22 April 2024

opini musri nauli : Filsafat dan Hukum

 


Akhir-akhir ini tema filsafat dan hukum meruyak di persidangan MK. Ketika seorang praktisi hukum yang mengejek tidak pentingnya Filsafat dan kecendrungan hanya berpatokan kepada hukum normatif. 


Bahkan ujaran ini disampaikan di berbagai forum. 


Padahal dengan tingginya titel kesarjanaan bahkan paripurna tingkat pendidikan hukumnya, pernyataannya justru akan menimbulkan pendidikan hukum yang sesat. 

Sebelum menganalisis lebih jauh, sebelum melihat bagaimana filsafat, hukum dan filsafat hukum didalam pemikiran ilmu hukum, ada baiknya sejenak para praktisi hukum maupun Ahli hukum untuk sejenak merenung. 


Apakah pantas dengan gelar akademik bidang hukum kemudian mengejek tentang tidak pentingnya filsafat ataupun filsafat hukum. 


Didalam kurikulum Fakultas hukum, materi ini cukup luas diberikan. Dimulai dari Pengantar filsafat, Logika, Filsafat hukum. Bahkan kemudian ada materi tentang Etika Profesi. 


Dengan demikian materi filsafat ataupun filsafat hukum adalah pondasi penting untuk melihat hukum. 


Materi ini diajarkan. Baik didalam kuliah S1, S2 bahkan S3. 


Lalu bagaimana didalam praktek dunia hukum ? 


Didalam kaidah-kaidah penulisan peraturan perundang-undangan, para legal drafter harus memasukkan kaidah yang ditawarkan dari pendekatan filsafat. 


Lihatlah. Adanya Nilai-nilai yang diusung, asas yang digunakan bahkan cita-cita hukum adalah materi yang harus termaktub didalam peraturan perundang-undangan. 


Lalu bagaimana apabila peraturan perundang-undangan sama sekali tidak memasukkan dari pendekatan filsafat ataupun dari pendekatan filosofi. 


Menurut peraturan perundang-undangan, peraturan yang diusung tidak terpenuhnya sebagai peraturan perundang-undangan. 


Sehingga sebelum adanya peraturan perundang-undangan, maka pendekatan filosofi, sosiologi dan pendekatan nomatif harus lengkap. 


Selain itu, seluruh praktisi hukum sebagai profesi hukum tetap berpijakan kepada Etika dan Profesi. Semuanya telah diatur didalam Peraturan Organisasi. 


Bahkan hampir seluruh profesi tetap bersandarkan kepada etika dan profesi Organisasi. Yang diatur berdasarkan ketentuan Organisasi masing-masing. 


Hakimpun menjatuhkan putusan tetap bersandarkan kepada nilai-nilai yang diusung didalam pendekatan filosofi. Baik dari pendekatan kepastian hukum, Kemanfaaatan hukum maupun Keadilan hukum. 


Tiga tema ini masuk kedalam ruang lingkup materi filsafat hukum. 


Di tingkat Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi yang kemudian bermuara keadilan hukum, nilai-nilai keadilan yang menjadi maqom mahkamah justru ditempatkan lebih utama daripada hanya membicarakan sekedar norma. 


Banyak sekali putusan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi justru menggunakan pendekatan filsafat  hukum kemudian mampu keluar daripada “aturan kaku” normatif hukum. 


Berbagai asas-asas yang kemudian tidak terbukti lagi menciptakan keadilan justru malah diterobos oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. 


Di Mahkamah Agung Sudah menjadi maqom menempatkan hak Perempuan yang terikat perkawinan justru “tidah harus” persetujuan suami untuk memperjuangkan haknya. 


Maqom ini kemudian menerobos ketentuan didalam KUHPEr yang tidak memberikan hak kepada Perempuan yang terikat perkawinan untuk bertindak dimuka hukum. 


Ataupun Anak Perempuan mempunyai hak yang sama dengan Anak lelaki didalam masyarakat patrilinial didalam pewarisan. Padahal sistem hukum adat patrilinial , anak Perempuan sama sekali tidak mempunyai hak didalam pewarisan. 


Di MK sendiri Sudah jauh melompat. Dimulai MK boleh menyidangkan perkara peraturan perundang-undangan jauh sebelum MK lahir. 


Dengan demikian MK Sudah menerobos asas “berlaku surut”. Sebuah asas kaku didalam normatif hukum sistem hukum Eropa kontinental. 


Dengan demikian, baik hakim didalam perkara-perkara umum maupun di persidangan di Mahkamah ( Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi), nilai esensi dari Keadilan menjadi pisau iris yang menilai perkara yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. 


Sehingga di Mahkamah Konstitusi sendiri Sudah menjadi asas yang kuat yang menempatkan “Keadilan substantif” daripada “Keadilan prosedural” didalam menilai perkara. 


Sebagai praktisi hukum yang meraih gelar akademik bidang hukum, para praktisi hukum justru ketika bersidang bertujuan meraih “keadilan hukum”. Dan Keadilan hukum justru digunakan menggunakan irisan filsafat hukum. 


Sehingga sungguh-sungguh tidak pantas apabila seorang praktisi hukum yang justru Tengah bersidang malah mengejek sembari mengabaikan materi tentang Filsafat ataupun filsafat hukum. 


Sayapun teringat dengan ujaran para guru-guru kampung yang Sederhana. 


Semakin tinggi pendidikan seseorang maka sikapnya harus tawaddu. Rendah hati. 


Sebagaimana sering diungkapkan diberbagai kesempatan “bak ilmu Padi”. Semakin berisi ilmunya. Semakin rendah hatinya. 


Agar ilmunya menjadi berkah. Untuk umat manusia.