06 September 2010

opini musri nauli : Perampokan ditinjau dari hukum pidana



Akhir-akhir ini “jantung” kita serasa copot mendengar berbagai peristiwa “perampokan” yang cenderung melewati akal sehat. 

“Rasa Aman” sebagai hak yang mendasar kemudian tidak ditemukan lagi. Rasa aman kemudian menjadi komoditas yang langkah dan sulit kita temukan. 

opini musri nauli : HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA-MALAYSIA



Memanasnya hubungan diplomatik Indonesia - Malaysia sudah pada titik nadir. Eskalasi yang memanas bermula di tangkapnya pejabat Pemerintah Indonesia didalam wilayah Indonesia dan menyeret ke Malaysia kemudian memancing reaksi dari masyarakat Indonesia. 

Tidak perlu analisis yang dalam untuk menyatakan apakah Malaysia telah salah atau tidak melakukan perbuatannya. Tidak perlu diskusi panjang untuk menyatakan Malaysia telah “melanggar norma-norma internasional” yang terbukti mengganggap remeh Indonesia. 

Dan tidak perlu Mahkamah Internasional untuk menyatakan semuanya. Cukup kasat mata dari cerita-cerita di berbagai media massa dan Rapat Dengar Pendapat di Komisi I DPR baru lalu. 

 PERSEPSI HUBUNGAN DIPLOMATIK 

 Sebagai negara serumpun (ujaran yang paling sering didengar), identitas Malaysia yang tidak bisa dipisahkan dengan Suku Melayu mempunyai sejarah yang panjang dengan Melayu Indonesia. Identitas Suku Melayu ini bahkan lebih mudah ditarik akar sejarah panjang dengan Kedatangan orang Minang pertama di Negeri Sembilan sekitar tahun 1467 M. 

 Orang Minang pertama yang datang di Negeri Sembilan tiba di Rembau adalah Datuk Lelo Balang bersama beberapa orang dari Batu Hampar, Mungkar, Simalanggang, Payakumbuh dan beberapa nagari lain di daerah Luhak 50 Koto (sekarang Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Kampar). 

Orang Minang kemudian mendirikan Kerajaan Negeri Sembilan dan rajanya pun didatangkan dari Kerajaan Pagaruyung, pertama Raja Malewar (1773-1795). Hubungan ini terus berlanjut. (www.sumbarprov.go.id). 

 Hubungan Melayu Malaysia-Indonesia dapat ditandai dengan simbol-simbol Kerajaan Malaysia yang secara prinsip tidak berbeda dengan simbol-simbol Kerajaan Melayu di Indonesia sebelum kemerdekaan. 

Bahkan simbol-simbol ini masih menjadi pengetahuan dan identitas yang paling khas yang menjadi pegangan masyarakat Melayu di Indonesia. Bacaan ini sekedar gambaran hubungan kekerabatan, persaudaraan, simbolis antara Melayu Malaysia dan Melayu Indonesia. 

Penulis tidak akan mengupas apakah Melayu di Indonesia merupakan saudara tua dari Melayu di Malaysia. 

Selain pembahasan itu tidak akan menyoroti persoalan ini, juga untuk memberikan pembahasan issu hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia. Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang khas dan kental membuat analisis Indonesia dan Malaysia sebagai saudara sudah tepat. 

Selain kultur, kekerabatan, simbol, agama, sejarah panjang persaudaran Indonesia – Malaysia selain merupakan aktor utama berdirinya ASEAN juga mempengaruhi kawasan selat Malaka sebagai daerah kawasan yang paling aman dari konflik dan pertarungan pertentangan di negara ASEAN. 

Hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia juga menjadi pelajaran berbagai model penyelesaian konflik di berbagai kawasan dunia. 

 Sebenarnya issu-isu panas yang hampir bersinggungan dan mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia cenderung naik turun. 

Wilayah Kalimantan Utara yang “memancing marah” Soekarno adalah hubungan diplomatik yang paling keras dan menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarah di Indonesia. 

Namun praktis setelah Presiden Soekarno, hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia cenderung “tenang”. Riak-riak seperti “kasus TKI”, “perebutan pulau Sipadan-Ligitan”, menjadi wacana yang sempat memanas namun kemudian dapat diselesaikan dengan tenang. 

Istilah pepatah Melayu, “hangat-hangat tahi ayam”. 

 PERSEPSI EKONOMI 

 Sebagai bagian persemakmuran Inggeris (commonwealth), Malaysia berhasil melesat menjadi pemain ekonomi penting di kawasan Asia. 

Tingkat kemakmuran yang tinggi kemudian menarik minat menjadi tenaga kerja di Malaysia termasuk Indonesia dan Philipina. 

Tingkat kemakmuran yang tinggi selain juga adanya jaminan berbagai fasilitas kesehatan, tunjangan pendidikan dan tinggi perhatian Malaysia menghadapi era globalisasi. 

Petronas tahun 1970 “berguru” ke Pertamina, sekarang menjadi pemain penting. Logo Petronas menjadi wajah yang tidak asing dalam lomba bergengsi F1. Bahkan Sepang merupakan salah satu tempat putaran bergengsi. 

