sedangkan di luar Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie voor Buiten Gewesten (IGOB). Ketentuan-ketentuan ini hanya mengatur mengenai organisasi desa, karena desa sebagai pemerintahan asli telah ada jauh sebelum IGO dan IGOB diberlakukan.

Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2 september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya.
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).

Berdasarkan kepada ketatanegaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat dalam Indische Staatsrwgwling, maka Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa.

Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.

Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.

Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche Gemeente sebagai berikut :

Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.

Pengertian tentang Inlandsche Gemeente tersebut di atas tidak lai wujudnya adalah Desa-desa, tidak secara tegas dan terperinci dicantumkan dalam I.G.O dan I.G.O.B. uraian pengertian tersebut disampaikan antara lain dalam rangkaian penyusunan I.G.O di Volksraad tahun 1906.

Selama Jepang menjajah, I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuco; demikian juga cara pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh osamu Seirei No. 7 tahun 2604(1944). Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah menjadi “Ku”. Perubahan ini selaras dengan perubahan sebutan-sebutan bagi satuan pemerintahan lebih atasnya.

Pada jaman kemerdekaan, desa diatur melalui Undang-Undang No.19 Th.1965 yang bertujuan untuk menjamin kesatuan masyarakat hukum yang ada sekarang (maksudnya yang masih ada pada masa atau kurun waktu itu) dapat selekas mungkin dijadikan atau ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa melalui bentuk peralihan Desapraja. Disamping itu, untuk menjamin tata perdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan Revolusi Nasional yang Demokratis dan Pembangunan Nasional Semesta.

Sejak Undang-Undang Desapraja dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-Undang No. 6 tahun 1969, sampai saat lahir dan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 Tahun 1979) maka selama 10 tahun Desa-desa di seluruh Indonesia tidak memiliki landasan hukum berupa undang-undang. Selama 10 tahun itu pengertian tentang Desa diambi dari berbagai sumber baik dari peraturan-peraturan maupun dari pendapat para ahli

Sesuai dengan isi dan jiwa Manifesto Politik sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dan pedoman pelaksanaannya; Undang-Undang No.5/1979 tetang Ketentuan Pokok-pokok Pemerintahan Desa, UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah, dan peraturan yang terbaru adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rumusan konstitusi, tepatnya pasal VI tentang pemerintahan daerah, secara implisit desa memang tidak diatur secara jelas, sehingga pengaturan tentang desa dimasukkan dalam Undang Undang tentang pemerintahan daerah, sehingga hal ini menimbulkan sedikit banyak masalah terutama tentang pengaturan desa itu sendiri.

Di masa Orde Baru, pemerintah menerapkan UU No. 5/1979, sebuah kebijakan untuk menata ulang terhadap kelembagaan pemerintahan desa, membuat desa tradisional menjadi desa modern, dan mengintegrasikan desa secara seragam dalam struktur negara modern. Model birokrasi modern dimasukkan ke desa untuk menata mekanisme administrasi dan kelembagaan desa. Desa dikendalikan oleh tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri, propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Pemerintah pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit pemerintahan terendah menjadi nama “desa”, sebagai upaya untuk memudahkan kontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa. Struktur birokrasi sipil dan militer dirancang secara hirarkhis dan paralel dari Jakarta sampai ke pelosok desa. Hirarkhi birokrasi sipil mengalir dari Departemen Dalam Negeri, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa. Depdagri adalah pengendali hirarkhi birokrasi sipil, yang bertanggung jawab pada struktur di atasnya, yakni istana negara (Presiden). Paralel dengan hirarkhi birokrasi sipil adalah hirarkhi militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam di Propinsi, Korem di wilayah pembantu gubernur, Kodim di Kabupaten/Kotamadya, Koramil di Kecamatan, dan Babinsa di Kelurahan/Desa. Semua ini dimaksudkan untuk menciptakan keamanan, ketahanan, kerukunan dan ketertiban desa yang terkendali.

Kebijakan tersebut sangat efektif menciptakan stabilitas dan katahanan desa. Tetapi kerugiannya bagi masyarakat lokal jauh lebih banyak dan lebih serius. Bagi komunitas lokal di luar Jawa, UU No. 5/1979 merupakan bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal, maupun adat-istiadat lokal. UU No. 5/1979 juga meneguhkan posisi kepala desa sebagai “penguasa tunggal” di desa, yang sekaligus membuat kepala desa lebih berorientasi ke atas ketimbang sebagai pemimpin desa yang memperoleh legitimasi kuat di hadapan masyarakat. Akibatnya benturan antara kepala desa dengan pemimpin adat maupun masyarakat terjadi secara serius.

