Akhir-akhir
ini, kecendrungan kepemimpinan yang bertindak kepahlawanan menjadi ukuran
melihat kepemimpinan. Entah menggunakan atribut kebangsaan, menampilkan
lambang-lambang kebesaran hingga cerita-cerita epos yang mengiringi
perjalanannya.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
25 Desember 2018
opini musri nauli : Kontrakan
“Pak
Nauli, yang punya rumah berpesan.. Rumah kontrakan ini sudah mau dijual ?”,
kata Pak RT yang datang sore hari ke kantor.
“Berapa,
pak ?”, kata saya penasaran. Kepo.
“Entahlah.
Katanya sudah ada yang berminat. 3,5 milyar”, kata Pak RT. Ketus dan sambil
tidak percaya.
“Masa
tanah cuma 10 tumbuk, mau dibelikan 3,5 milyar !!, Siapa yang berminat, pak “,
lagi-lagi kepo.
Kamipun
tertawa.
Demikian
dialog singkat kedatangan Pak RT yang datang menjelang habis kontrakan.
Akupun
cuma tersenyum. Tanah cuma 10 tumbuk dihargai sampai 3,5 milyar bagiku
mengada-ada.
Kalo 1 tumbuk sampai 350 juta, wah. Wah. Wah.. Tidak
salah nih. Selain rumah peninggalan lama, yang kupastikan sang pembeli pasti
cuma berminat dengan tanah. Lalu apakah sesuai dengan harga 3,5 milyar atau 350
juta setumbuk.
Terletak
didalam lorong (jalan kecil), kupastikan, paling tinggi kisaran tanah cuma Rp
50 juta setumbuk. Itupun pasti negosiasi masih bisa kurang.
Di
Jambi, pembelian tanah masih mengenal cara penghitungan “Tumbuk”. Tumbuk adalah
istilah “tombak”. Satu tombak adalah daya kemampuan orang untuk melemparnya.
Ukuranya kemudian diperkirakan 10 meter. Jadi satu tumbuk berarti 10 m x 10 m.
Dan lazim masih menggunakan penghitungan.
Akupun
tertarik dengan harga tanah dipasaran dipinggir jalan raya. Setahuku, paling
tinggi hanya mencapai Rp 200 juta/tumbuk. Itu dipinggir jalan. Lha, kalo masuk,
so pasti lebih murah. Dan tidak mungkin mencapai Rp 350 juta/tumbuk.
Pernah
satu kali, omku yang merupakan kontraktor pernah menaksir tanah disini. Dengan
enteng dia menjawab “Kalau dia mau jual
Rp 300 juta. Ambillah”. Waduh, malah lebih murah. Berarti kisaran tanah
cuma Rp 30 juta/tumbuk.
Akupun
berfikir. Apakah ini cara “pemilik rumah” hendak mengusirku. Ah. Akupun
membuang pikiran jauh-jauh. Mungkin dia kebelet dengan luas tanah. Maklum anak
pemilik rumah semuanya tinggal di Jakarta.
Kamipun
bergegas mencari informasi kontrakan rumah. Dan setelah mendapatkan rumah yang
lebih menjanjikan, kamipun pindah.
Lha,
apakah ketika kontrakan rumah habis, kemudian seluruh barang-barang kemudian
menjadi pemilik rumah.
Enak
aja. Ya, Kami angkutlah. Seluruhnya. Seluruh barang milik kami tentu saja kami
angkut. Belum lagi seluruh dokumen, poster-poster, peta, lukisan, buku-buku,
selebaran, spanduk sisa aksi, alat-alat di kamar mandi seperti sikat lantai,
tempat sabun, rak piring, meja tempat aqua, seluruh kursi-kursi, meja, kabel
colokan.
Termasuk
botol-botol aqua yang digunakan untuk menanam sayur-sayuran, polybag, koran
bekas,
Yang
tinggal cuma satu bola lampu untuk diluar rumah dan satu bola lampu untuk
didalam rumah.
Memerlukan
3 x angkutan mobil back pick up untuk mengangkutnya.
Akupun
tidak mengerti dengan pikiran orang yang gampang mengatakan “kalo kontrakan
habis, maka barang kemudian menjadi pemilik rumah”.
Sambil
menonton youtube, aku cuma tersenyum. Menikmati kantor baru yang kebetulan
pemilik rumahnya bersebelahan.
Ramah
dan tidak lupa berpesan. “Nanti kalo ada teman-teman yang mau rambutan, ambil
saja”.
Alhamdulilah.
Rejeki anak sholeh..
Langganan:
Postingan (Atom)