Ketika
kita memulai diskusi, entah mengapa, bukan substansi yang perlu kita
diskusikan. Kita lebih banyak terjebak kedalam kubangan pikiran pendek.
Semisal.
Mengkritik Jokowi disebut “gagal move on”. Menceritakan Jokowi disebut “Jokower”.
Menyebut nama Tan Malaka langsung disebut “komunis”. Menyebut “Ali Syar’iati”
atau “Iran” langsung disebut “Syiah”.
Lalu
bagaimana kalau pendukung Jokowi kemudian menggugat Jokowi di persidangan ?
Hayo.
Makanya jangan langsung menjudge secara instan.
Pilpres
2014 telah lama usai. Rakyat sudah kembali kehidupan normal. Menjalani
aktivitas sehari-hari. Dan para candidate Presiden sudah “ngopi” pagi dan naik
kuda bareng.
Pikiran
pendek tanpa melihat substansi yang disampaikan mulai mewabah di kalangan kelas
menengah. Intelektual yang dididik dan mendapatkan asupan informasi ternyata
tidak seimbang dengan pikiran terbuka dengan berbagai gagasan. Dan sering kali terjebak.
Entah
mengapa kelas menengah kemudian lebih suka berfikir instan.
Di
kalangan kampuspun sempat menguat. Entah berapa banyak kajian yang masih
diskusi tentang khilafah, negara kafir ataupun tema-tema usang yang sudah
tuntas dideklarasikan ketika 17 Agustus 1945.
Kata
anak muda, kok generasi tua susah move on. Persis “rasa baper’ ketika Raisa direbut
“lelaki asing’. Padahal ini bukan persoalan stigma. Ini persoalan “malas
berfikir” dan cenderung praktis instan untuk memudahkan pembahasan.
Jadi
jangan keki ketika kasus Setnov, anak-anak muda kemudian membuat “satir’.
Mempersoalkan tiang listrik. Sikap satir benar-benar pukulan “hook” kepada
generasi tua yang susah untuk move on.
Namun
“stigma’ instan bukan persoalan sepele. Dalam pembahasan logika - materi
penting dalam filsafat, logika tidak nyambung sering disebut “logika jumping’.
Tanpa ba-bi-bu, langsung mengambil kesimpulan walaupun asumsi-asumsi tidak
nyambung. Kata anak muda “Jaka sembung bawa golok. Tidak nyambung. Goblok !!!”.
Lihatlah
tema Kerajaan Majapahit yang kemudian disebut “Kesultanan Majapahit”. Dengan
hanya “ditemukan mata uang” dan “symbol-simbol yang bernafas tema-tema agama’
kemudian langsung disebut sebagai “kesultanan Majapahit’.
Penemuan
“mata uang” ataupun symbol-simbol adalah sebuah penemuan di daerah sebagai
perlintasan perdagangan abad 12 – 15. Sebuah keniscayaan yang tidak dapat
dihindarkan.
Menggunakan
argumentasi ini, maka “ditemukan keramik” di berbagai tempat di Indonesia maka
kita akan mudah “menyimpulkan” Indonesia adalah negara bagian dari Tiongkok.
Atau
melihat penyebaran Islam dari Laksamana Cheng Ho maka kita akan “menyimpulkan”
Tiongkok adalah negara islam.
Padahal
kisah Majapahit dengan detail disusun oleh Empu Prapanca dalam puputan yang
dituliskan didaun lontar. Dengan jelas disebutkan Majapahit adalah Kerajaan
beragama Shiva-Budha. Sebuah perpaduan antara teologi Hindu-Budha.
Ornamennya
masih dilihat dalam jejak di Bali. (Demikian kisah teman dari Bali yang
menceritakan dengan detail.)
Sedangkan
terdapatnya berbagai keramik juga tidak mampu menjelaskan “Indonesia adalah
bagian dari Tiongkok’. Tidak ada satupun bukti untuk mendukung klaim Indonesia
bagian (vassal) dari Tiongkok.
Ataupun
penyebaran islam dari kisah Laksamana Cheng Ho membuktikan Tiongkok adalah
negara muslim. Padahal penduduk muslim cuma berkisar 1% - 4% dari penduduk
Tiongkok. Hidup di Xinjiang, Ningxia, Gansu dan Qinghai. Berbanding terbalik
dengan penduduk beragama Konghucu atau Tao.
Dengan
demikian maka “logika jumping” mewabah dan membuat intelektual berfikir pendek.
Membangun asumsi tanpa melalui proses panjang sebelum menghasilkan kesimpulan.
Dalam
ranah filsafat disebut “logika jumping”. Sebuah kesimpulan yang paling
ditabukan dalam ranah intelektual.
Baca : Logika dan Argumentasi