Kisah dominasi elite desa yang lebih berorientasi pada pemerintah supradesa merupakan pertanda substantif bahwa demokrasi desa telah terjadi kemunduran yang luar biasa. Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983), menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi pasca kemerdekaan, konflik mengenai land reform, pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa.

Saat ini pengaturan tentang desa selain dimasukkan dalam rumusan Undang Undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, juga ada aturan turunan dari UU 32 tahun 2004 tersebut yang khusus mengatur tentang desa, yaitu Peraturan Pemerintah no 72 tahun 2005 tentang Pokok Pokok Pengaturan Desa. Penjelasan lebih rinci telah dipaparkan oleh Ibnu Sam Widodo dalam DESA BERDASARKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945,UNDANG UNDANG 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA
B. PERBANDINGAN PEMERINTAHAN DESA DI BERBAGAI DAERAH
Struktur pemerintahan desa di Bali ditentukan oleh tipe atau corak desa yang bersangkutan. Corak desa di bali dibedakan menjadi dua, pertama ialah desa yang tergolong tua dan desa yang tergolong muda. Desa yang tergolong tua dalah desa yang masih memiliki sifat kekuno-kunoan dalam pola penetapan, maupun dalam struktur pemerintahannya. Desa yang tergolong muda adalah desa yang sudah terkena pengaruh kebudayaan Majapahit, terutama pada zaman kerajaan Gelgel.
Unit pemerintahan desa adalah banjar yang dipimpin oleh seorang kliyan banjar. Setiap banjar memepunyai tempat pertemuan yang disebut bale banjar, dan dilengkapi dengan sebuah bale kulkul (kentongan), yang berfungsi untuk memberikan tanda kepada masyarakat bahwa ada pertemuan, kebakaran, dan sebagainya. Setiap banjar memiliki awig-awig yang bisa tertulis maupun tidak tertulis. Pergantian kliyan banjar dilakukan dalam pangsengkepan banjar dengan jalan musyawarah, yaitu memilih salah seorang krama banjar (Anggota banjar) berdasarkan prinsisp primus interpares. Sartono kartodirdjo (et.al), Perkembangan Peradaban Priyayi (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1987), hlm.53

Setiap banjar masih dibagi lagi menjadi beberapa tempek dan dikepalai oleh kliyan tempek. Masing-masing kliyan tempek membawahi beberapa keluarga (kurena). Kliyan banjar hanya dibantu oleh juru arah atau yang disebut juga saya, yang bertugas mengumumkan sesuatu kepada warga banjar dan menyiapkan sesajen waktu pasangkepen banjar.

Setingkat dengan banjar, masih ada kelembagaan desa, yaitu pemaksan dan subak. Pemaksan adalah organisasi yang dimiliki oleh setiap pura yang ada diwilayah desa. Masing-masing pemaksan dipimpin oleh kliyan pemaksan dan dipilih berdasarkan keturunan. Banyak-sedikitnya jumlah pemaksan dari sebuah pura tergantung pada jumlah penyungsung (orang-orang yang sembahyang) ke pura tersebut. Ada kalanya sebuah pura disungsung oleh beberapa banjar, hal tersebut ditetapkan dalam musyawarah desa. Tugasnya pemaksan antara lain memelihara keselamatan dan kesucian pura, serta menyiapakan segala keperluan pada waktu upacara di pura bersangkutan. Di samping pemaksan, masih ada beberapa orang pemangku yang bertugas dalam upacara.