 Pertarungan Indonesia-Malaysia dalam perebutan negara produsen minyak sawit terbesar dunia. Tahun 2007, Malaysia mengklaim produksi minyak sawitnya 14 juta ton (waspada.co.id, 29 Agustus 2007). 

Ambisi ini kemudian dibuktikan Indonesia dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi sebanyak 16,08 juta ton. 

Dan pada tahun 2020 ambisi ini akan meningkat dengan total produksi 40 juta ton dengan luas lahan seluas 9,7 juta hektar (Kompas 4 Juni 2010). 

 Walaupun kemenangan Indonesia bisa meraih sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, namun menimbulkan implikasi yang berbeda. 

Di Indonesia, justru dengan bertambahnya areal untuk perkebunan kelapa sawit menimbulkan konflik di berbagai tempat. 

Mulai dari persoalan lingkungan hidup, persoalan sosial, persoalan tanah, konflik horizontal hingga berbagai persoalan yang sampa sekarang praktis belum banyak diselesaikan. 

Dengan demikian, ambisi Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, praktis tidak memberikan dampak dalam perekonomian nasional dan memberikan kepastian terbukanya lapangan kerja yang mampu menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. 

 Implikasi ini berbanding terbalik dengan Malaysia, yang dapat “menikmati” suksesnya ekspor minyak kelapa sawit dan mampu membuka lapangan kerja. 

Dengan demikian, selain sektor-sektor rumah tangga, Tenaga kerja dari Indonesia juga mengisi lapangan pekerjaan di sektor perkebunan kelapa sawit. 
 
PERSEPSI POLITIK 

 Sebagai negara dalam abad modern, Indonesia terbukti mampu mengadakan Pemilu baik untuk memilih anggota Parlemen, Kepala Daerah, bahkan Pemilihan Presiden secara langsung. 

Terlepas dari berbagai peristiwa yang “bernuansa money politik”, prestasi politik di Indonesia jauh meninggalkan politik di Malaysia. Indonesia sudah terbukti sebagai negara yang menganut “pers bebas”, sebagai alat kontrol yang terbukti effektif mewarnai jagat politik, “kebebasan berorganisasi”, kebebasan mengemukakan pendapat”, dan berbagai pranata-pranata politik sebagai identitas negara modern yang mengagung-agungkan demokrasi. 

 Kondisi ini berbanding terbalik di Malaysia. Pers yang cenderung masih “disensor”, masih berlakunya Internal Security Act/ISA (Semacam UU Subversif), partai yang masih berkutat kepada “paper union”, dan masih terdengarnya “kongkalikong” antara penguasa didalam mengelola pemerintahan. 

Bahkan praktis, issu SARA yang menempatkan diskriminasi “Melayu” sebagai kasta yang paling tinggi dan “diproteksi” sebagai simbol negara Malaysia. Praktis dikatakan, suasana dan iklim politik di Malaysia, tertinggal 20 tahun dari Indonesia (dalam cengkraman orde baru). 

 Sehingga pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia yang meminta Pemerintah Indonesia agar dapat “menertibkan demonstran” adalah teriakan di siang bolong dan ditangkap masyarakat Indonesia, sebagai “teriakan” yang tidak mengikuti perkembangan politik di Indonesia. 

 CATATAN PENTING 

 Menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana menyikapi hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia ?. 

Berangkat dari berbagai pertimbangan diatas, maka dapat dikategorikan, harusnya dibangun hubungan diplomatik yang sejajar yang saling “menghormati”, “menghargai” dan toleran.

 Hubungan diplomatik dapat dilakukan apabila adanya “leadership” yang kuat dari para diplomat dalam mewujudkannya. “Leadership” yang kuat dapat kita teladani dari perjalanan panjang sejarah Menteri Luar Negeri Indonesia. 

 Kita masih ingat sepak terjang diplomasi Menteri Luar Negeri Sutan Syahrir dan Agus Salim dalam periode revolusi genting Indonesia dalam berbagai perjanjian dengan Belanda, atau “kehandalan” Mr. Roem, “Si Kancil” Adam Malik, atau konsepsi “Wawasan Nusantara” terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia Mukhtar Kusumaatmaja, “Si juru damai” Ali Alatas. 

 Nama-nama yang disebutkan baik bertindak sebagai Menteri Luar Negeri maupun mewakili Indonesia dalam forum-forum internasional, membuat nama Indonesia menjadi perbincangan internasional. 

Kita akan mudah mengingat, Indonesia sebagai penggagas KTT Non Blok, upaya “cerdas” dalam menterjemahkan UUD 1945 dalam slogan “bebas aktif”, “negara-negara OPEC, OKI, “pioneer” ASEAN dan berbagai perbincangan internasional yang menempatkan Indonesia dihormati. 

Dihormati Indonesia dalam kancah internasional membuat hampir praktis, tidak adanya memanas hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia. 

Dihormati Indonesia juga menyebabkan Indonesia dapat menyelesaikan berbagai persoalan perbatasan dan berbagai “riak-riak” dengan berbagai negara.

 http://belanegarari.wordpress.com/2010/09/08/hubungan-diplomatik-indonesia-malaysia/#more-959