06 Juli 2010

opini musri nauli : PIALA DUNIA 2010 DAN MONOPOLI SIARAN TELEVISI

Gegap gempita Sepakbola Piala Dunia 2010 menenggelamkan kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Kasus Susno, kasus video porno Ariel-Peterpan bahkan kasus “cover celengan babi” majalah tempo. 

Dan semakin menenggelamkan kasus Century, Sekretariat Gabungan Partai Koalisi pendukung Pemerintah. 

Gegap gempita Sepakbola Piala dunia 2010 tentu saja meninggalkan issu politik terkini yang yang membicarakan tentang sistem politik Indonesia (apakah parlementer atau Presidentil), sah atau tidaknya posisi Jaksa Agung. 

Gegap gempita Piala Dunia 2010 seakan-akan lebih menarik daripada persoalan “meleduknya” kompor gas 3 kg, naiknya TDL, mencabut subsidi BBM. 



 Tersingkirnya tim-tim unggulan seperti Italia (Juara bertahan 2006), Perancis (Juara Dunia 1998), membuyarkan prediksi pengamat sepakbola. 

Prediksi semakin tidak bisa diperkirakan ketika Jerman “membantai” Inggeris, 4-1 dan membantai Argentina 4 – 0 tanpa balas. 

Prestasi Jerman ini kemudian diikuti oleh Belanda membalikkan ramalan Brazil 2-1. “De Panzer” yang tidak dilirik orang, namun perlahan-lahan maju menuju semifinal membuat Inggeris menangis, dan Argentina terkesima. 

“De Panzer mengagetkan orang, disaat semua media massa dan komentator bola mengagung-agung Inggeris, Brazil, Argentina, Jerman dan Belanda membalikkan ramalan komentator. 

 Dalam perjalanan menuju semifinal, De Panzer terbukti membuktikan sepakbola adalah permainan olahraga kolektif, yang diracik dengan strategi yang jitu dan tentu saja program-program jangka panjang yang disusun secara serius. 

Sebagai olahraga modern, cara-cara modern harus digunakan dan tidak semata-mata mengandalkan feeling dan intuisi. 

Mandulnya Lionel Messi, Kaka, Carlos Teves, adalah sebuah skenario yang serius dipersiapkan oleh Jerman dan Belanda sehingga, skill individu yang bersinar di Klub masing-masing, seakan-akan tidak berdaya, merengek-rengek dan belajar main bola. 

 Tentu saja paparan yang disampaikan, bukan menyoroti permainan sepakbola yang tidak tepat diprediksi oleh pengamat sepakbola, tapi sekedar bagaimana sepakbola haruslah mengembalikan konsep bermain sepakbola yang diajarkan didalam buku-buku teks dan sederhana diterapkan. 

 Hingar bingar Sepakbola Piala Dunia 2010, dimulai disaat televisi menanda tangani kontrak “hak siar” dari Panitia di Afrika Selatan. Televisi yang mendapatkan hak siar” kemudian memonopoli penyiaran di Indonesia. 

Sebelumnya apabila di daerah televisi dapat ditangkap melalui siaran parabola biasa kemudian harus menggunakan alat khusus (biasa dikenal resiver). 

Maka praktis, apabila siaran televisi yang biasanya dapat ditangkap melalui parabola biasa di rumah-rumah kemudian sebagian kalangan harus membeli alat untuk menangkap siaran pertandingan itu. 

Harga yang ditawarkan tentu saja melangit (konon sebagian stock alat tersebut sempat habis didalam persedian di toko). Dan tentu saja hanya sebagian kalangan yang mampu dan mau membelinya. 

 Maka didaerah-daerah, apabila nonton di televisi bisa dirumah, maka harus mencari tempat nonton dimana ada tempat yang bisa menyiarkannya. 

Sehingga tempat-tempat tersebut menjadi ramai dan menjadi pusat tontonan. 

Penulis karena pekerjaannya harus sering berada di daerah, menjadi kesulitan untuk mencari tempat tontonan. 

Maka pertandingan antara Brazil lawan Pantai Gading menonton di Desa Tanjung Dalam, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Pertandingan antara Brazil lawan Portugal di Bangko, Pertandingan antara Spanyol lawan Portugal nonton di Napal (Perbatasan Bengkulu – Sumbar). 

Kesulitan dirasakan, selain sibuk mencari tempat nonton pertandingan, juga harus menonton di rumah makan, warung, rumah warga, bahkan harus menonton dengna mengeluarkan biaya (di bangko). 

 Tentu saja kesulitan ini dirasakan bukan semata-mata karena penulis suka menontont sepakbola, tapi dirasakan karena ada “kegelisahan” penulis ada “ketidakadilan”. 

Rasa “ketidakadilan” dirasakan ketika fungsi negara yang memberikan peluang monopoli terhadap siaran swasta yang menggunakan “hak siar” kepada televisi tertentu. 

 Dari ranah, ini akan menimbulkan persoalan hukum. 

Pertanyaaan mengguggat apakah, televisi dibenarkan membeli “hak siar” kemudian memonopoli ?. 

Apabila didalam ranah hukum, maka televisi dapat dibenarkan memegang “hak siar” tunggal didalam menyiarkan tontontan sepakbola. 

Kerja sama antara televisi dengan panitia didalam “hak siar” dibenarkan dan tidak menyalahi ketentuan didalam monopoli siaran. 

Namun mengapa, terhadap televisi ketika pertandingan itu disiarkan, kemudian menggunakan parabola tidak tertangkap. Membeli alat hanya untuk menyiarkan sepakbola merupakan persoalan tersendiri. Dan itu sungguh tidak tepat. 

Dari ranah ini, seharusnya negara harus mengatur dan tidak memberikan proteksi kepada televisi dengan “memaksa” masyarakat harus membeli peralatan. 

Disinilah peran negara harus memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap televisi yang kemudian menggunakan monopolinya salah kaprah. 

 Terlepas dari perdebatan monopoli terhadap paparan ide yang penulis tawarkan, sudah seharusnya, Piala Dunia harus ditonton oleh masyarakat banyak. Baik menggunakan parabola biasa atau menggunakan tontonan biasa. 

Sehingga himbauan dari FIFA, bahwa Piala Dunia adalah adalah milik bersama harus diwujudkan. 

Dan tidak tepat pernyataan, bahwa Piala Dunia hanya dapat digunakan pemilik antena khusus dan siaran khusus. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 7 Juli 2010

http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/14239-piala-dunia-2010-dan-monopoli-siaran-televisi.html