Sedangkan di Aceh, Mukim adalah pemerintahan khas Aceh yang merupakan federasi dari beberapa gampong (desa) yang telah ada sejak Islam masuk ke Aceh. Menurut sejarahnya, pada masa Kerajaan Aceh, struktur pemerintahan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu : (1) Sultan yang memimpin kerajeun dan daerah taklukannya, serta mengkoordinir para Panglima Sagoe, (2) Panglima Sagoe yang membawahi beberapa nanggroe yang dipimpin oleh Ulee Balang. (3) Ulee Balang mengkoordinir beberapa mukim yang dipimpin oleh imum mukim, (4) Imem mukim yang membawahi beberapa gampong, dan (5) Geusyiek yang memimpin gampong sebagai unit pemerintahan terendah

Di dalam kehidupan kemukiman di Aceh, sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman — terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas territorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Warga gampong masih memiliki perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga gampong kita yang tertimpa musibah. Begitu pula jika ada tetangga yang melakukan hajatan (meukereuja), para warga gampong sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuhnya penyelenggaraan khanduri tersebut pada geusyiek, selaku kepala gampong. Hal seperti ini Insya Allah masih kita temukan hingga esok hari. Dan, ini menunjukkan kehidupan masyarakat mukim atau gampong di Aceh yang masih gemeenschap, bukan gesselschap.

Kita masih menemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga ini hari, kita masih menemukan eksisnya:
1. lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
2. lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid,
3. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
4. lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh geusyiek,
5. lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, dan
6. lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
7. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
8. lembaga adat laot yang dipimpin oleh panglima laoet,
9. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
10. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
11. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda,
12. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.

Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing-masing, yaitu :
1. Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong.
2. Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman.
3. Tuha Lapan/Peut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.
4. Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong.
5. Imum Meunasah/ Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong.
6. Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong.
7. Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
8. Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.
9. Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan/perladangan/perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
10. Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar.
11. Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
12. Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
13. Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laot hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.

Taqwaddin, Mukim sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh, makalah disampaikan pada acara Workshop Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat, diselenggarakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh dan GenAsist di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Rabu, 11 Februari 2009.

Dalam perkembangan terakhir, kita mengetahui, Khusus bagi Aceh, dalam rangka penyelesaian konflik, pemerintah memberlakukan pula Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3) penyelenggaraan pendidikan, dan (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah bahwa undang-undang ini kembali memperkuat keberadaan lembaga adat, termasuk lembaga adat mukim.

Selanjutnya, melalui Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pemerintahan Mukim dimasukkan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pengukuhan keberadaan mukim semakin kuat dengan diundangkannya Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

Saat ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, keberadaan mukim sebagai unit pemerintahan kembali mendapat pengakuan, pengaturan, dan pengukuhannya dalam satu bab tersendiri, yaitu Bab XV tentang Mukim dan Gampong.

Dalam Pasal 114 UUPA dinyatakan : (1) Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong, (2) Mukim dipimpin oleh imuem mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh tuha peuet mukim atau nama lain, (3) Imuem mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota, dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imuem mukim diatur dengan Qanun.
Selain Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 yang secara khusus mengatur mengenai Pemerintahan Mukim, selanjutnya mengenai hal tersebut, sebagai tindaklanjut dari UUPA juga telah diundangkan: (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, (2) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dan (3) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim.

Ketiga qanun yang disebutkan terakhir, juga mengatur tentang fungsi dan peran mukim. Dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008, misalnya, telah diatur secara tegas peran mukim dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan pada tingkat mukim. Begitu pula dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 telah diatur secara tegas mengenai tugas mukim. Tugas mukim menurut Pasal 8 Qanun Aceh 10/2008 adalah :
1. melakukan pembinaan masyarakat;
2. melaksanakan kegiatan adat istiadat;
3. menyelesaikan sengketa;
4. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
5. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
6. membantu pelaksanaan pembangunan.
Sementara itu, Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh beberapa orang wali jorong. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk masa jabatan 6 tahun dan kemudian dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam budaya Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan bagian dari perangkat daerah jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari memiliki hak mengatur wilayahnya yang lebih luas. Nagari merupakan bentuk dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN), yakni lembaga yang beranggotakan tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik pandai (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan antara wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai adat atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN memuat unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat
Sejarah Sistem kanagarian telah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Kemungkinan besar sistem nagari juga sudah ada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.


Terdapat dua aliran besar dalam sistim pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi adat, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik akibat pertentangan kedua pengaruh ini, yang kemudian dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah
Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh adat, nagari memiliki teritorial beserta batasnya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari diantaranya adanya balai adat, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Dalam laporannya de Stuers menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, kemudian Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang kemudian dikenal dengan adanya jabatan kepala laras atau tuanku laras, dimana daerah kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah ada sebelumnya. Dan selanjutnya satuan pemerintahan lebih rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan sampai pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi tradisi adat, dimana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya.
Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.

Data dari berbagai sumber