Akhir-akhir ini tema dissenting opinion memantik diskusi yang paling menarik perhatian publik paska putusan MK tentang perselisihan Pilpres 2024.
Terlepas dari putusan MK yang kemudian menolak seluruh dalil-dalil pemohon, tema dissenting opinion merupakan “oase” ditengah harapan publik kepada hakim. Dengan adanya dissenting opinion dari hakim MK, maka dalil-dalil pemohon kemudian “terkonfirmasi”.
Di kalangan Ahli hukum dan praktisi hukum, istilah Dissenting opinion merupakan sebuah pengetahuan yang jamak. Selain materi telah diajarkan diberbagai pelajaran juga dapat dilihat berbagai putusan hakim (Vonis).
Sebagai dissenting opinion, maka Ahli hukum dan praktisi hukum dapat mengetahuai perdebatan, cara pandang hakim maupun konklusi daripada putusan. Sehingga publik mendapatkan “pencerahan hukum”.
Sebagai praktisi hukum, yang paling mendasar untuk melihat putusan hakim yang ditandai dengan amar adalah pertimbangan hukum (legal reasiong) sebelum putusan dijatuhkan. Dari pertimbangan hukum (legal reasiong) kemudian publik dapat belajar, memahami cara pandang hakim melihat hukum bekerja secara Operasional melalui putusan.
Putusan yang baik tentu saja didasarkan kepada pertimbangan hukum yang baik. Putusan yang dijatuhkan tidak boleh melompat (logika jumping) dari pertimbangan hukum. Ataupun tidak tersambung rantai antara pertimbangan hukum dengan putusan akhir.
Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung yang mempunyai pertimbangan kemudian menyatakan “menolak hukuman mati”, maka tidak bisa seketika kemudian menjatuhkan terdakwa dengan hukuman 12 tahun misalnya.
Didalam KUHP, padanan hukuman mati adalah hukuman seumur hidup ataupun pidana penjara 20 tahun.
Argumentasi hukum didalam pertimbangan hukum menolak hukuman mati tidak bisa kemudian lompat (logika jumping) kemudian “ujuk-ujuk” menjatuhkan pidana penjara 12 tahun.
Sehingga apabila hakim kemudian menyatakan menolak hukuman mati maka “harus sebangun” dengan pidana seumur hidup ataupun pidana penjara 20 tahun penjara. Demikianlah esensi dari KUHP.
Dengan demikian maka pertimbangan hukum yang kemudian melompat “ujuk-ujuk” menjadi 12 tahun tidak “Sebangun” dengan pertimbangan hukum dengan putusan akhir.
Tema disssenting opinion di putusan MK juga ditandai dengan putusan MK tentang hukuman mati. Dari komposisi hakim 9 orang, 5 orang menyetujui hukuman mati dan 4 orang menolak hukuman mati.
Perdebatannya sungguh-sungguh tajam dan mengkristal menjadi tema yang tidak berkesudahan.
Sehingga walaupun MK kemudian menyetujui hukuman mati namun tema “hukuman mati” menjadi tema yang paling tidak dapat diselesaikan. Baik argumentasi hukum yang menyetujui maupun menolak hukuman mati.
Tema hukuman mati juga terjadi perdebatan tajam di kalangan Ahli hukum maupun praktisi hukum. Hingga kini kedua “maqom” tidak dapat dipersatukan.
Mengikuti Putusan MK tentang hukuman mati kemudian MK menyetujui hukuman mati maka “Mahkamah/Pengadilan” adalah muara dari persoalan hukum (Baca persoalan konstitusi oleh MK). Sehingga ketika MK kemudian “menyetujui hukuman mati” adalah hasil dari “Voting” dari komposisi 9 orang hakim di MK.
Lalu bagaimana cara membaca Dissenting opinion dari 3 orang hakim didalam putusan perselisihan Pilpres 2024.
Tanpa harus menyentuh putusan akhir MK yang kemudian menyatakan menolak permohonan, pertimbangan dissenting opinion lebih mempunyai “pijakan” dan landasan yang lebih kuat daripada pertimbangan hakim yang menolak permohonan.
Argumentasi hukum didalam dissenting opinion lebih “menguliti” sekaligus mampu “memotret” persoalan yang tengah disidangkan. Ketiga hakim mampu “mengadili” sekaligus jeli melihat tema-tema yang menjadi persoalan konstitusional didalam perkara yang Tengah didisidangkan.
Bandingkan dengan argumentasi hukum yang menolak yang menggunakan “irisan” formalistik didalam melihat kasusnya.
Sehingga tidak salah kemudian selevel “Pendekar hukum” Prof. Mahfud memberikan apreasiasi terhadap disssenting opinion daripada berkomentar terhadap putusan akhir.
Namun apapun cerita tentang perkara yang Tengah disidangkan, Pengadilan/Mahkamah harus memutuskan. Baik dengan cara memberikan pertimbangan yang layak ataupun kemudian “terpaku” suara mayoritas.
Sehingga MK telah menunaikan tugasnya.
Disisi lain, dissenting opinion yang Kuat justru memberikan pemahaman yang Utuh didalam melihat perkara. Walaupun kemudian harus kalah “Voting” dari mayoritas hakim didalam putusannya.
Sayapun teringat kata-kata bijak yang disampaikan oleh Jay Sahetapy “walaupun kebohongan lari secepat kilat, satu waktu kebenaran itu akan mengalahkannya”.
Ataupun kata-kata Gunawan Muhamad “Kebenaran bisa disalahkan, tapi kebenaran tidak bisa dikalahkan.”